text
stringlengths 1
7.56k
| title
stringlengths 3
169
| page_num
int64 1
770
| extraction_method
stringclasses 3
values |
---|---|---|---|
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
111
4.
Simpulan
Kehidupan sanggar-sanggar sastra Jawa di
DIY tahun 1991—2020 tidak dapat dilepaskan
dari sanggar pengayomnya, yaitu Sanggar
Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). SSJY melahir-
kan aktor-aktor (sastrawan) penggerak dan
pengembang kehidupan sastra Jawa di DIY
melalui sanggar-sanggar yang dibentuk di
berbagai wilayah di DIY. Para sastrawan ter-
sebut menjawab kebutuhan masyarakat
bahwa sastra Jawa perlu dikenalkan kembali,
dibumikan di tanah Jawa, dan dikembangkan
untuk kepentingan kehidupan sosial. Sanggar-
sanggar sastra Jawa di DIY terus berkembang
secara dinamis dan mengikuti perkembangan
zaman sehingga masyarakat merasa senang
dan nyaman untuk ikut terlibat dalam berbagai
aktivitas sastra Jawa. Kehidupan sanggar-
sanggar sastra Jawa yang dinamis dan ber-
kembang tersebut semakin diperhatikan dan
dikembangkan oleh lembaga-lembaga peng-
ayom yang terkait dengan kehidupan sanggar-
sanggar sastra Jawa, seperti Pura Pakualaman,
Balai Bahasa DIY (yang sudah mengayomi
SSJY sejak tahun 1991) dan Dinas Kebudaya-
an DIY. Walaupun demikian, beberapa sanggar
secara mandiri telah mampu mencukupi
kebutuhan untuk aktivitas sastranya.
Daftar Pustaka
Salam, Aprinus, Saeful Anwar. 2015. “Strategi
Dan Legitimasi Komunitas Sastra Di
Yogyakarta: Kajian Sosiologi Sastra Pierre
Bourdieu.” Widyaparwa 43(1):25—38.
Craib, Ian.1994. “Teori-Teori Sosial Modern:
dari Parsons sampai Habermas”. PT Raja
Grafindo Persada.
Darmawan, Hayu Avang. 2014. “Sanggar
Sastra Jawa Yogyakarta Dalam Perspektif
Sosiologi Talcott Parsons.” Universitas
Gadjah Mada.
Hamilton, P. (ed.). 1990. “Talcott Parsons dan
Pemikirannya: Sebuah Pengantar.” PT.
Tiara Wacana
Meinarno, Eko A., dkk. 2011. “Manusia dalam
Kebudayaan dan Masyarakat”. Salemba
Humanika.
Parsons, Talcott. 1966. “The Structure of Social
Action”. Collier-Macmillan.
______. 1999. “The Social System”. Routledge.
Utomo, Imam Budi. 2008. “Kantung-Kantung
Sastra
Indonesia
Di
Yogyakarta:
Penciptaan Jaringan Komunitas Sastra.”
Pp. 1–11 in Makalah Konggres IX Bahasa
Indonesia 2008.
Widati, Sri., dkk. 2011. Ikhtisar Perkembangan
Sastra Jawa Periode Kemerdekaan.
Yogyakarta: Kalika Press.
Bagan Struktur Kehidupan
Sanggar-Sanggar Sastra di DIY
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 65 | pymupdf |
112
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
Widati, Sri., dkk. 1999. “Sanggar-Sanggar
Sastra Jawa Modern di Jawa Tengah dan
di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Makalah
Penelitian. Balai Bahasa Yogyakarta.
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 66 | pymupdf |
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
113
1.
Pendahuluan
Cerita pendek merupakan salah satu bentuk
karya sastra yang diakui keberadaannya di
samping puisi, novel, dan drama. Dengan
PEREMPUAN TERMARGINALKAN DALAM CERPEN “PENGANTIN HAMIL”
DAN “PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” KARYA MARHALIM
ZAINI
MARGINALIZED WOMEN IN THE SHORT STORY “PENGANTIN HAMIL” AND
“PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” BY MARHALIM ZAINI
Imelda1, Yulita Fitriana2
Balai Bahasa Provinsi Riau
Jalan Bina Widya, Kompleks Bina Widya UR, Pekanbaru
Posel: [email protected]; [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Marhalim Zaini menggambarkan sosok
perempuan yang termaginalkan dalam cerpennya yang berjudul “Pengantin Hamil” dan
“Perempuan yang Pandai Menyimpan Api”, dengan cara menganalisis sikap, ucapan, dan
tindakan yang dialami dan dilakukan tokoh perempuan. Dalam kedua cerpennya, Marhalim
Zaini menggambarkan rakyat kecil, umumnya adalah tokoh perempuan, yang selalu mengalami
kesengsaraan dan kesialan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Metode yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif yang memaparkan tulisan berdasarkan isi karya sastra,
yang menggambarkan tokoh perempuan yang selalu mengalami keterpurukan dan keseng-
saraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerpen “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang
Pandai Menyimpan Api” menggambarkan perempuan sebagai sosok termarginalkan dan selalu
mengalami penderitaan.
Kata kunci: perempuan, penderitaan, kesengsaraan, termarginalkan
Abstract
This research describes how Marhalim Zaini depicts marginalized women his short story
entitled “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” by analysing
attitudes, speaking, and actions experienced and performed by female characters. In both
short stories, Marhalim Zaini describes lower class people, who are commonly female
characters who experienced misery and bad luck. The data collection was done by library
research. The method used was a qualitative descriptive that describes writings based on the
content of the work depicting a female character who experienced suffer and misery. The
results shows that “Pengantin Hamil” and “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” shor
stories depict marginalized and suffered women .
Keywords: woman, suffering, misery, marginalized
mengakrabi cerpen, kita dapat memetik
manfaat berdasarkan pesan-pesan yang
tersirat. Karya sastra sebagai cermin ke-
hidupan masyarakat dan sebagai bagian ke-
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 67 | pymupdf |
114
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
giatan intelektual diciptakan pengarang untuk
dibaca, dipahami, dan dinikmati. Selain itu,
cerpen juga dimanfaatkan oleh masyarakat
pembaca untuk melihat perkembangan
kehidupan masyarakatnya.
Tanpa pembaca, karya sastra tidak
pernah ada dan tidak berarti. Dengan mem-
baca karya sastra, pembaca dapat melihat
masalah yang berhubungan dengan manusia
serta lingkungannya, baik manusia sebagai
pribadi maupun sebagai mahkluk sosial.
Membaca karya sastra dapat menimbulkan
sikap kritis terhadap perasaan, pikiran, dan
tingkah laku yang ditampilkan.
Bentuk karya fiksi yang banyak diminati
masyarakat saat ini adalah cerpen (cerita
pendek). Hal ini disebabkan karena model
penceritaan cerpen terpusat pada peristiwa.
Selain itu, pendek dan padatnya cerpen mudah
dipahami dan tidak membutuhkan waktu lama
untuk membacanya. Ajip Rosidi (dalam
Tarigan, 1984: 175) mengatakan bahwa dalam
beberapa bagian saja dari satu jam, seseorang
dapat menikmati cerpen.
Penelitian ini dibatasi pada masalah
perempuan yang termarginalkan yang ter-
dapat pada kedua cerpen. Kedua cerpen dapat
mewakili data untuk menganalisis perempuan
terpinggirkan.
Setelah membaca kedua cerpen tersebut,
masalah yang sering muncul berkaitan dengan
manusia sebagai individu atau sebagai ang-
gota masyarakat. Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan, penelitian ini akan
mendedahkan gambaran perempuan yang
termarginalkan. Cerpen berjudul “Pengantin
Hamil” mengisahkan seorang perempuan
yang disia-siakan oleh laki-laki yang meng-
hamilinya. Tokoh utama bernama Suri pergi
meninggalkan rumah di suatu malam. Dia tidak
ingin orang tuanya tahu tentang kehamilannya.
Menurut Grebstein (dalam Damono,
2002: 4) karya sastra tidak dapat dipahami
secara lengkap bila dipisahkan dari lingkungan
atau kebudayaan yang telah menghasilkannya.
Damono (2002: 1) juga menyatakan dalam
konteks sosiologi sastra, karya sastra dicipta-
kan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami,
dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Lebih jauh,
Ratna (2003: 10-11) menyatakan bahwa studi
sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa
setiap fakta kultural lahir dan berkembang
dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem
produksi karya sastra dihasilkan melalui
antarhubungan makna. Dalam hal ini subjek
kreator dengan masyarakat.
Kedua cerpen ini menggambarkan kisah
sedih dan pilu yang dialami oleh kaum perem-
puan. Mereka kaum lemah dan tidak berdaya
selalu diabaikan tanpa ada rasa belas kasihan.
2.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini berupa penelitian kualitatif
dengan metode deskriptif analisis isi. Melalui
metode deskriptif tersebut diharapkan pene-
litian ini dapat memberi penjelasan tentang
gambaran atau keadaan yang ada. Penelitian
kualitatif dimaksudkan agar dapat memahami
fenomena yang dialami pada subjek penelitian,
seperti perilaku, persepsi, motivasi, dan tin-
dakan secara holistik melalui deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan Bahasa (Moleong, 2007:
6). Sumber data penulisan ini adalah cerita
pendek “Pengantin Hamil” dan “Perempuan
yang Pandai Menyimpan Api”. Karangan
Marhalim Zaini sastrawan Riau. Kedua cerpen
ini menarik untuk dibahas karena kedua tokoh
perempuan dalam cerpen tersebut me-
rupakan representasi perempuan tertindas.
3.
Hasil dan Pembahasan
Cerpen “Pengantin Hamil” dan “Perempuan
yang Pandai Menyimpan Api” karya Marhalim
Zaini menarik untuk diteliti karena melalui
kedua cerpen tersebut pengarang ingin
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 68 | pymupdf |
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
115
mengungkapkan perasaan sedih, pesimis, dan
nostalgik. Dibalut dengan latar alam dan latar
suasana yang tajam, pengarang bermain dan
mempermainkan keadaan sekarang dan masa
lampau. Bukan untuk berangkat ke masa
depan, melainkan sebagai usaha menarik pem-
baca untuk melihat kemiskinan, penderitaan,
dan ketidakberdayaan yang menjerat masya-
rakat dalam menghadapi kehidupan ini. Cer-
pen “Pengantin Hamil” bisa menjadi potret
terjadinya perubahan tata nilai kehidupan
masyarakat. Hamil sebelum menikah dianggap
sebagai sesuatu yang lazim. Bahkan, pihak laki-
laki atau perempuan, atau keduanya meng-
gunakan kehamilan sebagai senjata untuk
mewujudkan pesta perkawinan.
Untuk membahas perempuan yang ter-
marginalkan dalam cerpen “Pengantin Hamil”
dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan
Api”, unsur yang dikaji adalah deskripsi
berbagai isu terkait dengan perempuan dalam
perspektif feminis berdasarkan kenyataan
teks. Identifikasi dilakukan satu atau beberapa
tokoh perempuan di dalam sebuah karya.
Dengan demikian, dapat diketahui perilaku
serta watak tokoh perempuan dari gambaran
yang terdapat dalam teks, seperti ucapan,
sikap, dan tindakan tokoh lainnya, terutama
tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan
dengan tokoh perempuan yang sedang di-
amati. Langkah terakhir adalah mengamati
sikap penulis karya yang sedang dikaji. Se-
belum ketiga tahap itu dilakukan, terlebih
dahulu peneliti melihat dan mengamati sikap
penulis karya yang sedang dikaji. Sebelum
ketiga tahap itu dilakukan, terlebih dahulu
peneliti melihat dan mengamati secara se-
pintas unsur-unsur pembentuk karya sastra
ini. Unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah
prosa fiksi (cerpen) ada dua, yakni unsur
intrinsik dan ekstrinsik yang akan diamati
adalah tokoh dan penokohan. Namun, tidak
menutup kemungkinan unsur lainnya, seperti
alur, latar, sudut pandang, tema dan amanat
juga dilihat secara sepintas untuk memper-
tajam ucapan dan sikap-sikap tokohnya.
Dengan mengamati ucapan, sikap, dan
perilaku tokoh dalam cerpen tersebut, dapat
diketahui dan teridentifikasi ucapan, sikap, dan
perilaku tokoh-tokohnya, baik tokoh perem-
puan maupun laki-laki.
Pada kaitan tersebut, perlu juga dijelaskan
bahwa alur merupakan sambung-sinambung
peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat.
Alur tidak hanya mengemukakan apa yang
terjadi melainkan juga menjelaskan mengapa
hal itu terjadi. Secara sederhana alur mem-
punyai bagian-bagian yakni permulaan, per-
tikaian, perumitan, puncak, peleraian dan
akhir. Menurut jenisnya, alur dapat dibagi
menjadi dua, yakni alur lurus dan alur sorot
yang di dalamnya terbayang pandangan hidup
dan cita-cita pengarang. Tokoh adalah individu
rekaan yang mengalami peristiwa dalam cerita.
Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh (Saad 1967: 120, 185).
Sementara itu, Hutagalung (1967: 163)
menyatakan bahwa penokohan merupakan
proses perwujudan kualitas individu sebuah
peran tertentu dalam karya sastra. Peran para
tokoh itu akan terlihat dalam aktivitas para
tokoh.
Mengenai latar, Sudjiman (1988:16, 23, 40,
44, 50) berpendapat bahwa latar adalah segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang ber-
kaitan dengan waktu, ruang dan suasana ter-
jadinya peristiwa dalam suatu karya sastra:
sedangkan tema adalah gagasan, ide atau
pilihan utama yang mendasar dalam suatu
karya sastra.
3.1 Biografi Marhalim Zaini
Marhalim Zaini, lahir di Teluk Pambang Beng-
kalis Riau, 15 Januari 1976. Salah satu anak
dari empat bersaudara pasangan Zaini Safar
dan Sarimah Nasroen. Ia rajin memublikasikan
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 69 | pymupdf |
116
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
karya-karyanya ke berbagai media massa. Di
antaranya, Kompas, Majalah, Horison, Media
Indonesia, Koran Tempo, Republika, Jurnal Puisi,
Pikiran Rakyat, Batam Pos, Riau Pos, Majalah
Berdaulat, Majalah Sagang, Singgalang,
Haluan,Yogya Pos, Bernas, Kedaulatan Rakyat,
Minggu Pagi, Solopos, Suara Merdeka, Jawa pos,
Surabaya post, Lampung post, Bali Pos, Prince
Claus Fund Journal 2006, dan lain-lain.
Sejumlah penghargaan yang pernah
diraih di antaranya dari DPD BSMI Daerah
Istimewa Yogyakarta, Laman Cipta Sastra
Dewan Kesenian Riau, Majalah Budaya Sagang,
Hadiah Tepak, Nomine KSI Award, Nomine
Anungrah Sagang, dan Dar! Mizan 2005, Ganti
Award 2005, dan Anugrah seni 2005 dari
Dewan Kesenian Riau sebagai Seniman Pe-
mangku Negeri (SPN) bidang sastra.
Kegiatan kesastraan yang sempat diikuti,
antara lain Festival Kesenian Yogyakarta 2002,
Pasar Seni Dewan Kesenian Riau, Cakrawala
Sastra Indonesia Dewan Kesenian Jakarta
2004 di TIM Jakarta, Seminar Warisan Puisi
Melayu Serumpun di Malaka (Oktober 2004)
yang ditaja oleh Institut Seni Malaysia Malaka,
Kerajaan Negeri Melaka, dan Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kenduri Seni Melayu 2005 di
Batam, Bintan Art Festival 2005 diTanjung
Pinang, terakhir diundang dalam Iven Utan
Kayu International Literary Biennale 2005 di
Lampung.
3.2 “Pengantin Hamil”
Cerpen ini menggambarkan seorang perem-
puan belia bernama Suri. Ia merupakan tokoh
utama pada cerpen ini. Suri adalah anak se-
orang pemuka masyarakat yang disegani di
kampung Teluk Gambut. Suri adalah gadis san-
tun yang taat beribadah. Dia berguru kepada
seorang ustad bernama Murad. Kedua orang
tuanya sangat menyayangi anak gadis satu-
satunya itu. Sebaliknya, Suri pun demikian. Oleh
sebab itu, Suri pergi dari rumah pada malam
hari agar kepergiannya tidak diketahui oleh
kedua orang tuanya. Dia tidak ingin kedua
orang tuanya malu apabila mengetahui per-
buatan yang telah dilakukannya bersama
kekasihnya.
Suri dan kekasihnya telah melakukan
perbuatan dosa besar yang dilarang agama.
Mereka berdua telah bergaul layaknya suami
istri yang sah dalam sebuah ikatan perkawin-
an. Suri tidak mampu menolak ketika kekasih-
nya mulai berani menyentuh dirinya perlahan
demi perlahan sampai akhirnya terjadi
peristiwa itu. Mereka berdua telah menikmati
manisnya madu cinta terlarang yang telah
mengubah segalanya. Suri pasrah dan ber-
harap apa yang dikatakan Sang kekasih men-
jadi kenyataan bahwa mereka akan bersan-
ding di pelaminan.
Penantian panjang Suri ditinggal oleh
Sang kekasih yang pergi merantau ke negeri
seberang mencari pekerjaan untuk modal
menikah telah membawa dirinya pergi dari
rumah karena perutnya semakin hari ber-
tambah besar. Suri tidak ingin kedua orang
tuanya malu dengan kehamilan dirinya di luar
nikah. Oleh sebab itu, dia pergi meninggalkan
rumahnya dan mengasingkan diri ke dalam
hutan. Kedua orang tuanya panik dan cemas
karena tidak tahu mengapa anak gadisnya
pergi serta meninggalkan segalanya. Dalam
penantiannya itu, Suri terus membaca se-
pucuk surat pertama dan terakhir yang di-
kirim kekasihnya setelah mereka berpisah.
Kekasihnya mengatakan bahwa dia akan
pulang dan berjanji akan menikahinya.
Kepergian Suri ke tengah hutan akhirnya
diketahui oleh penduduk yang kebetulan
sedang mencari kayu bakar. Kemudian orang
tuanya menyusul Suri serta mengajaknya
pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Suri
ditanyai orang tuanya, siapa yang telah
menghamilinya. Akan tetapi, Suri tetap tidak
mengatakan siapa laki-laki tersebut. Orang
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 70 | pymupdf |
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
117
tuanya tetap memaksanya untuk mengatakan
siapa laki-laki yang tidak bertanggung jawab
itu. Pada akhirnya, Suri mengatakan bahwa
laki-laki itu adalah anak kepala desa tetangga
sebelah rumahnya. Keterusterangan Suri
tersebut membuat semua orang terkesima.
Gunjingan tentang kehamilan Suri tanpa suami
akhirnya sirna. Laki-laki yang menghamili Suri
anak orang terpandang sehingga semua
orang merestuinya. Kehamilan Suri tidak lagi
menjadi gunjingan masyarakat Teluk Gambut
karena orang yang menghamili Suri adalah
anak orang terpandang. Orag tua Suri setuju
dan merestui
Namun, janji lelaki tersebut tidak pernah
menjadi kenyataan sampai Suri bermimpi dia
duduk di pelaminan sebagai pengantin hamil.
Cerpen “Pengantin Hamil” menggambar-
kan kekecewaan yang dialami Suri. Cerpen ini
terlihat biasa saja karena dalam kehidupan
nyata kejadian ini sering terjadi. Namun, di
balik itu semua tergambar hal buruk langsung
ditimpakan kepada perempuan.
“Bibir Suri tak pernah bisa berhenti
untuk terus membaca sekeping surang
lusuh di tangannya. Surat pertama yang
telah ia terima, seminggu setelah kepergi-
an kekasihnya, sampai kini setelah genap
tujuh bulan, surat yang lain tak kunjung
datang. Suri menanti sembari terus
membaca surat pertama berkali-kali.
Suri menanti, sembari merasakan perut-
nya makin lama makin berisi. Suri me-
nanti, sembari merasakan perutnya
makin lama makin berisi. Ada bayi yang
terus meronta meminta hak hidupnya
dijaga. Bayi yang tak dipinta hasil per-
setubuhan cinta yang liar”, (Amuk Tun
Teja,hlm. 45).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Suri
sangat mengharapkan kedatangan kekasih-
nya. Namun, penantian panjang tersebut
hanya sia-sia belaka. Suri akhirnya menang-
gung aib dan malu sendiri akibat perbuatan
yang telah mereka lakukan bersama. Suri
semakin tersiksa ketika membaca isi surat
kekasihnya yang menjanjikan mereka akan
segera menikah seperti terlihat pada kalimat
berikut,
“Kita akan bersanding sayang. Duduk di
atas pelaminan seperti raja dan per-
maisuri. Daun inai yang diracik halus
akan menghiasi jemari tangan dan kaki
kita dengan getah merahnya. Beras pulut
beraroma kuning kunyit, akan ditabur
oleh sanak saudara di atas kepala kita,
sebagai tanda restu doa telah diberi.
Maka hati kita pun bernyayi, diiringi
berzanji yang melantun dari mulut gadis-
gadis kampung yang molek. Rampak
pukulan kompang dari tangan-tangan
pemuda yang belia semakin menggetar-
kan kita bahwa saat itu, menjadi milik
kita berdua. Tunggulah aku sayang.
Abang akan pulang,” (Amuk Tun Teja,
hlm. 45).
Permintaan kekasihnya agar Suri ber-
sabar dan tetap menanti kedatangannya
merupakan hal yang membahagiakan. Suri
yakin, kekasihnya itu akan datang dan segera
melamarnya. Hal tersebut tergambar pada
kutipan di atas. Jika sudah waktunya, mereka
akan segera menikah dan bersanding di
pelaminan bagaikan raja dan permainsuri.
Namun, semua janji dan rencana mereka ber-
dua tidak pernah terwujud. Kekasih Suri tidak
pernah kembali dan datang menemuinya
untuk bertanggung jawab.
Suri sebagai tokoh utama dalam cerpen
ini dihadapkan dengan kenyataan pahit getir-
nya kehidupan. Dia dan keluarga besarnya
harus mengalami peristiwa memalukan itu.
Hamil di luar nikah. Sebagai perempuan
muslim dan berasal dari suku Melayu yang
identik dengan agama Islam, kejadian yang
dialami Suri tidak harusnya terjadi. Namun,
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 71 | pymupdf |
118
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
kenyataan itu terjadi di tengah masyarakat
bahkan hamil di luar nikah merupakan pan-
dangan yang lazim serta biasa saja.
Cerpen ini menggambarkan kerisauan
dan kegundahan pengarang terhadap masya-
rakat Melayu yang telah melanggar nilai ajaran
Islam. Padahal, Islam dan Melayu tidak dapat
dipisahkan karena Melayu identik dengan
Islam. Masyarakat Melayu adalah masyarakat
yang ketat mempraktikkan ajaran Islam.
Melalui cerpen ini pengarang ingin menum-
pahkan segala permasalahan yang telah
melanda negeri yang sangat dicintainya. Peng-
arang ingin mengembalikan kehidupan
masyarakat Melayu yang sangat menjujung
tinggi nilai-nilai keagamaan. Akan tetapi, dalam
realitasnya, generasi muda Melayu Riau justru
telah terpengaruh dalam pergaulan bebas.
Dalam kaitan ini, perlu dikutip pernyataan
Nofrianto sebagai berikut.
“Mereka begitu mudah memasuki
tempat-tempat khusus orang dewasa,
apalagi malam minggu. Pelakunya bukan
hanya kalangan SMA, bahkan sudah
merambat di kalangan SMP. ‘’Banyak
kasus remaja putri yang hamil karena
kecelakan padahal mereka tidak
mengerti dan tidak tahu apa resiko yang
akan
dihadapinya,
(http://
www.pekanbaruriau.com, diakses 2
Desember 2012).
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat per-
gaulan bebas di kalangan remaja di Riau
sangat memprihatinkan karena telah me-
rambat di kalangan SMP. Mereka sudah berani
melakukan perbuatan maksiat. Sebagai umat
yang beragama Islam, berzina adalah perbuat-
an dosa besar dan haram dilakukan oleh pa-
sangan yang belum menikah. Namun, ke-
nyataannya perbuatan zina begitu sering kita
dengar. Rasa malu keluarga tidak bisa ditutup-
tutupi. Akan tetapi, jika ada seseorang yang
mau menikahi, hilanglah kesedihan dan rasa
malu itu. Bahkan, tidak sedikit keluarga yang
memeriahkan pesta pernikahan anaknya
dengan perut buncit. Hal ini menunjukkan
kebingungan dan rasa malu mereka bukan
karena anak gadisnya melakukan zina, tetapi
karena anaknya hamil dan belum ada yang
siap menjadi ayah bayi yang dikandungnya.
Selanjutnya komentar yang hampir sama
disampaikan oleh Mahdini, ketua MUI Provinsi
Riau sebagai berikut.
‘’Saya meminta semua kalangan, baik para
pendidik, orang tua, dan tokoh masyarakat
agar memfungsikan tugas-tugas sosialnya.
Banyaknya kalangan remaja yang melakukan
seks bebas, lanjutnya diindikasikan ada jaring-
an tertentu yang menggiring anak-anak ke hal
yang negatif. Oleh karena itu, MUI menghimbau
untuk menutup tempat yang berbau maksiat.
‘’Menutup tempat maksiat itu jauh lebih
penting demi generasi muda,’’.
Ditingkat pergaulan dalam kondisi hari
ini, anak-anak bisa saja berbohong. Oleh
sebab itu, sambungnya pengawasan
orang tua harus diperketat. Tentu saja
contoh perilaku orang tua sangat
berperan.Ia berharap, semua sekolah-
sekolah tanpa terkecuali memperkuat
kembali kehidupan beragama. ‘’Kita
harus menanamkan nilai-nilai agama
sejak dini sehingga mereka memiliki
kepribadian yang kuat. (http://
www.pekanbaruriau.com, diakses 2
Desember 2012).
Seorang perempuan Melayu harus mem-
punyai kepribadian yang baik dan berbudi
pekerti yang baik. Dalam sebuah artikel risalah
tentang perempuan yang baik Doddy
Koesdijanto berpendapat mengenai beberapa
ciri umum akhlaq wanita pilihan Allah adalah
sebagai berikut.
“Sebelum menikah, wanita sholehah akan
selalu menjaga dirinya, ia tidak akan
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 72 | pymupdf |
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
119
membuka satu hubungan khusus, ke-
cuali jika ia mengetahui bahwa lelaki
tersebut hendak meminang dirinya.
Aqidah islam, kepahaman dan akhlaq
calon suami, merupakan modal dasar
dari kriterianya. Wanita sholehah tidak
akan memperlihatkan auratnya pada
kaum pria yang dilarang oleh syariat ,
dirinya tidak akan pula membiarkan
bagian tubuhnya disentuh, walau hanya
berjabat tangan oleh lelaki yang bukan
muhrimnya dan yang tidak memiliki
kepentingan. Dalam proses perkenalan
atau ta’aruf ia tidak akan membiarkan
dirinya berdua-duaan dengan kaum
pria. Menjawab salam, tidak berbicara
kecuali hal yang mengarah pada kebaik-
an. Tidak menjatuhkan kehormatan dan
martabatnya dengan memberikan pe-
luang kepada kaum pria untuk memper-
mainkan dirinya. Tidak meminta harta
maupun barang apapun selain kesung-
guhan calon suami untuk mempercepat
proses
akad
nikah
(artikel
New.drisalah.com, diakses 2 Desember
2012).
Berdasarkan uraian di atas tergambar
bahwa perempuan yang baik menurut
pandangan Islam adalah yang bisa menjaga
dirinya dan tidak menjatuhkan kehormatan
dan martabatnya dengan memberikan peluang
kepada kaum pria untuk mempermainkan
dirinya.
Cerita pendek Pengantin Hamil meng-
gambarkan gegundahan serta kecemasan
yang dirasakan oleh pengarang. Kenyataan
pahit dan pesimis telah melanda negeri yang
sangat dicintainya itu dengan maraknya
perzinahan. Melalui tokoh utama, Suri, cerita
dimulai dengan segala kebahagian sepasang
kekasih yang sedang dilanda asmara. Mereka
lupa diri sehingga perzinahan tidak dapat
dihindari. Dalam hal ini, perempuan selalu
menjadi korban. Tokoh Suri harus menang-
gung malu sendiri karena perbuatan yang
telah mereka lakukan bersama.
3.3 “Perempuan yang Pandai Menyimpan
Api”
Cerpen ini menggambarkan perempuan ber-
nama Soi. Ia adalah warga Thiongha keturun-
an yang tinggal dengan seorang perempuan
Melayu bernama Kak Dar. Mereka berdua
berjualan nasi dan minuman untuk para kuli
pelabuhan yang datang silih berganti. Soi,
begitu dia dipanggil, hidup menumpang di
rumah Kak Dar. Nasib telah membawa perem-
puan ini ke tanah Melayu tepatnya di sebuah
kedai kopi di pinggiran Sungai Siak. Soi,
perempuan yang telah kehilangan segalanya,
keluarganya, keperawananya, kini kehilangan
lelaki yang harus bertanggung jawab terhadap
bayi yang dikandungnya.
Peristiwa tragis yang menimpanya pada
suatu malam ketika hujan lebat mengguyur
bumi di sebuah kedai yang terletak di ping-
giran Sungai Siak. Malam itu segerombolan
laki-laki yang menutupi wajahnya dengan kain
sarung telah merenggut kesuciannya. Peris-
tiwa itu terjadi begitu cepat tanpa seorang pun
yang dapat mendengar tangisan dan jeritan
perempuan malang itu. Mereka begitu kuat dan
beringas melampiaskan nafsu binatangnya
kepada Soi di tengah malam yang buta.
Akibat pemerkosaan tersebut, Soi harus
menanggung semua beban dan aib yang tidak
bisa disembunyikan. Semakin hari perutnya
membesar. Dia sendiri tidak tahu kepada siapa
harus meminta pertanggungjawaban. Mereka,
para kuli, bergantian menikmati tubuh perem-
puan malang tersebut.
Sampai usia kandungannya sembilan
bulan, Soi tetap membisu dan diam. Kebencian
Soi semakin memuncak ketika para kuli
tersebut sering menggoda dan mengolok-
ngolok dirinya dengan perkataan yang me-
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 73 | pymupdf |
120
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
nyakitkan hatinya. Mereka mengatakan agar
Soi menggugurkan kandungannya tanpa
harus terbebani. Para kuli tersebut juga
menyarankan Soi agar bisa melayani mereka
sambil bekerja di warung Kak Dar.
Kebencian Soi tidak bisa lagi dibendung.
Dengan sikap diam dan membisu, perempuan
ini merencanakan sesuatu. Pada malam yang
disertai angin kencang, Soi membakar gudang-
gudang di bantaran Sungai Siak. Terlihat
tubuh-tubuh para kuli bergelimpangan
hangus terbakar api dendam yang telah di-
simpan perempuan bunting itu selama ber-
bulan-bulan. Senyum kemenangan terpancar
di wajah Soi yang pandai menyimpan api.
Cerpen ini menampilkan sosok perem-
puan tidak berdaya dan teraniaya. Soi me-
rupakan tokoh utama dalam cerpen ini meng-
alami penderitaan fisik maupun batin. Perem-
puan ini telah kehilangan segalanya karena
kesulitan ekonomi yang melanda negerinya.
Sehingga dia terdampar di tanah Melayu.
Maksud hatinya ingin memperbaiki kehidup-
annya, namun apa yang diimpikanya itu sirna
karena mereka para kuli pelabuhan telah
merenggut segala kesucian dalam dirinya.
Peristiwa yang dialami tergambar dalam
kutipan,
“Soi Mahfun. Sesungguhnya tidak ada
yang membuat ia berbeda dari mereka.
Kehilanggan di sini ibarat Ulam. Tidak
sedap hidup tanpa kehilangan. Sejak lama
Soi kehilangan keluarganya., kehilangan
kampung halamannya, kehilangan
pekerjaan, kehilangan keperawanan, lalu
kini Soi kehilangan lelaki yang harus
bertanggung jawab terhadap bayi yang
dikandungnya” , (Amuk Tun Teja, hlm.
10).
Potret suram dan ketidakberdayaan
perempuan jelas tergambar pada kalimat di
atas. Pengarang menampilkan penderitaan
yang berkepanjangan melalui toko utama. Soi.
Pengarang sangat piawai menggambarkan
konflik batin yang dialami oleh Soi melalui
penggunaan bahasa yang sangat menyentuh.
Pemilihan kata yang tepat dapat mengantar-
kan pembaca agar tetap membaca karyanya
karena dibalut dengan bahasa sastra yang
indah dan mudah dicerna.
Cerpen ini sesungguhnya sangat kuat me-
nampilkan kedukaan yang dalam dan kesetiaan
sosok seorang perempuan. Sebagai seorang
perempuan dan calon ibu, Soi ingin tetap
merawat janinnya. Namun, disisi lain dia tidak
tahu harus berbuat apa karena anak yang
dikandungnya itu tidak jelas siapa ayahnya.
Karena perkosaan yang dialaminya pada
suatu malam ketika semua orang tertidur
pulas. Segerombolan laki-laki memakai cadar
kain sarung telah memperkosanya silih ber-
ganti. Untuk lebih jelasnya terlihat pada kalimat
berikut,
“Maka kini Soi memilih untuk diam.
Memilih buntuk tak mengamuk atas
kehilangan yang menimpanyanya. Sebab
amukan dan terikannya telah tuntas
lepas saat segerombolan lelaki menakluk-
an tubuhnya di atas ranjang tua pada
suatu malam yang hujan. Lelaki-lelaki
gempal dan kasar yang berbau karat besi
dan minyak kapal, menutupi wajah
mereka dengan sarung, megendus se-
rupa babi yang kelaparan. Soi terhenyak
membisu dalam tangisan yang tertahan.
Tidak ada kekutan untuk menolak
bahkan untuk mengatakan tidak. Tidak
ada siapa pun yang hidup malam itu.
Hanya sesayup suara anjing yang kian
hanyut dibawa deras air pasang. hanya
suara desah pasrah yang tenggelam
karam,” (Amuk Tun Teja, hal 10).
Pengarang berhasil mendeskripsikan
peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan
latar tempat, suasana, waktu di sekitar pe-
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 74 | pymupdf |
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
121
labuhan. Seperti gambaran aktivitas para kuli,
warung kopi dan segala yang hidup disekitar
tempat itu. Hal tersebut terlihat pada per-
nyataan berikut,
“Soi tidak suka ratusan cahaya kristal
yang terapung berbaris di sepanjang
tepian Sungai Siak di seberang itu, sebab
Soi tak mampu menggapainya. Dan Soi
lebih suka pelabuhan tua beraroma
lumut gambut ini, duduk bersandar
mengelus-elus perutnya di sudut jendela
kedai yang selalu terbuka, mendengar-
kan batu-batu domino beradu di atas
meja, menyimak percakapan para kuli
pelabuhan yang menyulut derai tawa.
Serupa kenikmatan pahit candu dari
tuak yang ditenggak para kuli Imigram
gelap itu, Soi menikmati setiap jarum
teluh yang menyembur dari mulut
mereka, (Amuk Tun Teja, hlm. 19).
Berdasarkan uraian di atas dapat di-
ketahui nasib dan kehidupan kaum perem-
puan yang menyedihkan karena kurangnya
perhatian keluarga dan pemerintah. Gambar-
an perempuan yang terpinggirkan pada
kedua cerpen sering ditemui di dalam ke-
hidupannya nyata. Tokoh Soi yang ingin meng-
ubah nasib atau mencari kehidupan yang lebih
layak malah menjadi korban pelecehan
sehingga menyebabkan kehamilan. Jika krisis
perekonomian di negerinya tidak terjadi,
mungkin Soi tidak akan mengalami nasib
buruk yang menghancurkan masa depannya.
Pengarang berhasil menggambarkan
situasi tersebut melalui tokoh Soi seorang
gadis keturunan Thiongha yang terdampar di
tanah Melayu,
“... seisi kedai menyimpan umpatan itu.
Malam yang diduga dapat menyem-
bunyikan percik api sindir kebencian dari
mata orang-orang justru kini menjelma
ribuah teluh yang mendera sunyi. Sunyi
malam, yang memekat di dada Soi. Dada
perempuan yang sipit matanya, mem-
buncit perutnya yang hanya meman-
dangi genang bias cahaya lampu di
wajah sungai hitam setiap malam”.
(Amuk Tun Teja, hlm. 9).
Perasaan sedih, pesimis, dan penyesalan
serta dendam bercampur menjadi satu dalam
diri Soi. Sebuah potret ketidakadilan terhadap
kaum perempuan tergambar jelas dalam
kedua cerpen tersebut. Pengarang berhasil
menarik empati pembaca melalui tokoh utama
Suri dan Soi yang mengalami penderitaan lahir
dan batin. Gambaran perempuan yang ter-
pinggirkan yang juga disebabkan oleh faktor
pendidikan dan ekonomi.
4.
Simpulan
Kedua cerpen “Pengantin Hamill dan “Perem-
puan yang Pandai Menyimpan Api” karya
Marhalim Zaini mengungkapkan perempuan
sebagai orang termarginalkan. Sebagai
seorang perempuan, tokoh Suri sangat men-
derita karena janji kekasihnya tidak pernah
terwujud. Janji hanya tinggal janji setelah
semua kesuciannya direnggut oleh kekasih-
nya. Dalam hal ini perempuan dalam segala hal
selalu disepelekan, dilecehkan, dan dinomor-
duakan.
Nasib buruk yang menimpa perempuan
berupa kesialan dan keterpurukan telah
dialami oleh kedua tokoh utama dalam kedua
cerpen. Mereka mengalami penderitaan baik
secara fisik maupun mental. Tokoh Soi diper-
kosa oleh segerombolan kuli di tepi sungai
pada suatu malam yang sunyi. Peristiwa malam
yang tragis tersebut telah menyisahkan pen-
deritaan yang berkepanjangan bagi Soi. Bagai-
mana tidak, kepada siapa dia meminta per-
tangungjawaban terhadap bayi yang ada dalam
rahimnya.
Keberadaan perempuan dalam kehidup-
an masyarakat sangat penting karena tanpa
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 75 | pymupdf |
122
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
©2020, Widyasastra
kehadiran dan peran sertanya segala sesuatu-
nya tidak berjalan dengan baik. Perempuan
adalah sosok yang sangat berperan dalam
keluarga karena memiliki perasaan yang halus
dan kasih sayang yang tidak tergantikan oleh
kaum laki-laki. Setelah menganalisis kedua
cerpen ini, dapat diketahui sosok perempuan
selalu dirugikan. Mereka selalu menjadi objek
penderita. Pengarang melalui karyanya ingin
mengetuk hati para pembaca dengan meng-
hadirkan kedua tokoh utama yang menderita,
tersiksa, terabaikan, dan tertelantarkan.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Sosiologi
Sastra: sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan Bahasa, Kemendikbud.
Hutagalung, M.S. 1967. Tanggapan Dunia Asrul
Sani. Jakarta: Gunung Agung
Moleong, L. J. 2007. Metode Penelitian
Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ratna, Nyoman Kutha, 2003. Paradigma
Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Saad, M. Saleh. 1967. Metodologi Penelitan
Sastra; Espitomologi, Model, Teori dan
Aplikasi.
Sudjiman, Panuti 1988. Kritik Sastra. Bandung
Angkasa
Tarigan, Henry Guntur, 1984. Prinsip-prinsip
Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Yulianto Agus. 2017. Kritik Sosial dalam Dua
Cerpen karya Pengarang Kalimantan
Selatan Jurnal Bebasan, Vol 4, N0. 2 edisi
Desember.
Zaini, Marhalim. 2007. Kumpulan Cerpen Amuk
Tun Teja. Riau: Pustaka Pujangga.
Laman
http://www.pekanbaruriau.com, diakses 2
Desember 2012.
New.drisalah.com, diakses 2 Desember 2012.
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 76 | pymupdf |
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
123
UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PADA CERITA RAKYAT “BARIDIN”
MASYARAKAT DESA GEGESIK
INTRINSIC AND EXTRINSIC ELEMENTS ON “BARIDIN” FOLKLORE
Aisyah1, Tato Nuryanto2, Indrya Mulyaningsih3
1. Pendidikan Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
Posel: [email protected]
2. Pendidikan Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
Posel: [email protected]
3. Pendidikan Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
Pesel: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerita rakyat
“Baridin” yang berasal dari masyarakat desa Gegesik. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data pada penelitian ini adalah transkrip dari
informan di Desa Gegesik Kecamatan Jagapura Kabupaten Cirebon. Teknik yang digunakan
pada penelitian ini yaitu teknik wawancara dan observasi. Validasi data pada penelitian ini
dengan meningkatkan ketekunan pengamatan dan melakukan triangulasi sumber data. Analisis
data dilakukan dengan model Miles dan Huberman dengan empat tahap yakni pengumpulan
data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa cerita rakyat “Baridin” mempunyai unsur intrinsik sebagai berikut (1) tema :cinta
berujung kematian; (2) alur: alur maju; (3) latar tempat: di rumah Baridin, di rumah Ratminah,
di jalan hendak kesawah, dan di sawah. Latar suasana: senang dan sedih (patah hati). Latar
waktu: pagi hari, sore hari, dan petang hari. Latar keadaan sosial: musim paceklik dan memiliki
kepercayaan yang tidak sejalan dengan syariat islam; (4) tokoh/penokohan: Baridin dengan
watak keras kepala, pasrah, polos. Suratminah dengan watak sombong. Mbok Wangsih dengan
watak penurut. Gemblung dengan watak pemarah dan pendendam. Bapak Dam dengan watak
sombong; (5) sudutpandang: orang ketiga pelaku utama; (6) amanat : jangan sombong, saling
menolong dalam hal kebaikan. Unsur ekstrinsik pada cerita rakyat “Baridin” yakni (1) nilai
moral; (2) nilai sosial; (3) nilai agama; (4) nilai budaya.
Kata kunci: unsur intrinsik, ekstrinsik, cerita rakyat Baridin
Abstract
The research aims to describe intrinsic and extrinsic elements in the folklore “Baridin” of the
Gegesik village community. The research method used is descriptive qualitative method. The
data source in this study is the informant who knows the folklore “Baridin” in the village of
Gegesik, Jagapura District, Cirebon Regency, The technique used in this study is to improve the
perseverance of observation and triangulation of data sources. Data analysis was performed
using the Miles and Huberman model with four stages namely data collection, data reduction,
data presentation, and drawing conclusions. The results showed that the “Baridin” folklore
contained intrinsic elements as follows (1) theme: love leads to death; (2) plot: forward plot;
(3) setting place: at Baridin’shouse, at Suratminah’s house, on the road going to rice fields, in
rice fields. Time setting: morning, evening. Social situation setting: famine and having beliefs
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 77 | pymupdf |
124
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
1.
Pendahuluan
Cerita rakyat saat ini mulai dikesampingkan
sebab anak-anak lebih menyibukkan diri
dengan bermain ponsel atau menonton televisi
dibanding mendengarkan cerita rakyat yang
dibacakan oleh ayah atau ibunya. Penjualan
ponsel secara bebas mengakibatkan anak-
anak lebih dekat dengan ponsel, dalam hal ini
peran seorang ayah atau ibu saat menidurkan
anak-anak dengan bercerita telah digantikan
dengan ponsel. Hal ini selaras dengan kabar
dari kompas tv bahwa di Bandung Jawa Barat
seorang anak berusia 8 tahun mengalami
kerusakan motorik halus akibat ketergantung-
an dengan ponsel pintar, Sabtu (19/10/19).
Kejadian tersebut sangat memprihatinkan
karena anak-anak yang seharusnya tumbuh
dan berkembang secara optimal malah se-
baliknya, hal ini disebabkan oleh kelalaian
orang tua yang membiarkan anak-anak leluasa
dalam bermain ponsel.
Hakikat seorang anak adalah menerima
pendidikan yang baik seperti mendengarkan
cerita rakyat atau dongeng. Dongeng atau
cerita rakyat termasuk ke dalam strategi yang
paling efektif untuk membantu menumbuh
kembangkan aspek pengetahuan, perasaan
dan sosial yang dimiliki anak selain itu adanya
cerita rakyat atau dongeng dapat membuat
rasa ingin tahu sangat besar sehingga anak-
anak antusias dalam menerima pengetahuan
baru dan pengalaman baru.
Penelitian di New Zealand menegaskan
bahwa para ibu yang berhasil mendidik anak
dengan baik yakni para ibu yang sedari dini
membiasakan anaknya mendengarkan cerita
dengan penyampaian yang menarik dan
memberikan kesan yang sangat menakjubkan
(Mushoffa Aziz, 2001:195). Manfaat peng-
ajaran sastra pada anak dapat membuat anak
memahami dan mempelajari nilai-nilai
kehidupan sehingga dikemudian hari akan
menjadi landasan serta pedoman (Rusyana,
1984: 313). Hubungan baik kepada Tuhan,
hubungan baik terhadap sesama manusia,
hubungan baik terhadap diri sendiri, dan
hubungan baik dengan jagat raya termasuk
ke dalam nilai-nilai (Setyawan, 2015: 6).
Cerita rakyat termasuk ke dalam sastra
lisan. Sastra lisan merupakan bagian dari
kebudayaan yang memiliki sasaran agar para
pendengar mampu menjadikan cerita tersebut
sebagai suatu cerminan yang baik. Sebelum
adanya sastra tulis, sastra lisan merupakan alat
interaksi dari lisan ke lisan lain yang memiliki
nilai-nilai luhur. Menurut Danandjaja (2007: 2)
menegaskan bahwa foklor merupakan kum-
pulan prosa rakyat yang disebarluaskan
dengan cara turun-temurun baik bentuknya
berupa lisan ataupun dengan pelengkap gerak
seperti alat bantu pengingat (memoric device).
Cerita rakyat jika dilihat berdasarkan jenis
maka termasuk sastra lokal atau sastra daerah.
Seiring berjalannya waktu sastra akan
memudar jika tidak dilestarikan dan dijaga
that are not in life with islamic law; (4) character/ characterization: Baridin with a stubborn,
resign, plain character, Ratminah with arrogant chacarter, Mrs. Wangsih with a submissive
character, Gemblung with angry and vengeful character, Mr. Dam with with arrogant character;
(5) Poin of view: thrid person main actor; (6) mandate: don’t be arrogant and help each other
in good terms. Extrinsic elements in the “Baridin” folklore are (1) moral values; (2) social
values; (3) religious values; (4) cultural values.
Keywords: intrinsic elements, extrinsic elements, folklore Baridin
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 78 | pymupdf |
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
125
dengan baik oleh karenanya perlu adanya
penjagaan dan pembinaan. Sastra Indonesia
tidak dapat berangkat sendiri atau dipisahkan
dengan sastra daerah karena sastra Indonesia
lahir dari kesusastraan daerah yang dikolek-
tifkan secara kreatif bagi pemilik dan penikmat
sastra(Susianti, 2015: 5).
Sebagai manusia pembelajar maka
diharuskan mampu melestarikan kearifan
lokal seperti melestarikan sastra daerah,
bentuk dari penjagaan tersebut didukung oleh
pendapat dari Sedyawati (2012: 203) me-
negaskan bahwa semua orang harus andil
dalam upaya memelihara dan melestarikan
kebudayaan yang diwariskan para leluhur,
upaya tersebut terbentuk ke dalam lima jenis
yaitu (1) merawat atau menjaga; (2) mengkaji
lebih dalam; (3) pemertahanan dengan me-
ngemas penuh kebaikan serta pempublikasi-
an; (4) memiliki daya rangsang yang penuh
inovasi; (5) mencakup nilai ideal kebangsaan.
Berkenaan dengan sastra daerah bahwa
di daerah Cirebon terdapat cerita rakyat yang
harus dilestarikan dan dipelihara. Pada
penelitian ini akan ditindaklanjuti pada cerita
rakyat “Baridin”. Cerita rakyat “Baridin” me-
rupakan cerita yang berasal dari daerah
Cirebon namun tidak menutup kemungkinan
bahwa orang-orang yang hidup di daerah
Cirebon tidak mengetahui cerita tersebut
khususnya anak-anak. Pada penelitian ini
alasan mengangkat cerita “Baridin” agar
masyarakat mengetahui bahwa di daerah
Cirebon terdapat cerita rakyat yang begitu
melegenda yang kemudian dalam hal ini dapat
menjungjung kearifan lokal sehingga ter-
ciptanya produk daerah.
Berkaitan dengan cerita “Baridin” bahwa
setiap cerita terlahir tidak serta merta ada
begitu saja melainkan ada tokoh yang ber-
peran kemudian ada tempat yang pernah
disinggahi oleh tokoh dan lain sebagainya oleh
karena itu dalam penelitian ini akan mengkaji
unsur instrinsik. Menurut Nurgiyantoro
(2005: 118) menegaskan bahwa karya sastra
memiliki unsur yang kemudian unsur tersebut
menduduki tempat pada suatu cerita yang satu
sama lain tidak bisa dipisahkan, unsur yang
dimaksud yaitu unsur instinsik yang berisi
tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan
amanat.
Berbicara unsur intrinsik maka tidak akan
lepas dengan unsur ekstrinsik. Menurut
Nurgiyantoro (2010: 23) menegaskan bahwa
unsur ekstrinsik adalah bagian yang ada di luar
cerita. unsur ekstrinsik yang di maksud yaitu
berkaitan dengan nilai-nilai. Nilai-nilai jika
berkaitan dengan anak-anak maka yang sesuai
adalah nilai pendidikan. Nilai pendidikan
mencakup empat nilai besar yakni nilai moral,
nilai sosial, nilai budaya, dan nilai agama
(Andayani, 2013: 54-68).
Nilai moral merupakan hal-hal yang
berkenaan dengan mendidik setiap individu
agar lebih menjungjung kesopanan dan
perilaku-perilaku baik lainnya yang sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Nilai sosial adalah suatu hal yang berkenaan
dengan hubungan harmonis dalam bermasya-
rakat. Nilai agama merupakan suatu keper-
cayaan penuh terhadap apa-apa yang ber-
kenaan dengan Dzat Tuhan sehingga dalam
bertindak dan bertutur selalu difikirkan ter-
lebih dahulu agar tidak melanggar dengan
norma yang menyatu dengan masyarakat. Nilai
budaya yaitu nilai yang berkaitan dengan adat
masyarakat sehingga tata peraturannya tidak
bisa diubah sesuka hati (Andayani, 2013: 69-
72).
Masalah penelitian adalah mengetahui apa
saja unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerita
rakyat “Baridin”. Tujuan dari penelitian ini
yakni untuk menguraikan dan menjelaskan
unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerita
rakyat “Baridin” masyarakat Desa Gegesik
sehingga penelitian ini menggunakan metode
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 79 | pymupdf |
126
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
etnografi. Spradley (2007: 3) menegaskan
bahwa etnografi ialah pendeskripsian perihal
kebudayaan yang memiliki tujuan untuk
mendapatkan sebuah pemahaman sudut
pandang dari penduduk asli. Hasil akhir dari
pendekatan etnografi yakni naratif deskriptif
yang memiliki sifat menyeluruh dengan
sebuah interpretasi segala aspek dan kom-
pleksitas kehidupan.
Analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik
sudah sering dijumpai terutama dalam karya
sastra seperti novel, cerita rakyat, puisi, cerpen,
dan lain sebagainya. Adapun penelitian yang
sejenis dan dijadikan rujukan, misalnya yang
dilakukan Fitriani (2017). Pada penelitian yang
dilakukan Fitriani menegaskan perihal
kemampuan siswa dalam menganalisis suatu
unsur instrinsik cerita rakyat dari Toraja yang
berjudul “Baine Ballo”.
Penelitian yang dilakukan Fitriani ber-
fokus pada unsur intrinsik, hal ini bertujuan
agar siswa tidak hanya mampu mengenal
karya sastra melainkan dapat mengapresiasi
sastra dengan baik. Pembaca tentu tidak dapat
menghargai keberadaan sastra jika tidak me-
mahaminya dengan baik. Penelitian Fitriani
hadir agar siswa mampu mengapresiasi satra
dengan baik, cara mengapresiasi sastra ter-
sebut dengan menganalisis unsur instrinsik di
dalamnya.
Pada cerita rakyat “Baridin” juga meng-
analisis unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik pada
cerita rakyat “Baridin” bersisi pedoman,
hikmah, dan tuntunan agar anak-anak khusus-
nya pelajar dapat mengaplikasikan dengan
baik.
2.
Metode
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap
unsur intrinsik dan ekstrinsik pada transkripsi
cerita rakyat “Baridin” sebagai data informan.
Informan yang dimaksud yakni seseorang
yang mengetahui cerita rakyat “Baridin” di
Desa Gegesik Kecamatan Jagapura Kabupaten
Cirebon.
Penelitian ini bertujuan untuk mem-
berikan gambaran mengenai unsur intrinsik
dan unsur ekstrinsik pada cerita rakyat
“Baridin” sehingga jenis dari penelitian ini
merupakan metode kualitatif deskriptif. Teknik
yang digunakan dalam pengumpulan data
yakni teknik wawancara dan observasi. Jika
suatu penelitian menggunakan teknik wawan-
cara maka kegiatan tersebut hanya bertumpu
pada satu tujuan saja yakni pengumpulan
suatu informasi.
Penelitian ini menggunakan wawancara
terbuka atau wawancara tidak terstruktur
(Unstructured Interview). Sugiyono (2015:
194-195) menegaskan bahwa wawancara
terbuka merupakan wawancara dengan
memberikan keleluasaan informan untuk
memberikan serta menerangkan jawaban
dengan bebas. Menurut Moleong (2014: 186-
191) menegaskan bahwa pada kegiatan
wawancara terbuka maka jawaban disesuai-
kan dengan informan atau tanya jawab
mengalir seperti percakapan sehari-hari.
Teknik observasi dalam penelitian ini
yakni observasi partisipasi pasif. Menurut
Sugiyono (2015: 227) menegaskan bahwa
observasi partisipasi pasif maksudnya adalah
ketika peneliti datang bertatap muka dengan
informan maka kegiatan yang berkaitan
dengan keseharian informan tidak turut serta.
Pada penelitian ini hanya datang bertemu
informan namun tidak terlibat dalam kegiatan
apapun yang berkenaan dengan aktivitas
informan. Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara dan observasi
maka alat untuk membantu dalam pengumpul-
an data yakni pedoman wawancara dan
pedoman observasi.
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 80 | pymupdf |
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
127
Teknik analisis data pada penelitian ini
dengan model Miles dan Huberman yang
meliputi empat tahap yakni pengumpulan data,
reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan. Pada pengumpulan data yakni
melibatkan sebuah transkip wawancara
mengenai cerita rakyat “Baridin”, mengetik
data yang didapat dari lapangan, memilah-
milah data ke dalam jenis yang tidak sama
bergantung pada informasi apa yang akan
diperoleh dengan cara pengkodean, pengkode-
an tersebut dimaksudkan agar data tidak
tertukar antara unsur instrinsik dan nilai-nilai
pada cerita rakyat “Baridin”.
Mereduksi data yakni pada tahap ini yang
dilakukan adalah menyelesaikan, memproses,
memfokuskan, atau membuang hal-hal yang
tidak perlu pada data yang telah diperoleh dari
lapangan kemudian memberi gambaran yang
lebih tajam. Mereduksi pula sama dengan
memilah-milah maksudnya adalah memilah
bagian-bagian yang ada pada cerita rakyat
“Baridin” kemudian bagian tersebut dibeda-
kan ke dalam bagian penting data dan bagian
yang tidak termasuk data.
Penyajian data pada penelitian kualitatif
berisi kata-kata, gambar, tabel atau kutipan
singkat sehingga data akan mudah dipahami.
Penyajian data pada penelitian ini yakni
dengan mencantumkan transkrip data dari
hasil wawancara cerita rakyat “Baridin”.
Penarikan kesimpulan, pada tahap ini
data- data yang telah dikumpulkan, direduksi
dan disajikan dengan cara yang mudah di-
pahami kemudian ditarik suatu kesimpulan
berdasarkan pengamatan yang menyeluruh
dari data-data tersebut sehingga dalam hal ini
dapat menjawab rumusan masalah yang
sudah dijabarkan.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Unsur Intrinsik
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan
dengan seorang juru kunci makam “Baridin”
dan masyarakat yang mengetahui cerita
rakyat “Baridin” di Desa Gegesik Kecamatan
Jagapura Kabupaten Cirebon diperoleh data
mengenai unsur instrinsik sebagai berikut.
3.1.1
Tema
Pada cerita rakyat “Baridin” tema yang
terkandung dalam cerita tersebut yakni “cinta
berujung kematian”. Hal ini dapat dilihat pada
data dari hasil transkrip sebagai berikut.
“....Setelah 40 hari dan Suratminah ber-
hasil menemukan Baridin akhirnya
Suratminah mengutarakan segala isi
hatinya dan benar-benar ingin me-
nikah dengan Baridin namun Baridin
menolaknya dan akhirnya Suratminah
meniggal di hadapan Baridin setelah
Suratminah meninggal saat sore hari
Baridin ingin berbuka puasa akhirnya
Baridin ikut meninggal.”
Bermula dari rasa cinta kemudian dihina
habis-habisan ini yang mengakibatkan sakit
hati yang tidak berkesudahan sehingga me-
milih jalan lain untuk membalaskan rasa
sakitnya. Hal ini tanpa disadari akan mem-
bahayakan orang lain dan dirinya sendiri.
3.1.2
Alur
Alur dapat diartikan sebagai suatu jalan dalam
hal ini yakni jalan suatu cerita, alur pada cerita
ini merupakan alur maju. Hal ini dapat dilihat
pada data dari hasil transkrip sebagai berikut.
“....Cerita Baridin ini adalah cerita ten-
tang dua sejoli yang tidak ditakdirkan
bersama di dunia, cerita ini bermula
dari rasa sakit hati yang terus-menerus
kemudian memilih jalan lain untuk
membalaskan rasa sakit tersebut
hingga menyebabkan kematian.”
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 81 | pymupdf |
128
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
Cerita ini merupakan cerita yang memiliki
jalan cerita runtun dari awal hingga akhir
tanpa mengisahkan kejadian-kejadian di masa
lalu atau mengulas sebagian di masa lalu
sehingga cerita ini memiliki alur maju.
3.13
Latar
Latar merupakan hal yang berkenaan dengan
tempat, suasana, waktu dan keadaan sosial
dalam cerita. Latar tempat pada cerita
“Baridin” yakni di rumah Baridin, di rumah
Suratminah, di jalan hendak ke sawah, dan di
sawah. Data yang menjelaskan latar tempat di
rumah Baridin yaitu sebagai berikut.
“....semisal celananya sobek maka ketika
di rumah ia menambal dengan bahan
yang lain, hal itu dilakukan karena
Baridin saking tidak punya uang untuk
membeli yang baru.”.
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa latar tempat saat Baridin
menambal celana yang sobek terjadi di Rumah
Baridin. Data selanjutnya yang menjelaskan
latar tempat di rumah Suratminah yaitu
sebagai berikut.
“...kemudian Mbok Wangsih pergi ke
rumah Suratminah untuk melamar.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa latar tempat saat Mbok Wangsih
akan melamarperempuan yang diinginkan
Baridin yakni di Rumah Suratminah selaku
perempuan yang dicintai oleh Baridin. Data
selanjutnya yang menjelaskan latar tempat di
jalan hendak ke sawah sebagai berikut.
“...tiba-tiba di jalan menuju sawah
bertemu dengan perempuan cantik
bernama Suratminah”.
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa pada saat Baridin akan pergi
meluku tiba-tiba ia bertemu dengan perem-
puan yang begitu menggetarkan hatinya.
Kejadian tersebut terjadi di jalan menuju
sawah. Data selanjutnya yang menunjukkan
latar tempat di sawah sebagai berikut.
“Pagi-pagi sekali Baridin sudah ada di
sawah.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa pekerjaan sehari-hari Baridin
adalah meluku itu sebabnya setiap pagi Baridin
sudah ada di sawah.
3.1.4
Latar Suasana
Latar suasana pada cerita “Baridin” yakni
senang dan sedih. Data yang menjelaskan latar
suasana senang sebagai berikut.
“....hati Baridin bergetar kemudian
baridin merasa senang dan benar-
benar cinta kepada anak Bapak Dam
yang dikenal orang paling kaya di desa
tersebut.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa perasaan Baridin begitu bahagia
karena telah melihat perempuan ayu seperti
Suratminah, Baridin merasa memiliki perasa-
an aneh hingga membuatnya benar-benar
tergila-gila. Data selanjutnya yang menjelaskan
latar suasana sedih sebagai berikut.
“....Baridin yang selama ini diurus oleh
Mbok Wangsih merasa sakit hati men-
dengar Mbok Wangsih dihina.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa perasaan Baridin begitu patah
saat ia tahu bahwa Mbok Wangsih ibunya telah
dihina dan diludahi oleh Suratminah yang saat
ini ia cintai.
3.1.5
Latar Waktu
Latar waktu pada cerita “Baridin” yakni pagi
hari, sore hari, petang hari. Data yang men-
jelaskan latar waktu pagi hari sebagai berikut.
“....Pagi-pagi sekali Baridin sudah ada di
sawah.”
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 82 | pymupdf |
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
129
Dari data yang telah dijabarkan dapat
dilihat bahwa Baridin setiap hari selalu meng-
habiskan waktu di sawah karena memang
pekerjaanya adalah meluku, sejak pagi Baridin
sudah ada di pelataran sawah hal ini menun-
jukkan bahwa latar waktu cerita “Baridin”
terjadi di pagi hari. Data yang menunjukkan
latar waktu di sore hari sebagai berikut.
“....Sore itu setelah pulang dari sawah.”
Dari data yang telah dijabarkan dapat
dilihat bawa pekerjaan Baridin adalah meluku
dan selalu berkecimpung di pelataran sawah
lalu pada saat sore hari Baridin pulang ke
rumah. Dalam hal ini menunjukkan bahwa
pada saat pulang ke rumah terjadi pada sore
hari. Data yang menunjukka latar waktu petang
hari sebagai berikut.
“....saat petang hari Baridin ingin ber-
buka puasa akhirnya Baridin ikut me-
ninggal di bawah pohon Bidara dekat
sawah.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa saat Baridin akan berbuka
puasa setelah menjalani puasa 40hari 40
malam akhirnya Baridin dipanggil oleh Allah
Swt, kejadian tersebut terjadi pada saat petang
hari.
3.1.6
Latar Suasana
Latar suasana atau keadaan sosial pada cerita
“Baridin” yakni dalam keadaan musim paceklik
dan meyaknini hal-hal yang tidak sesuai
syariat islam. Data yang menjelaskan keadaan
sosial yakni sebagai berikut.
“...Saat itu Brebes sedang musim pa-
ceklik atau musim yang begitu susah
dan jauh dari kata cukup.”
“...Warisan tersebut berbentuk pelet
atau dengan sebutan kemat jaran
goyang.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa Baridin adalah putra Brebes,
pada saat itu Brebes sedang dilanda musim
paceklik akhirnya Baridin merantau ke daerah
cirebon. Data tersebut telah menunjukkan
keadaan sosial dengan ditandai musim pa-
ceklik. Data selanjutnya yakni meyakin ppada
hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat islam,
pernyataan tersebut dapat dilihat dari data
yang telah menunjukkan bahwa Baridin
meyakini adanya kemat jaran goyang yang
kemudian Baridin menempuh syarat-syarat
yang akan membalas segala rasa sakit hatinya.
3.1.7
Tokoh/Penokohan
Tokoh yaitu orang yang berperan pada suatu
cerita, tokoh pada cerita rakyat “Baridin” yakni
Baridin, Suratminah, Mbok Wangsih, Gem-
blung Dinulur, dan Bapak Dam. Berbicara
tokoh tentu akan berkaitan dengan penokoh-
an. Penokohan yakni suatu penggambaran
secara rinci menganai watak seseorang yang
muncul dalam suatu cerita. Penokohan pada
cerita rakyat “Baridin” yakni Baridin memiliki
watak yang begitu keras, pasrah, dan polos.
Data yang menjelaskan watak Baridin sebagai
berikut.
“....sebelumnya Baridin Memang sudah
diwanti-wanti bahwa Bapak Dam
adalah orang yang paling kaya dan ini
sangat mustahil jika Bapak Dam mene-
rima lamaran ini namun Baridin tidak
mau mendengar perkataan dari Ibunya
itu.”
“....Baridin benar-benar patah namun ia
hanya bisa pasrah pada Tuhan sebab
ia tidak tahu harus berbuat apa.”
“...setelah diberi ajian pelet kemat jaran
goyang kemudian Baridin mengikuti
saran yang diberikan temannya itu,
Baridin hanya berharap ajian tersebut
benar adanya sehingga rasa sakit yang
diterima ibunya tersebut bisa se-
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 83 | pymupdf |
130
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
banding dengan manjurnya ajian
tersebut.”
Dari data yang telah dijabarkan dapat
dilihat bahwa Baridin adalah anak orang biasa
yang kemudian memiliki perasaan suka
terhadap Suratminah yang begitu cantik dan
terkenal anak orang kaya bernama Bapak
Dam, hal itu telah diketahui oleh Mbok Wangsih
selaku ibu Baridin, Mbok Wangsih menyuruh
Bridin untuk mengurungkan niatnya untuk
melamar Suratminah karena Mbok Wangsih
merasa sadar diri dan hal itu tentu akan
mustahil namun Baridin tidak mau men-
dengarkan perkataan ibunya tersebut.
Saat Mbok Wangsih pulang ke rumah dan
menceritakan bahwa dirinya telah dicaci maki
dan diludahi akhirnya Baridin benar-benar
patah hati, ia merasa sakit karena Suratminah
tega meludahi ibunya yang sangat ia sayangi.
Baridin merasa sakit hati namun ia hanya bisa
pasrah.
Baridin menceritakan semua rasa sakit-
nya kepada Gemblung selaku teman karibnya
akhirnya Gemblung merasa tidak terima
lantaran temannya telah disakiti kemudian
Gemblung menyuruh Baridin untuk melaku-
kan pelet dengan ajian kemat jaran goyang
disertai dengan puasa 40hari 40malam.
Baridin hanya mengikuti saran Gemblung
begitu saja tanpa memikirkan akibat yang
akan diterima dikemudian hari. Pada saat
Baridin telah melakukan puasa 40hari 40
malam ketika petang hari ia hendak berbuka
puasa akhirnya Baridin meninggal di bawah
pohon bidara.
Suratminah memiliki watak yang sombong,
data yang menunjukkan bahwa Suratminah
memiliki watak sombong sebagai berikut.
“....Respon
orang
kaya
seperti
Suratminah ketika melihat Baridin
tentu jauh bagaikan langit dan bumi
kemudian Ratminah merasa tidak suka
dengan Baridin karena bajunya yang
penuh dengan tambalan, dekil, dan bau.”
Dari data yang telah dijabarkan dapat
dilihat bahwa Ratminah adalah perempuan
yang begitu cantik namun ia memiliki watak
yang begitu sombong.
Mbok Wangsih memiliki watak penurut,
data yang menunjukkan bahwa Mbok Wangsih
memiliki watak penurut sebagai berikut.
“....dengan segenap cinta Mbok Wangsih
meyakinkan hatinya dan mau menuruti
kemauan anak semata wayangnya itu”.
Dari data yang telah dijabarkan dapat
dilihat bahwa Mbok Wangsih memiliki anak
semata wayang yang bernama Baridin itu
sebabnya ia berusaha untuk membuat anak
semata wayangnya itu bahagia.
Gemblung memiliki watak pemarah dan
pendendam. Data yang menunjukkan bahwa
Gemblung memiliki watak pemarah dan
pendendam sebagai berikut.
“....Gemblung tidak terima melihat teman
akrabnya disakitin dengan mengucap
kata-kata kasar “Goblok kamu Baridin
dihina seperti ini kamu diam saja malah
menghabiskan tenaga dengan me-
nangis terus-menerus”. Gemblung me-
lanjutkan perkataannya bahwa dulu
dirinya pernah diberi warisan oleh
Bapaknya kemudian warisan itu akan
dibagi kepada Baridin, warisan ter-
sebut berbentu pelet atau dengan sebut-
an kemat jaran goyang.”
Dari data yang telah dijabarkan dapat
dilihat bahwa Gemblung merupakan teman
baiknya Baridin itu sebabnya Gemblung
merasa tidak terima ketika mengetahui bahwa
Baridin telah disakiti akhirnya Gemblung
memberi saran agar Baridin melakukan ajian
kemat jaran goyang. Hal itu menunjukkan
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 84 | pymupdf |
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
131
bahwa Gemblung memiliki watak pemarah
dan pendendam.
Bapak Dam memiliki watak sombong, data
yang menunjukkan bahwa Bapak Dam me-
miliki watak sombong sebagai berikut.
“....Mbok Wangsih dihina dan disangka
seorang pengemis oleh Bapak Dam dan
Suratminah namun tidak sampai di situ
bahkan Mbok Wangsih diludahi oleh
Suratminah, Bapak Dam memiliki sikap
ramah hanya kepada mereka-mereka
yang sepadan saja selebihnya ia me-
miliki sikap yang sebaliknya.”
Dari data yang telah dijabarkan dapat
dilihat bahwa Bapak Dam adalah orang yang
terpandang dan dikenal sebagai orang yang
kaya raya, Bapak Dam merasa tidak suka
karena putrinya Suratminah dilamar oleh
perempuan miskin dengan membawa se-
serahan seadanya. Hal ini menunjukkan
bahwa Bapak Dam memiliki watak yang
sombong.
3.1.8
Sudut Pandang
Pada cerita rakyat “Bardin” yakni memiliki
sudut pandang orang ketiga pelaku utama, data
yang menunjukkan bahwa cerita rakyat
“Baridin” menggunakan sudut pandang orang
ketiga pelaku utama sebagai berikut.
“....Baridin itu orang yang tidak punya
apa-apa atau bisa dikatakan sangat
miskin.”
“....Suratminah adalah perempuan yang
begitu cantik.”
“....yang terlahir dari ibu yang bernama
Mbok Wangsih.”
“....Bapak Dam memiliki sikap ramah
hanya kepada mereka-mereka yang
sepadan saja.”
“....Baridin menceritakan semuanya
kepada Gemblung selaku teman baiknya.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa cerita rakyat “Baridin” meng-
gunakan nama tokoh dalam cerita tersebut,
hal ini dapat menunjukkan bahwa pada cerita
rakyat “Baridin” menggunakan sudut pandang
orag ketiga pelaku utama.
3.1.9 Amanat
Amanat adalah suatu petuah yang ada
dalam cerita agar orang-orang dapat mene-
ladani dan mengaplikasikannya dalam ke-
hidupan sehari-hari. Amanat bisa juga dikata-
kan sebagai pesan yang ada dalam suatu cerita.
Amanat juga bisa diartikan sebagai suatu
teladan yang berisi contoh-contoh, contoh-
contoh tersebut dapat berupa kejadian yang
memiliki timbal balik pada pelakunya. Data
yang menunjukkan amanat pada cerita rakyat
“Baridin” sebagai berikut.
“.....Pada akhir cerita ini sejatinya mem-
beri pesan kepada setiap orang ter-
utama perempuan. Semisal banyak
lelaki yang terkagum-kagum karena
kecantikan yang dimiliki maka jangan
sombong karena seberapa cantik dan
seberapa kayapun akan hilang dengan
sendirinya, ketika merasa kurang
cocok dengan lelaki yang datang me-
lamar maka sebaiknya utarakan dengan
menggunakan bahasa yang baik serta
sopan. Sesama manusia harus saling
menghormati sebab ketika sudah sakit
hari maka bisa menyebabkan bahaya
bagi diri sendiri dan ketika teman atau
orang lain dalam kesusahan harus
saling tolong-menolong namun tolong
menolong dalam hal kebaikan.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa sejatinya hidup hanya sekali
maka berikan yang terbaik dan lakukan yang
terbaik kemudian jika berbicara cinta maka
memang tidak pernah habis sebab setiap
insan diberi fitrah untuk mencinta dan dicinta.
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 85 | pymupdf |
132
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
Pada cerita rakyat “Baridin” ini menjelaskan
bahwa jangan terlalu melangit dalam me-
mandang manusia yang hakikatnya hidup di
bumi karena jika terlalu melangit bisa jadi
pandangan itu terlalu tinggi hingga meng-
akibatkan diri sendiri jatuh terlalu dalam. Jika
dikaruniai kecantikan yang begitu berlebih ada
baiknya menunduk sebab ketika terlalu
sombong akan merugikan diri sendiri ketika
banyak orang yang datang melamar jika ingin
menolak maka utarakan dengan kata-kata yang
baik dan sopan sebab jika tidak akan menyakiti
hati orang lain, rasa sakit hati itulah yang
kemudian menebal dan timbul dendam.
Dendam yang tidak berkesudahan inilah yang
akan membahayakan diri sendiri dan orang
lain.
Pesan selanjutnya yakni jangan pernah
beranggapan bahwa pada saat cinta ditolak
maka hidup menjadi gelap gulita kemudian
memupuk dendam yang begitu besar sehingga
menghalalkan segala cara agar dapat mem-
balaskan segala dendam yang ada di hati, hal
ini tidak dibenarkan karena ketika segala cara
dilakukan dengan menempuh jalan tidak baik
maka ini bisa berakibat fatal seperti kematian.
Pada cerita Baridin ini diawali dengan rasa
sakit hati yang begitu hebat kemudian ber-
tekad balas dendam dengan membaca ajian-
ajian kuno yang diyakini dapat manjur jika
ditempuh dengan puasa 40hari 40 malam
dengan hasil akhir dapat membawa petaka
bagi diri sendiri dan orang lain.
Pesan berikutnya yakni ketika seorang
teman dalam keadaan susah maka tolonglah,
menolong di sini maksudnya adalah menolong
atau membantu dalam hal kebaikan bukan
keburukan sebab yang akan menyes aladalah
orang yang menolong dalam keburukan
tersebut. Pada cerita Baridin ini yakni seorang
teman yang bernama Gemblung membantu
dengan memberikan saran untuk mengemat
perempuan yang menyakiti. Hal ini sama saja
diibaratkan bahwa teman sendiri tega men-
jerumuskan padahal yang buruk dan ini
jauhdari kata setia kawan sebab setia kawan
yang sejatinya tentu akan saling mengingat-
kan dalam hal kebaikan, melakukan kebaikan
bersama-sama dan menegur jika melakukan
kesalahan.
3.2 Unsur Ekstrinsik (Berisi Nilai-Nilai)
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan
dengan seorang juru kunci makam “Baridin”
dan masyarakat yang mengetahui cerita
rakyat “Baridin” di Desa Gegesik Kecamatan
Jagapura Kabupaten Cirebon diperoleh data
mengenai unsur ekstrinsik sebagai berikut.
3.2.1
Nilai Moral
Moral adalah suatu hal yang merujuk pada
tingkah laku seseorang atau baik buruknya
perilaku seseorang. Moral adalah hal yang
berkenan dengan norma-norma, norma-
norma tersebut menjadi rujukan untuk meng-
ukur tindakan seseorang mengandung unsur
kebaikan atau keburukan. Nilai moral yang ada
pada cerita rakyat “Baridin” yaitu Baridin
begitu gigih dalam bekerja meski anak semata
wayang tetapi tetap bekerja tanpa malas-
malasan, ia rela menjadi tulanggung punggung
demi menghidupi dirinya dan ibunya selain itu
Baridin begitu fokus bekerja sampai ia tidak
memikirkan perempuan hingga dirinya
menjadi bujangan tua. Data yang menunjuk-
kan nilai moral sebagai berikut.
“....ia memang anak semata wayang dan
itu tidak menjadikan dirinya manja serta
bermalas-malasan, ia rela bekerja hanya
untuk menghidupi ibunya.”
“....Baridin hanya sibuk dengan pekerja-
anya saja itu sebabnya ia menjadi
bujangan tua yang telat menikah.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa data tersebut merupakan nilai
moral, hal itu sesuai dengan apa yang telah di-
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 86 | pymupdf |
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
133
paparkan bahwa Baridin adalah anak semata
wayang namun ia tetap semangat bekerja
kemudian data selanjutnya yakni Baridin fokus
bekerja saja sampai ia lupa bahwa dirinya
telah cukup usia untuk berumah tangga.
3.2.2
Nilai Sosial
Nilai sosial adalah suatu hal yang berkenaan
dengan hubungan harmonis dalam bermasya-
rakat. Nilai sosial lebih kepada tutur kata,
maksudnya yaitu ungkapan seseorang yang
merujuk pada baik atau buruknya isi dari
ungkapan tersebut kemudian nilai sosial juga
suatu kebiasaan atau suatu perilaku baik atau
buruk seseorang terhadap orang lain. Nilai
moral yang ada pada cerita rakyat “Baridin”
yaitu Bapak Dam hanya memiliki sikap ramah
kepada orang yang sepadan saja kemudian
Baridin dan gemblung memiliki hubungan
baik. Hal ini dapat dilihat pada data sebagai
berikut.
“....Bapak Dam memiliki sikap ramah
hanya kepada mereka-mereka yang
sepadan saja selebihnya ia memiliki
sikap yang sebaliknya.”
“....Baridin menceritakan semuanya
kepada Gemblung selaku teman baik-
nya.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa data tersebut merupakan nilai
sosial, hal itu sesuaiketika Bapak Dam begitu
baik dan begitu ramah dengan orang yang
memiliki kekayaan setara dengan dirinya
kemudian Baridin memiliki hubungan baik
dengan Gemblung. Pada hakikatnya setiap
prilaku baik, tutur laku baik kepada orang lain
akan timbal balik baik juga bagi pelakunya
begitupun sebaliknya.
3.2.3
Nilai Agama
Nilai agama ialah suatu kepercayaan penuh
terhadap apa-apa yang berkenaan dengan
Dzat Tuhan sehingga dalam bertindak dan
bertutur selalu difikirkan terlebih dahulu agar
tidak melanggar dengan norma yang menyatu
dengan masyarakat, maksudnya ialah segala
perbuatan yang dilakukan selalu berkaitan
dengan nilai keagamaan. Pada cerita rakyat
“Baridin” yakni setelah Baridin merasa ter-
pukul ia lebih memilih pasrah kepada Tuhan
kemudian ketika Gemblung memberi saran
agar Baridin melakukan kemat jaran goyang.
Hal inidapatdilihatpada data sebagaiberikut.
“....Baridinbenar-benar patah namun ia
hanya bisa pasrah pada Tuhan sebab
ia tidak tahu harus berbuat apa.”
“....Gemblung melanjutkan perkataannya
bahwa dulu dirinya pernah diberi
warisan oleh Bapaknya kemudian
warisan itu akan dibagi kepada Baridin,
warisan tersebut berbentuk pelet atau
dengan sebutan kemat jarangoyang.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa data tersebut merupakan nilai
agama, hal itu sesuai ketika Baridin memiliki
kepercayaan terhadap Tuhan karena dirinya
berserah diri, hal ini menegaskan bahwa
Baridin adalah seorang hamba yang masih
meyakini keberadaan Tuhan sehingga apa
yang terjadi meski hatinya sedang sakit dan
benar-benar patah ia hanya bisa menyerah-
kan segala permasalahan kepada Tuhan sebab
Tuhan adalah pengatur kehidupan, apa-apa
yang sudah digariskan pada seseorang maka
tidak akan terjadi pada orang lain dan apa-apa
yang digariskan untuk orang lain maka tidak
akan terjadi pada diri kita.
Nilai agama selanjutnya yakni Gemblung
memberi warisan berbentuk kemat yang
berisi ajian-ajian disertai dengan puasa 40hari
40 malam. Hal ini menegaskan bahwa nilai
agama yang dimaksud adalah dinamisme,
dinamisme adalah kepercayaan pada sesuatu
yang berbentuk benda-benda.
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 87 | pymupdf |
134
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
Pada cerita rakyat “Baridin” dijelaskan
bahwa Gemblung memberikan suatu ajaran
dinamisme yang diyakini dapat terkabul jika
dibarengi dengan puasa 40hari 40 malam.
Sebagai manusia yang menganut ajaran islam
sepatutnya hanya percaya pada apa-apa yang
ada dalam islam sekalipun dalam keadan
mendesak atau keadaan yang begitu lemah
(lemah fisik atau lemah batin) tentu harus
berpegang pada ajaran islam bukan yang lain.
Ajaran islam memang ada anjuran untuk
berpuasa namun puasa tersebut ditujukan
untuk Tuhan bukan untuk manusia, puasa
40hari 40malam dalam islam tidak ada yang
ada hanya puasa wajib dan puasa sunnah.
Puasa wajib di antaranya adalah puasa
ramadhan dengan kewajiban berpuasa selama
satu bulan penuh kemudian puasa sunnah di
antaranya adalah puasa senin kamis sedang-
kan puasa 40hari 40malam tidak dijelaskan
dalam islam.
3.3.3
Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan nilai yang berkaitan
dengan adat masyarakat sehingga tata per-
aturannya tidak bisa diubah sesuka hati mak-
sudnya yakni bahwa nilai budaya adalah
bentuk dari kesepakatan bersama yang ada
pada suatu masyarakat sebab budaya terlahir
dari masyarakat itu sendiri. Budaya bisa
dikatakan sebagai kebiasaan dalam suatu
masyarakat oleh karenanya budaya dijadikan
suatu ciri khas dari suatu daerah yang
kemudian budaya tersebut dapat terus hidup
disepanjang zaman. Nilaibudaya yang ada pada
cerita rakyat “Baridin” yaitu Mbok Wangsih
membawa suatu bingkisan ketika hendak
mempersunting wanita.Hal ini dapat dilihat
pada data sebagaiberikut.
“....setelah berbincang kemudian Mbok
Wangsih pergi ke rumah Suratminah
untuk melamar dengan membawa
makanan atau seserahan seadanya.”
Dari data yang sudah dijabarkan dapat
dilihat bahwa data tersebut merupakan nilai
budaya, hal itu sesuai dengan apa yang telah
Mbok Wangsih bawa ketika hendak melamar
seorang gadis untuk anak lelakinya.
4.
Simpulan
Berdasarkan hasil deskripsi data maka dapat
disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan
tuntunan kehidupan. Pada cerita rakyat
“Baridin” terdapat unsur instrinsik yang
menjadikan cerita tersebut lengkap seperti
tema pada cerita rakyat “Baridin” yakni cinta
berujung kematian, alur maju sebagai alur
pada cerita tersebut kemudian terdapat empat
latar tempat, dua latar suasana, tiga latar waktu
dan dua latar keadaan sosial. Tokoh/penokoh-
an dalam cerita tersebut yakni Baridin dengan
watak keras kepala, pasrah, polos, Suratminah
memiliki watak sombong, Mbok Wangsih
memiliki watak penurut, Bapak Dam memiliki
watak sombong kemudian Gemblung memiliki
watak pemarah dan pendendam. Pada cerita
rakyat “Baridin” memiliki sudut pandang
orang ketiga pelaku utama kemudian amanat
dari cerita tersebut yakni jangan sombong,
saling menghormati serta saling tolong
menolong dalam hal kebaikan.
Pada cerita rakyat “Baridin” terdapat
empat nilai besar yakni nilai moral, nilai sosial,
nilai agama dan nilai budaya.Nilai moral pada
cerita rakyat “Baridin” yakni Baridin adalah
anak semata wayang tetapi tidak manja dan
tidak menjadikan alasan untuk bermalas-
malasan. Nilai sosial pada cerita “Baridin” yakni
Bapak Dam memiliki sikap ramah hanya
kepada orang yang memiliki harta sepadan
serta Baridin memiliki hubungan baik dengan
Gemblung. Nilai agama pada cerita ini yakni
religius dan animisme. Nilai budaya pada cerita
ini yakni adanya adat seserahan ketika hendak
melamar.
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 88 | pymupdf |
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
©2020, Widyasastra
135
Daftar Pustaka
Andayani, A. Suryanto, E. & Maulana, N, T.
(2018). Analisis Struktural Dan Nilai
Pendidikan
Cerita
Rakyat
Serta
Relevansinya Seabagai Bahan Ajar
Bahasa Indonesia. Jurnal Gramatika, V4.I1.
Danandjaja, J. (2007). Foklor Indonesia: Ilmu
Gosip, Dongeng, Dll. Jakarta: Grafitipers.
Fitriani. (2017). Kemampuan Menganalisis
Unsur Instrinsik Cerita Rakyat Toraja
“Baine Ballo.” Jurnal Serunai Bahasa
Indonesia, Vol.15, No 2
James P, Spradley. (2007). Metode Etnografi.
Yogyakarta: Tiara.
Moleong, L, J. (2014). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mushoffa Aziz. (2001). Untaian Mutiara Buat
Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, B. (2005). Sastra Anak,
Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta: Gajah Mada.
Nurgiyantoro,
B.
(2010).
Penilaian
Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: Bpfe.
Rusyana, Y. (1984). Metode Pengajaran Sastra.
Yogyakarta: Kanisius.
Sedyawati. (2012). Budaya Indonesia (Kajian
Arkeologi, Seni, Dan Sejarah). Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Setyawan, B. W. (2015). Nakah Drama Jenggit
Cembeng Karya Trisno Santoso Sebagai
Alternatf Bahan Ajar Telaah Naskah
Sandiwara Pada Siswa Smp. Harmonia,
Vol. 167, No 73.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidik-
an Pendekatan Kualitatif Kuantitatif Dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Susianti, A. (2015). Nilai-Nilai Sosial Yang
Terkandung Dalam Cerita Rakyat “Ence
Sulaiman” Pada Masyarakat Tomia. Jurnal
Humanika, Vol. 3, No 15.
Widarsha, C, S. (2019). Https://www.
Kompas.Tv/Amp/Article/57097/Videos/
Waspada-Kecanduan-Gadged-Seorang-
Anak-Alami-Kerusakan-Motorik-Halus.
(Diakses, Selasa 24 Desember 2019).
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 89 | pymupdf |
136
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
REALISME MAGIS DALAM CERPEN “TAMU YANG DATANG DI HARI
LEBARAN” KARYA A.A. NAVIS
MAGICAL REALISM IN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN” SHORT
STORY BY A.A. NAVIS
Fikha Nada Naililhaq
Program Studi Magister Ilmu Sastra
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Posel: [email protected]
Abstrak
Realisme magis dipahami sebagai unsur estetik yang mengandung magis bercampur dengan
realitas yang ada. Kajian artikel ini berdasarkan sudut pandang bahwa karya sastra tidak lepas
dari kultur masyarakat dan pengarang. Makna yang terkandung dalam karya sastra ditentukan
oleh nilai budaya, adat istiadat, norma, serta ideologi pengarangnya. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengkaji makna realisme magis dalam cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran
karya A.A. Navis. Metode dalam artikel ini menggunakan metode deskriptif analisis untuk
mendeskripsikan, menganalisis, dan menemukan fakta pada data yang ada. Sementara metode
studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan data untuk dianalisis. Dalam cerpen Tamu yang
Datang di Hari Lebaran karya A.A. Navis terdapat ciri-ciri realisme magis, antara lain, unsur
yang tidak dapat direduksi, dunia fenomenal, penggabungan antara magis dengan realitas,
keraguan yang menggoyahkan tokoh, serta rusaknya batas pemisah antara ruang, waktu, dan
identitas. Dalam cerpen tersebut berlandaskan kebudayaan Islam tentang berkumpul bersama
keluarga pada saat hari lebaran, namun karena zaman sudah berbeda muncul kebudayaan
baru yang meninggalkan kebudayaan lama.
Kata kunci: realisme magis, budaya, sosial, religi, karya sastra
Abstract
Magical realism is known as an aesthetic element that contains magic mixed with existing
reality. The study of this article is based on the point of view that literary works cannot be
separated from the culture of society and the author. The meaning contained in literary works
is determined by the cultural values, customs, norms, and ideology of the author. The purpose
of this research is to examine the meaning of magical realism in the short stories of “Tamu
yang Datang di Hari Lebaran” by A.A. Navis. The method in this article uses a descriptive
analysis method to describe, analyze, and find facts on existing data. Meanwhile, the literature
study method is used to collect data for analysis. In the short story of “Tamu yang Datang di
Hari Lebaran” by A.A. Navis there were characteristics of magical realism, among others,
irreducible elements, the phenomenal world, the amalgamation of magic with reality, doubts
that shake characters, and breaking the boundaries between space, time and identity. The
short story was based on Islamic culture about gathering with family during Eid, but because
the time goes different to a new culture that left the old culture behind.
Keywords: magical realism, culture, social, religion, literary works
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 90 | pymupdf |
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
137
1.
Pendahuluan
Cerpen digunakan pengarang untuk meng-
ungkapkan realitas yang ada pada masyarakat.
Walaupun demikian, pengarang tetap me-
nambahkan fantasi maupun imajinasinya. AA
Navis merupakan salah satu pengarang yang
bergenre realis. Ia membuat karya sastra se-
suai realitas yang ada pada masyarakat. Dalam
artikel ini akan dibahas tentang karya AA
Navis yang berjudul “Tamu yang Datang di
Hari Lebaran” dengan mengidentifikasi
realisme magis yang terdapat dalam cerita.
Realisme magis merupakan istilah yang
muncul pada tahun 1925 saat Franz Roh me-
nerbitkan esai tentang karya sastra yang mem-
bahas tentang realisme magis (Hasanah,
2018). Hal tersebut muncul karena adanya
novel karya Gabriel Grancia Marquez yang
berjudul One Hundred Years of Solitude pada
tahun 1967. Cerita dalam novel tersebut
tentang unsur supranatural yang tidak masuk
akal, namun dianggap wajar oleh sebagian
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Karya sastra yang bernuansa realisme magis
juga berhubungan dengan pengalaman
traumatis yang tertuang dalam perjalanan
penulis.
Kajian realisme magis akan meng-
hubungkan kesadaran peneliti terhadap
pengalaman di dunia nyata yang secara tidak
langsung berhubungan dengan dunia yang
tidak realistis. Kejadian tersebut menandakan
adanya belenggu rasionalitas dalam diri yang
merupakan warisan dari budaya Barat yang
menjerat ruang tradisional mistis dan imaji-
natif yang khas dengan dunia Timur (Setiawan,
2018: 27). Hal inilah yang menandakan masih
adanya efek dan ruang pascakolonialisme
pada diri masyarakat Timur. Realisme magis
bisa dikatakan sebagai kritik pascakolonial,
sehingga realisme magis sering dihubungkan
dengan sastra Amerika Latin (Setiawan, 2018:
28). Dengan demikian kedekatan antara
realisme magis dan fiksi pascakolonialisme
hampir tidak dapat dipisahkan.
Realisme magis terfokus pada penumbuk-
an antara magis dan realis sebagai upaya
untuk mendekonstruksi logika Barat atas
keintiman dunia ketiga (Setiawan, 2018: 28).
Realisme magis melibatkan kontinuitas dan
perubahan sejarah terutama pada peradaban
dunia Barat. Hal ini membuat sastrawan ingin
menggambarkan antara magis yang ber-
hubungan dengan fantasi digabungkan dengan
realitas atau kepercayaan yang dianut masya-
rakat. Realisme magis tidak hanya digunakan
untuk mengidentifikasi karya sastra, ia juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi seni,
seperti seni lukis, patung dan lainnya. Tentu
saja karya-karya tersebut mengandung unsur
supranatural sehingga dapat dikaji dengan
realisme magis. Walaupun demikian, unsur
supranatural dalam realisme magis tidak
mengganggu dan mengancam psikologis
pembaca.
Sastra realisme magis, dalam alur cerita
akan menampilkan hantu, malaikat, jin, iblis,
keajaiban, dan lainnya yang bersifat supra-
natural. Realisme magis juga dilandasi ke-
percayaan, pandangan, dan alam pikiran yang
berlaku di masyarakat. Selain itu, realisme
magis juga mengangkat hal-hal yang ber-
sumber dari filosofi pengarang yang berupa
aliran kebatinan, mistis, sufisme dan lain-lain.
Tokoh-tokohnya pun tidak hanya manusia,
namun ada juga setan, jin, malaikat, bayangan,
maupun yang lainnya. Dalam artikel ini dipilih
cerpen karya AA Navis yang berjudul “Tamu
yang Datang di Hari Lebaran” untuk melihat
realisme magis yang berhubungan dengan
dunia religi, khususnya agama islam. Dalam
cerpen tersebut terindikasi adanya realisme
magis yang tercermin melalui alur cerita. Selain
itu, dialog antar tokoh dilakukan di dalam hati
seperti sedang berbicara sendiri. Terdapat
juga tokoh dalam wujud malaikat pencabut
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 91 | pymupdf |
138
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
nyawa yang berhubungan dengan magis.
Alasan-alasan tersebut menjadikan mengapa
dipilihnya cerpen “Tamu yang Datang di Hari
Lebaran” sebagai kajian realisme magis.
Menurut Wendy B. Faris dalam bukunya
yang berjudul Ordinary Enchantments: Megical
Realism and the Remystification of Narrative,
menuliskan tentang unsur-unsur yang ter-
dapat dalam realisme magis yang perlu
diketahui. Terdapat lima unsur yang dipapar-
kan Faris dalam bukunya tersebut, antara lain
(a) unsur-unsur yang tidak dapat direduksi
(the irreducible element); (b) dunia fenomenal
(phenomenal worlds); (c) penggabungan alam
(merging realism); (d) keragu-raguan yang
tidak menentu (unsettling doubts); dan (e)
gangguan waktu, ruang, dan identitas (discrup-
tions of time, space, and identity).
Unsur pertama yaitu elemen yang tidak
dapat direduksi artinya elemen tidak dapat
dijelaskan dengan hukum alam dan pikiran
rasional. Dalam hal ini menunjukan perban-
dingan antar dua dunia yang berbeda, yakni
dunia nyata dan imajinatif. Sebagaimana yang
telah diformulasikan oleh wacana barat yang
berdasarkan pada logika rasional, atau penge-
tahuan yang selama ini terdapat dalam penge-
tahuan kita. Pembaca akan disulitkan dengan
peristiwa dan karakter fiksi realisme magis
tersebut. Contoh elemen tidak dapat direduksi
yaitu benda magis, suara magis, suasana
magis, tokoh magis, dan peistiwa magis yang
digambarkan secara nyata dalam cerita.
Unsur kedua yaitu dunia fenomenal yang
berhubungan dengan deskripsi secara panjang
lebar untuk menceritakan dan memberikan
gambaran tentang kehadiran dunia feno-
menal. Realisme magis terletak diantara batas-
batas dunia realitas dan magis sehingga akan
menimbulkan kemungkinan tanpa memper-
hatikan realitas akal sehat. Objek dunia feno-
menal berupa bunyi, benda, tokoh, atau
tempat yang ditemukan dalam novel dengan
realitas yang ada. Dunia fenomenal dibagi
kedalam dua kategori yakni, fenomena ber-
dasarkan teks dan fenomena berdasarkan latar
belakang sejarah. Kedua kategori tidak me-
miliki hubungan hierarkis, melainkan dalam
sebuah jaringan yang saling melengkapi.
Unsur ketiga yaitu keraguan yang me-
resahkan, hal tersebut terjadi karena tercam-
purnya dua dunia yang berbeda yaitu dunia
nyata dan magis yang melebur sehingga akan
menimbulkan keraguan dalam diri pembaca.
Keraguan muncul akibat terbenturnya antara
rasional dengan irasional, yang logis dan tidak
logis yang terdapat dalam kultur narasi cerita
dengan kultur pembaca. Hal ini mengakibatkan
pengalaman empiris dapat mengasingkan atau
membimbing para pembaca. Unsur keempat
yakni menggabungkan realitas. Hal ini me-
ngacu pada dunia riil (nyata) dan magis. Dunia
nyata mengacu pada modernitas, sementara
magis mengacu pada tradisional. Pada unsur
keempat dunia magis bocor dan memasuki
dunia nyata, bercampur dan melebur sehingga
terlihat magis menjadi nyata. Dengan kata lain,
antara magis dan nyata tercampur sehingga
menjadikan sebuah kenyataan yang tidak
dapat dihindari.
Unsur kelima yaitu gangguan waktu,
ruang, dan identitas. Terdapat penggabungan
antara waktu, ruang, dan identitas berakiat
rusaknya pandangan atau logika terkait tiga
konsep tersebut. Waktu, ruang, dan identitas
dimaknai koridor modernisme yang ter-
ganggu bahkan rusak dengan hadirnya elemen
magis. Konsep-konsep yang ditabrakan begitu
saja menjadikan tidak adanya kestabilan,
semuanya bersifat tidak homogen karena
setiap kontruksi dapat berupa dekonstruksi
serta bersifat heterogen. Kelima unsur ter-
sebut membangun relasi antara yag magis dan
nyata melalui pecahnya masing-masing
batasan. Hal ini menunjukan tidak ada batasan
di setiap dunia, bahkan tidak kontinuitas serta
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 92 | pymupdf |
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
139
perubahan historis terbentuk dari wacana dan
teks yang isinya penuh dengan makna yang
tidak stabil.
Penelitian mengenai realisme magis
sudah banyak dilakukan. Seperti yang telah
dilakukan oleh Indarwaty (2015) dan Widijanto
(2018). Indarwaty meneliti pada tahun 2018
dengan judul “Perbandingan Extraordinary
Element dalam Narasi Fantasi, Fiksi Ilmiah dan
Realisme Magis”. Penelitian tersebut mem-
bahas tentang karakteristik narasi fantasi, fiksi
ilmiah, dan realisme magis untuk melihat ke-
beradaan extraordinary element serta fungsi-
nya dalam pembentukan plot. Extraordinary
element dalam fantasi merupakan rekaan yang
menciptakan dunia dan aturan sendiri yang
memakai logika sendiri yang berbeda dengan
dunia non-fiksi. Extraordinary element dalam
fiksi ilmiah merupakan rekaan yang harus
berbasis aturan logika ilmu pengetahuan
dalam dunia non-fiksi. Extraordinary element
dalam realisme magis berbasis mitos budaya
yang diperlakukan sebagai hal biasa dan
bukan dirayakan sebagai pusat tontonan.
Widijanto pada tahun 2018 melakukan
penelitian dengan judul “Dunia Halus Mistis
Jawa dan Fantasi Magis Ternate dalam Godlob
dan Cala Ibi”. Artikel penelitian tersebut
mengkaji kumpulan cerpen “Godlob” karya
Danarto dan “Cala Ibi” karya Nukila Amal dari
sudut pandang realisme magis. Cerpen
“Godlob” karya Danarto mengandung lima
unsur realisme magis, yakni unsur yang tidak
dapat direduksi, dunia fenomenal, peng-
gabungan antara magis dengan realitas, ke-
raguan yang menggoyahkan tokoh, serta
rusaknya batas pemisah antara ruang, waktu,
dan identitas. Cerpen “Godlob” karya Danarto
realisme magis berdasarkan mistisme Jawa
berupa konsep-konsep sangkan paraning
dumadi, mulih-mulih malanira, dan manung-
galing kawula-gusti. Sementara cerpen Cala Ibi
karya Nukila Amal realisme magis berdasar-
kan mitos-mitos historis Ternate dan sufisme
islam dengan konsep wahdatul wujud.
Melalui penelusuran tersebut bahwa
kedua penelitian di atas memiliki persing-
gungan dengan penelitian ini, khususnya pada
penggunaan objek formal, yakni realisme
magis dalam karya sastra. Meskipun demikian,
objek material yang digunakan berbeda, se-
hingga akan memunculkan temuan yang
berbeda. Rumusan masalah adalah (1) Bagai-
mana struktur realisme magis ditampilkan
dalam cerpen “Tamu yang Datang di Hari
Lebaran” karya AA Navis (2) makna realisme
magis dalam cerpen tersebut. Tujuan pene-
litian adalah menunjukkan berbagai ungkapan
yang bersifat realisme magis yang terdapat
dalam cerpen “Tamu yang Datang di Hari
Lebaran” karya AA Navis serta menjelaskan
makna-makna yang ditunjukkan melalui
berbagai ekspresi realisme magis tersebut.
2.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.
Metode pengumpulan data yang digunakan
yaitu metode studi pustaka, metode tersebut
dilakukan dengan cara menemukan segala
sumber data yang terkait dengan objek pene-
litian (Faruk, 2012: 56). Sementara metode
analisis data yang digunakan yaitu metode
deskriptif analisis, dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang termasuk
data penelitian kemudian dianalisis untuk
memberikan penjelasan. Langkah-langkah
yang dilakukan untuk menganalisis data,
antara lain: (a) membaca cerpen Tamu yang
Datang di Hari Lebaran karya A.A. Navis (b)
menandai dan mencatat data, (c) mereduksi
data, (d) menganalisis data sesuai dengan
tujuan penelitian.
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 93 | pymupdf |
140
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Struktruk Cerita Cerpen “Tamu yang
Datang di Hari Lebaran”
Alur cerita dalam cerpen “Tamu yang Datang
di Hari Lebaran” tidak beralur kronologis,
tetapi alur campuran. Banyak peristiwa yang
diceritakan secara tidak langsung, sehingga
membuat pembaca harus menafsirkan sendiri
apa maksud tulisan pengarang atau yang biasa
disebut dengan momen kosong. Pembaca
berhak menafsirkan sesuai apa yang diingin-
kannya walaupun tetap harus sesuai konteks
cerita. Oleh sebab itu, pembaca harus benar-
benar memahami alur dalam cerpen agar
tidak terjadi salah tafsir. Terkait latar, cerita
tersebut berlatar tempat di sebuah rumah
kayu tua dengan suasana sepi. Sudut pandang
yang digunakan yaitu sudut pandang orang
ketiga pelaku utama, dengan beberapa nama
yang diceritakan melalui tokoh tersebut. Tema
besar yang diambil dari cerpen ini yaitu
tentang suasana sepi ketika lebaran, tempat
seorang kakek dan nenek tinggal bersama
pembantu dan tidak ada seoarang anak me-
reka yang berkunjung di hari lebaran. Peng-
gambaran peristiwa hanya melalui pemikiran
tokoh, sehingga tidak terjadi dialog antar-
tokoh. Kedua tokoh utama Inyik dan Encik
sama-sama sedang berkelana dalam pikiran
masing-masing, meskipun pemikiran mereka
sama mengenai anak-anak mereka namun
tidak terjadi dialog dari kedua belah pihak. Hal
inilah yang perlu diidentifikasi pembaca, yakni
batas antara khayalan dan kenyataan atau riil.
Hal-hal yang berhubungan dengan realis-
me magis yang terdapat dalam cerpen digam-
barkan melalui tokoh dan peristiwa yang ada.
Tokoh yang mengandung unsur magis adalah
seorang tokoh yang dianggap sebagai malaikat
maut, ia datang ketika hari lebaran. Sementara
peristiwa magis, yaitu peristiwa lebaran ketika
seorang kakek dan nenek menginginkan anak
dan cucunya berkumpul, namun tidak ada
seorangpun yang datang berkunjung ke
rumahnya. Realisme magis juga memiliki
hubungan dengan Barat dan Timur. Realisme
digambarkan sebagai orang barat yang
percaya terhadap realitas dan modernitas.
Sedangkan magis digambarkan sebagai orang
timur yang masih percaya terhadap hal-hal
gaib yang tidak masuk akal, namun dapat
dirasionalkan. Magis atau timur dikenal
sebagai hal yang tradisional. Selain berhu-
bungan dengan hal-hal yang bersifat tradi-
sional, Timur juga dianggap sebagai orang
yang alim atau penganut ajaran agama.
3.2 Strategi Naratif Realisme Magis dalam
Cerpen Tamu yang Datang di Hari
Lebaran
Cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran
adalah cerpen yang berlatar disebuah kota
kecil yang sudah modern. Dalam kemodernan
tersebut ada salah satu rumah yang dihuni oleh
sepasang suami istri yang biasa dipanggil Inyik
dan Encik. Keduanya meupakan seorang
kakek dan nenek yang tinggal hanya bersama
pembantu saja. Anak-anaknya sudah sukses
di perantauan masing-masing, sampai mereka
lupa akan orang tuanya di hari lebaran. Dalam
alur peristiwa cerpen terdapat unsur realisme
magis, yang terdapat pada pada tokoh tamu
yang tak dikenal dengan gambaran peristiwa
yang terdapat dalam cerpen tersebut. Oleh
sebab itu, akan diulas tentang lima unsur
ralisme magis yang terdapat dalam cerita.
Unsur yang pertama adalah unsur-unsur
yang tidak dapat direduksi. Dalam hal ini
terdapat perbandingan antara dua dunia,
dunia nyata dan dunia imajinatif. Dua pers-
pektif dunia tidak lepas dari pengaruh kolo-
nialisme Barat. Dunia nyata atau riil dikatakan
sebagai dunia Barat, yakni dunia yang penuh
dengan modernitas dan rasional. Sementara
dunia imajinatif merupakan budaya orang
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 94 | pymupdf |
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
141
Timur, yang dianggap bertentangan dengan
logika orang Barat. Dalam hal ini orang Timur
dipaksa untuk meyakini bahwa dunia yang
telah ditata oleh orang Barat adalah benar. Hal
tersebut tergambar dalam cerpen sesuai
dengan data berikut.
Rumah kedua orang tua itu bangunan
kayu model lama yang berkolong tinggi.
Bercat oker yang telah pudar warna-
nya. Kelihatan ganjil di antara sederetan
bangunan bergaya terkini. Mungkin
karena sudah terlalu biasa dalam
pandangan penduduk kota kecil itu
(Navis, 2001).
Kutipan di atas menggambarkan tentang
adanya orientalisme tentang pemikiran Barat
dan Timur. Di sebuah desa kecil terdapat
rumah model lama yang mempunyai kolong
tinggi atau biasa disebut sebagai rumah pang-
gung. Rumah panggung merupakan rumah
adat tradisional asli nusantara. Rumah tradi-
sional tersebut dihuni oleh dua orang tua
yang mewakili orang Timur dalam kehidupan-
nya. Dengan ditambah deskripsi bahwa rumah
tersebut sudah pudar warnanya. Artinya
orang Timur sudah tidak mempedulikan
penampilan, mereka hanya mengutamkan
tradisi atau adat yang turun-temurun dijaga
kelestariannya, seperti layaknya rumah kuno
tersebut. Rumah tradisional yang digunakan
untuk tempat tinggal dua orang tua tersebut
dikelilingi dengan rumah-rumah modern.
Rumah modern merupakan salah satu warisan
kolonial yang dianggap benar oleh masyarakat.
Alhasil, beberapa masyarakat membangun
rumah gaya modern dengan meninggalkan
rumah-rumah kuno atau rumah adat tradi-
sional. Namun beberapa masyarkat yang
terpengaruh terhadap modernisasi Barat telah
menganggap biasa rumah tradisional milik
sepasang kakek dan nenek tua yang menem-
patinya. Dalam konteks cerita ini Barat disebut
sebagai sang realis atau selalu berpikir nyata
dan realistis, sementara Timur dianggap
sebagai magis yang selalu setia dengan ke-
tradisionalan yang ada.
Rumah kuno tersebut dihuni oleh Inyik
dan Encik yang dulunya merupakan seorang
pejuang yang pernah menjadi gubernur.
Mereka hanya hidup berdua ditemani seorang
pembantu. Mereka mempunyai banyak anak
yang sudah sukses di perantauan, seperti
pada kutipan berikut.
Setiap orang tahu siapa penghuninya,
yaitu Inyik Datuk Biji Rajo dan Encik
Jurai Ameh. Lazimnya orang menye-
butnya Inyik dan Encik. Inyik dulunya
seorang pejuang dan pernah jadi
gubernur. Menurut istilah lama yang
kini tidak dipakai lagi, mereka “di-
karuniai” enam orang anak. Semua
telah jadi orang terpandang di rantau
(Navis, 2001).
Kutipan di atas menjelaskan tentang Inyik
dan Encik yang dikaruniai enam orang anak
yang telah sukses. Kata dikaruniai dalam
kutipan di atas mempunyai penekanan ter-
sendiri. Terbukti dengan adanya tanda kutip
dua yang menandai kata tersebut. Dikaruniai
merupakan kata yang identik dengan orang
Timur. Berasal dari kata karunia yang berarti
anugrah atau pemberian Tuhan yang istimewa.
Dalam hal ini terdapat adanya kepercayaan
kepada Allah atas pemberiannya. Orang Timur
percaya bahwa Tuhan Maha baik yang selalu
memberikan anugrah kepada hambanya.
Inilah salah satu kepercayaan atau keyakinan
orang Timur. Sementara orang Barat selalu
berpikir rasional, tidak mempedulikan ke-
yakinan. Barat selalu merasa bahwa keber-
untungan yang didapatnya merupakan hasil
dari keja keras yang dilakukan, bukan semata-
mata pemberian dari Tuhan. Hal ini menjadi-
kan mereka tidak percaya terhadap hal-hal
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 95 | pymupdf |
142
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
yang berbau religi, karena religi identitik
dengan dunia Timur yang dianggap magis.
Unsur kedua adalah dunia fenomenal.
Dunia fenomenal yang dimaksudkan adalah
sebuah dunia realisme yang menetapkan
batas untuk mengisolasi sisi realitasnya dari
bidang fiksi. Dunia fenomenal yang terjadi
dalam cerpen ini yaitu sesuai dengan judulnya,
hari lebaran. Pada saat hari lebaran lazimnya
semua keluarga besar berkumpul. Mengun-
jungi sanak saudara untuk saling meminta
maaf. Fenomena yang terjadi di dalam cerpen
dikisahkan bahwa semua anak Encik dan Inyik
tidak ada yang mengunjungi mereka, seperti
pada kutipan berikut.
Kata Encik, “Pada setiap lebaran begini
aku mau semua cucu-cucuku berkum-
pul. Aku rindu mereka antri, bertekuk
lutut sambil mencium tanganku waktu
bersalaman. Seperti anak-cucu presiden
di televisi. Terharu aku melihatnya.
Berdiri seluruh bulu romaku. Namun,
mataku sebak oleh air mata bila ingat
aku tidak pernah memperoleh ke-
bahagiaan seperti itu. Padahal, sebetul-
nya anak-anakku mampu pulang ber-
sama (Navis, 2001).
Kutipan di atas menjelaskan kesedihan
Encik karena tidak dapat berkumpul bersama
anak-anak dan cucu-cucunya. Sampai ia
berpikir dan berbicara seorang diri tentang
kesunyian hari Lebarannya. Ia menginginkan
semua keluarganya datang, lebih khusus anak
dan cucunya. Sampai ia membayangkan ingin
menjadi seorang presiden yang apabila
lebaran semua anak dan cucunya berkumpul
untuk antri bertekuk lutut, mencium tangan,
dan saling meminta maaf. Semuanya hanya
dapat ia bayangkan tanpa bisa dirasakannya.
Seolah semua anaknya sudah sukses dan lupa
akan ayah ibunya yang merindukan ke-
hadiran mereka. Sebetulnya mereka mampu
untuk pulang ke rumah namun tidak ada
keinginan yang terdapat dalam diri mereka.
Padahal Inyik dan Encik dulunya telah meng-
ajarkan kepada mereka tentang ilmu agama,
seperti yang digambarkan pada kutipan
berikut.
Rasanya aku tidak salah didik. Aku
datangkan guru agama tiga kali se-
minggu agar mereka menjadi penganut
yang tawakal. Tapi mengapa setelah
makmur mereka hidup nafsi-nafsian?
Setiap lebaran datang luka hatiku kian
dalam. Dulu, waktu ayahnya jadi
gubernur, setiap lebaran mereka bisa
berkumpul. Kata mereka, akan apa kata
orang nanti bila mereka tidak datang
waktu lebaran (Navis, 2001).
Inyik dan Encik mendatangkan guru
agama tiga kali seminggu untuk anak-anaknya.
Tujuannya agar mereka tahu tentang agama
dan dapat digunakan kelak ketika dewasa.
Namun kenyataanya mereka tidak meng-
hiraukannya. Mereka tetap sibuk dengan
pekerjaan masing-masing. Dan tidak meng-
anggap bahwa idul fitri merupakan momen
yang sakral untuk saling maaf memaafkan
serta yang lebih penting yaitu kebersamaan
berkumpul dengan sanak saudara. Fenomena
seperti ini tergolong ke dalam fenomena
berdasarkan teks yang dibumbui sejarah dan
kebudayaan. Anak-anak Encik dan Inyik sudah
terpengaruh efek kolonialisme Barat sehingga
tidak mempedulikan tentang kebudayaan yang
menurut meraka tidak efektif. Mereka ber-
pikir bahwa permintaan maaf dapat dilakukan
dengan cara mengirim surat saja, tidak perlu
datang secara langsung karena akan menyita
waktu yang lama.
Fenomena magis yang kental pada saat
Idul Fitri, dalam cerpen dianggap fenomena
yang biasa saja. Beberapa masyarakat sudah
tidak menganggap sakral hal tersebut. Tidak
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 96 | pymupdf |
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
143
jarang bahwa masyarakat sudah tidak peduli
terhadap budaya tersebut. Fenomena yang
menonjol bahkan fenomena tentang ketidak-
pedulian masyarakat khususnya anak-anak
Inyik dan Encik terhadap momen Idul Fitri itu
sendiri. Sejarahnya dulu Idul Fitri sangat
dinanti-nantikan oleh semua kalangan serta
menjadi momen kebersamaan untuk berkum-
pul bersama keluarga. Tapi saat ini semua
sudah berubah, seperti pada kutipan berikut.
Idul Fitri hari yang istimewa. Karena
pada hari itu setiap orang tanpa pan-
dang usia dan status saling bertemu dan
saling memaafkan. Tak ada rasa rendah
diri. Tapi kini, setelah Idul Fitri jadi
kebudayaan baru, bawahan dan orang
miskin yang wajib datang ke penguasa
untuk minta maaf. Penguasa akan
merasa tidak pantas meminta maaf
kepada rakyat. Meski kementerengan
hidup yang mereka dapat, karena
banyak rakyat yang diterlantarkan. Tak
tersentuh hati mereka (Navis, 2001).
Perubahan drastis mengenai makna Iduk
Fitri pun menonjol dikalangan penguasa. Pe-
nguasan tidak merasa punya salah dan tidak
berhak meminta maaf pada rakyat maupun
bawahannya. Namun di posisi rakyat dan
bawahan berkebalikan, mereka wajib me-
minta maaf kepada penguasa dengan cara
datang mengunjungi rumah sang penguasa.
Penguasa akan menerima permintaan maaf
mereka, namun ia tidak merasa pantas untuk
meminta maaf kepada rakyat maupun bawah-
annya. Meskipun banyak rakyat yang terlantar,
jarang sekali para penguasa tersentuh hatinya
untuk membantu rakyat. Paling hanya satu kali
zakat yang mereka bagikan kepada rakyat
meski kementerengan hidupnya begitu
terlihat. Begitu pula dengan bawahan, mereka
merasa atasan atau penguasa adalah segalaya
bagi kelangsungan karirnya. Bahkan mereka
lebih mementingkan berlebaran ke tempat
penguasan dari pada ke rumah orang tuanya
sendiri, seperti pada kutipan berikut.
“Sabir juga tidak pulang. Katanya, dia
harus berlebaran ke rumah menteri-
nya yang baru. Menteri bisa salah
sangka kalau dia tidak datang (Navis,
2001).
Salah satu anak Encik dan Inyik yang
bernama Sabir merupakan gambaran se-
orang anak yang lebih mementingkan karir
dan jabatannya dibandingkan dengan keluarga
atau orang tauanya sendiri. Sabir lebih
memilih berlebaran ke tempat menteri baru-
nya daripada ke rumah orang tuanya yang
telah melahirkan dan merawatnya dari ia tidak
bisa apa-apa. Fenomene-fenomena seperti
inilah yang muncul dan melahirkan budaya
baru yang tidak tepat. Kolonialisme membuat
pemikiran masyarakat lebih modern dan
ambisi untuk mendapatkan apa yang diingin-
kannya.
Unsur ketiga yaitu keraguan yang me-
resahkan. Keraguan dalam konteks ini adalah
keraguan yang dialami oleh pembaca. Pembaca
merasa ragu terhadap apa yang telah terjadi
dalam cerita tersebut. Keraguan ini muncul
karena pembaca sudah membunyai dua sisi
pengetahuan yang bertolak belakang. Pem-
baca sudah tahu tentang modernisme serta
religiuisitas yang ada pada pengetahuannya.
Penggabungan antara modern dan religius
termasuk penggabungan yang ekstrim. Hal ini
dikarenakan modern bersumber dari kolonial
atau Barat sementara religius bersumber dari
Timur. Adanya penggabungan keduanya
mengakibatkan salah tafsir seperti yang di-
lakukan oleh Mael, seperti pada kutipan
berikut.
Si Mael yang paling kaya dari semua-
nya. Lain perilaku hidupnya setiap
akhir tahun ia berlibur membawa anak
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 97 | pymupdf |
144
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
dan istrinya. Ke Amerika atau Eropa
atau ke Jepang. Tutup tahun ini ke-
betulan sama dengan lebaran. Tapi dia
tidak pulang. Dia ke Mekkah karena
sudah bosan ke kota-kota lainnya. Be-
gitu janjinya kepada anak-anak. Sambil
libur, sambil mencari Ridha-Nya’, tulis-
nya dalam surat. Sepertinya menemui
ibu-bapak tidak merupakan ridha-Nya.
Aneh pahamnya beragama (Navis,
2001).
Mael merupakan salah satu anak dari
Encik dan Inyik yang paling sukses diantara
yang lainnya. Ia menganut ideologi modern-
isme dan hedonisme. Terbukti dari per-
lakuannya kepada istri dan anaknya. Mereka
sering berlibur ke luar negeri. Termasuk pada
saat Hari Raya Idul Fitri tahun ini, mereka lebih
memilih pergi ke luar negeri dibanding dengan
berkumpul bersama Ayah dan Ibu mereka
yang tinggal di sebuah kota kecil serta hanya
ditemani seorang pembantu. Mail sempat
berkirim surat kepada orang tuanya perihal
tidak dapat menemui mereka ketika Hari Raya.
Ia menyampaikan bahwa ingin pergi ke
Mekkah untuk berlebaran di sana sembari
liburan bersama istri dan anaknya. Tujuannya
agar lebih dekat dengan Sang Pencipta dan
ingin mencari Ridha-Nya. Ironi sekali karena
Ridha Allah adalah Rindha orang tua.
Mael telah salah persepsi tentang makna
rindha yang sesungguhnya. Hal inilah yang
menjadi petanyaan keragu-raguan bagi
pembaca, apakah makna ridha yang sesung-
guhnya. Ada pepatah bahwa Ridha Allah
adalah Ridha Orang tua, dalam hal ini orang
tua Mael belum tentu meridhai ia untuk ber-
lebaran di Mekkah, padahal tujuan Mael ke
Mekkah adalah mencari Ridha-Nya. Tentu saja
akan muncul dibenak pembaca tentang akan-
kah Mael mendapat Ridha-Nya dengan men-
datangi Mekkah yang belum tentu diridhai
orang tuanya karena Inyik dan Encik meng-
harapkan anak-anak dan cucu-cucunya ber-
kumpul pada hari Raya Idul Fitri.
Unsur keempat yakni menggabungkan
realita. Dalam hal ini adanya penggabungan
antara dunia nyata dengan dunia khayalan atau
ghaib. Dunia khayalan merujuk pada dunia
yang diidamkan atau diinginkan oleh Encik dan
Inyik. Mereka duduk berdampingan namun
pikiran dan hati mereka melayang sendiri-
sendiri sesuai dengan khayalan yang mereka
inginkan. Hal ini sesuai dengan kutipan
sebagai berikut.
Encik berkulit hitam dan bertubuh
gemuk. Hampir tidak begerak seleluasa
maunya. Dan Inyik berkulit cerah, tapi
tubuhnya ceking. Keduanya sama
mengenakan baju yang terindah, meski
modelnya sudah kuno. Sambil ber-
goyang dikursinya sejak tadi, Encik
bicara sendiri tak henti-hentinya.
Mengatakan apa yang lewat dikepala-
nya; sedangkan Inyik berbuat yang
sama. dalam hatinya pula (Navis, 2001).
Berdasarkan kutipan di atas, Encik dan
Inyik menikmati Hari Raya Idul Fitri dengan
duduk dikursi goyang masing-masing, dengan
kebisuan. Mereka sama-sama sedang menik-
mati khayalan masing-masing yang berputar-
putar dibenak dan pikirannya. Dalam hal ini
terdapat realita yang digabungkan antara
realita Inyik dan Encik yang sedang duduk di
kursi goyang dengan realita yang ada dipikir-
an Encik dan Inyik saat itu. Dunia realita yang
sesungguhnya berbeda dengan realita dalam
khayalan. Di antara keduanya terdapat batas-
batas pemisah yang terkesan tidak nampak
terlihat.
Unsur kelima yakni gangguan waktu,
ruang, dan identitas. Pada unsur kelima ini
antara waktu, ruang, dan identitas tidak ada
batas-batas pemisah yang jelas. Alhasil semua
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 98 | pymupdf |
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
145
itu terkesan bercampur menjadi satu kesatu-
an. Ketiga gangguan tersebut muncul karena
adanya hubungan dengan wacana orientalis.
Dalam konteks ini terjadi perlawanan yang
dilakukan melalui konteks pascakolonial. Pada
kutipan berikut ini menggambarkan ganggu-
an antara ruang, waktu, dan identitas.
Goyangan kursi Encik kian lama kian
pelan. Lama-lama berhenti sendiri.
menjelang berhenti, dalam penglihatan-
nya beberapa mobil sedan mengkilat
catnya karena baru, memasuki halaman.
Setiap pintu terbuka. Dari setiap pintu
keluar orang yang dikenalnya. Anak,
menantu, dan cucunya. Satu demi satu
secara khidmat mereka berlutut ketika
menyalami, mencium tangannya, dan
kemudian memeluk untuk mendekapi
pipinya. “Tuhan telah mengabulkan
doaku. Semua anak-anakku pulang
berlebaran. Oh, alangkah indah Hari
Raya kali ini. Terima kasih Tuhan, te-
rima kasih. Terima kasih juga seandai-
nya ini hanya mimpi. Mimpi terakhirku
(Navis, 2001).
Ketika Encik masih dalam kursi goyang-
nya yang semakin pelan, tiba-tiba ia merasa
ada anak-anak dan cucu-cucunya datang ke
rumah untuk berlebaran. Semuanya berjalan
seperti nyata. Satu demi satu mereka ber-
salaman, mencium tangan, dan saling meminta
maaf satu sama lain. Encik merasa bahagia
bukan main karena kedatangan mereka.
Namun dalam hal ini, Encik pun tidak bisa
mendeteksi apakah ini adalah nyata atau hanya
khayalannya saja. Encik benar-benar merasa
bahagia, ia berharap jika itu hanya mimpi,
mimpi itulah mimpi terakhirnya. Dalam hal ini
terjadi gangguan ruang dan waktu. Keduanya
melebur menjadi satu sampai Encin tidak tahu
kebenarannya.
Begitupula yang dirasakan pembaca.
Pembaca harus mengidentifikasi gangguan
ruang dan waktu yang ditulis pengarang. Tidak
ada yang stabil dan kokoh, semuanya bersifat
heterogen bercampur dan membarur men-
jadi satu. Ada indikasi bahwa semakin lambat
goyangan kursi Encik maksudnya adalah
semakin lambat pula gerakan nafasnya.
Sementara kerusakan identitas juga tercermin
pada kutipan di bawah ini.
Tidak diduganya seseorang masuk ke
kamar tidurnya. Lalu duduk di kalang
halunya. Inyik tidak bereaksi, selain
heran oleh kedatangan tamu tak dikenal
itu. Tamu yang berani-berani saja duduk
di bangku tidurnya. Dan bicara tanpa
basa-basi. “Sebetulnya aku tidak akan
ke sini. Tapi aku mendengar apa yang
kau katakan. Ternyata kau sama saja
dengan golonganmu. Tambah tua kian
sombong.” (Navis, 2001).
Ketika Inyik sedang berada di dalam
kamar tidurnya, tiba-tiba datanglah seorang
yang tidak dikenalnya. Tanpa basa-basi tamu
tersebut berkata hal diluar dugaan Inyik. Si
tamu tanpa identitas mengetahui apa yang
telah dikatakan Inyik dalam hatinya, bahwa ia
ingin menjadi pemimpin seumur hidupnya. Ia
juga merasa bahwa bawahannya tidak ada
yang dapat memimpin seperti dirinya. Tamu
tersebut menasehati dan menyangkal semua
yang dipikirkan oleh Inyik. Identitas tamu yang
tak dikenal namun mengetahui apa yang ada
dipikiran Inyik membuatnya curiga siapa tamu
itu sebenarnya. Sampai akhirnya Inyik ber-
tanya apa tujuan tamu tersebut datang, seperti
kutipan berikut.
Inyik merasa tamu itu menguliahinya.
Harga dirinya tesinggung. Maunya dia marah.
Tapi ada rasa tak berdaya pada dirinya. Di-
alihkannya pembicaraan, “Engkau ke sini ber-
lebaran bukan?”
“Ada sedikit urusan dengan istrimu.”
“Bagaimana dia?”
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 99 | pymupdf |
146
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146
©2020, Widyasastra
“Kursinya tidak bergoyang lagi.” (Navis,
2001).
Setelah tamu ditanya tujuannya datang
apakah ingin berlebaran, tamu tersebut
menjawab tidak. Ia hanya ada urusan dengan
Encik istri dari Inyik. Tamu tersebut berkata
bahwa kursi goyang Encik sekarang sudah
tidak bergoyang lagi. Dari situlah identitas tamu
tersebut terbongkar, bahwa ia merupakan
sang maut atau malaikat maut yang telah
datang mencabut nyawa Encik. Dari sinilah
terlihat adanya hal magis yang tidak masuk
akal yaitu ketika malaikat maut berbincang
dan menasihati Inyik. Dengan identitas yang
awalya ia tutup-tutupi, namun akhirnya
terbongkar bahwa ia adalah sang maut.
4.
Simpulan
Cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran”
karya AA Navis mempunyai berbagai ekspresi
yang dapat digolongkan dalam realisme magis,
berupa paparan narasi dan dialog. Unsur
realisme magis ditandai melalui peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada alur cerita dalam
novel serta pada tokoh malaikat yang me-
nandakan adanya unsur magis. Cerpen “Tamu
yang Datang di Hari Lebaran” tersebut mem-
bahas tentang budaya mengunjungi orang tua
pada waktu Idul Fitri untuk meminta maaf dan
saling memaafkan antar anggota keluarga
serta berbagai ekspresi yang merupakan
bentuk religiusitas. Budaya berkumpul ber-
sama keluarga pada waktu Idul Fitri sudah
mulai luntur di keluarga Encik dan Inyik
merupakan sebuah realitas di zaman yang
sedang berlangsung. Sedangkan unsur magis
muncul dalam berbagai angan Encik dan Inyik
dan kehadiran malaikat maut di keluarga Encik
dan Inyik.
Daftar Pustaka
Faris, Wendy B. 2004. Ordinary Enchantments:
Magical Realism and Remystification of
Narrative. Nashville: Vanderbilt University
Press.
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah
Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hasanah, Ferli, dkk. 2018. Makna Realisme
Magis dalam Novel Jours De Colere dan
‘Enfant Meduse Karya Sylvie Germain.
Jurnal Litera.
Indarwaty, Henny & Budi, Sri Utami. 2015.
Perbandingan Extraordinary Element
dalam Narasi Fantasi, Fiksi Ilmiah dan
Realisme Magis. Jurnal Jentera.
Navis, A.A. 2001. Kumpulan Cerita Pendek
Kabut Negeri Si Dadali. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Setiawan, R. 2018. Pascakolonialisme Wacana,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Gombang
Buku Budaya.
Widijanto, Tjahjono. 2018. Dunia Halus Mistis
Jawa dan Fantasi Magis Ternate dalam
Godlob dan Cala Ibi. Jurna Kajian Sastra
(Jentera).
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 100 | pymupdf |
PEDOMAN PENULIS (AUTHOR GUIDELINES)
1.
Artikel belum pernah dipublikasikan oleh media lain, tidak sedang dalam proses penerbitan
di media lain, dan tidak mengandung unsur plagiat. (Article has never been published by
other media(s) and not in the process of being published in other media(s) or journal(s); it
is also must not conceiving plagiarism.);
2.
Penulis tidak diperkenankan mengirim artikel yang sama ke media lain selama dalam
proses, kecuali penulis telah mencabut artikel tersebut sebelumnya dan mendapat
persetujuan tertulis dari editor. (Author is not allowed to send the same article to other
media(s) during the process, except the author had withdrawn the article and get letter of
allowance from the editor);
3.
Artikel berupa hasil penelitian (lapangan, kepustakaan). (The article is written in the form
of research (field or library study));
4.
Naskah diketik menggunakan Microsoft Words (.doc/.docx) dengan format huruf: cambria,
font advanced scale 100, spacing condensed 0,3 pt, position normal pada kertas ukuran
A4 dengan ruang sisi 3 cm dari tepi kiri, 3 cm dari tepi kanan, 2,5 cm dari tepi atas dan 3
cm dari tepi bawah, spasi 1, diunggah (upload) melalui laman (website):
www.widyasastra.com. (The document is typed using Microsoft Words (doc/docx) using
format: cambria, font advanced scale 100, spacing condensed 0,3 pt, and normal position in
A4 paper with space of 3cm left, 3 cm right, 2,5 cm top, and 3 cm bottom, single space,
uploaded to the website);
5.
Jumlah halaman 12—16 halaman termasuk daftar pustaka dan tabel. (Total pages are 12-
16 including references and table(s));
6.
Bagian-bagian naskah selanjutnya ditulis dalam format dua kolom. Tubuh teks setelah
abstrak diformat dalam dua kolom dengan ketentuan lebar tiap-tiap kolom 7 cm dan jarak
antarkolom 1 cm. Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam format satu kolom. (Title,
abstract, and key words is written in one column, while the other are written in two columns.
The abstract’s body text is formatted in two columns with width stipulation of 7 cm in each
column and the distance for each column is 1 cm.);
7.
Judul, abstrak, dan kata-kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (Title,
abstract, and key words are written in Indonesian and English);
8.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jika artikel ditulis dalam bahasa
Indonesia, judul pertama menggunakan bahasa Indonesia dan di bawahnya judul dalam
bahasa Inggris, demikian pula sebaliknya (Article is written in Indonesian and English. If
the article is written in Indonesian, the first title should be written in Indonesian, and the
second title should be written in English, and vice versa);
9.
Abstrak bahasa Indonesia ditempatkan di atas abstrak bahasa Inggris, baik artikel
berbahasa Indonesia maupun Inggris. (Indonesia abstrack must be placed above Engslish
abstrackt);
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 101 | pymupdf |
10. Penulisan daftar pustaka menggunakan gaya APA. Penulis dapat mengunjungi http://
www.apastyle.org untuk melihat contoh. (Referencing style is APA, author can visit (http:/
/www.apastyle.org) for seeing examples of the reference style);
11. Artikel yang tidak sesuai dengan ketentuan format penulisan akan dikembalikan kepada
penulis untuk diperbaiki (Article not obeying the writing rules proposed by Widyasastra
will be rejected and the author must follow the writing rules if he wants to resubmit the
article);
12. Hanya artikel yang telah sesuai formatnya yang akan diproses review oleh mitra bebestari
(Article will be handed to the editor(s), to be further reviewed, when it is suitable with the
writing rules);
13. Penulis bersedia melakukan revisi artikel jika diperlukan dan mematuhi ketentuan batas
waktu yang diberikan oleh redaksi (The author must revise the article, if it is needed, and
obey the deadline given by the editor);
14. Isi artikel bukan tanggung jawab redaksi, redaksi berhak menyunting artikel tanpa
mengubah substansi (Editor has a privilege to edit the article, concerning its language,
without changing the essence of the study);
15. Penulis yang naskahnya dimuat dan menginginkan hasil cetak, akan menerima dua cetak
nomor bukti pemuatan, tetapi hanya untuk penulis pertama (Author demanding for printed
article will get two copies, but only for the first writer (if there are more than one writer));
16. Sistematik artikel disusun dengan urutan sebagai berikut (Article systematic is arranged
in the order below):
a. Judul (Title)
a.1. Judul bahasa Indonesia/Inggris: komprehensif, jelas dan singkat. Judul dibatasi tidak
lebih dari 20 kata termasuk spasi. Judul artikel, judul bagian, dan subbagian dicetak
tebal (Indonesian or English title: comprehensive, precise, and short, the title is limited
no more than 20 words including space. Article’s title, chapter’s title, and subchapter’s
title are written in bold);
a.2. Judul bahasa Inggris/Indonesia: menyesuaikan dengan judul pertama, jika judul
pertama dalam bahasa Indonesia, judul kedua dalam bahasa Inggris, begitu juga
sebaliknya sesuai dengan teks (depends on the first title, if the first title is in Indonesian,
the second title is in English);
b. Nama dan alamat penulis: nama ditulis lengkap tanpa gelar dan jabatan di bawah
judul tanpa menggunakan kata oleh. Di bawah nama penulis dicantumkan alamat lengkap
institusi yang dapat dihubungi, nomor telepon, dan alamat email penulis (Name and
Author’s Address (Nama dan lamat penulis): complete name is a must, without mentioning
university degree or position of job, below the title. Exactly below the name of the author,
the address of institution, phone number, and writer’s e-mail address must be written);
c.
Abstrak (Abstract): (bahasa Indonesia) merupakan intisari artikel, berjumlah 100—
150 kata dan dituangkan dalam satu paragraf tanpa pustaka acuan ((English) maintaining
the essence of the article, consisting 100-150 word, and is written in a paragraph without
references and citation);
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 102 | pymupdf |
d. Kata-kata kunci (Key Words): Di bawah abstrak dicantumkan kata-kata kunci paling
banyak lima kata atau frasa tanpa diakhiri tanda titik. Kata-kata kunci harus
mencerminkan konsep penting yang ada di dalam artikel (key words are placed below
the abstract consisting not more than five words or phrases without full stop. Key words
must mention the main concepts of the article);
e.
PENDAHULUAN (INTRODUCTION). Pendahuluan berisi latar belakang, menjelaskan
fenomena permasalahan aktual yang diteliti, didukung dengan acuan pustaka dan hasil
penelitian terkait sebelumnya yang pernah dilakukan sendiri atau orang lain serta
menjelaskan keberadaan penelitian penulis dalam konteks tersebut. Pendahuluan juga
berisi masalah (sebaiknya satu masalah saja yang menjadi fokus penelitian), tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan teori yang digunakan untuk memecahkan masalah.
Semua sumber yang dirujuk atau dikutip harus dituliskan di dalam daftar pustaka. (no
subchapters needed (tanpa subbab): Introduction contains background of the study,
explaining the actual phenomenon of the problem studied in the article, supported by
references and previous studies that have been done individually or in a group. It must
describe the comparison between the article and the previous studies. Introduction contains
problem(s) (one focus problem is better), purpose(s) of the study, research significance,
and theory used to solve the problem(s). Every resources used in the article must all be
cited in the references list);
f.
METODE (METHOD). Berisi macam atau sifat penelitian, sumber data, data, teknik
pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan
metode analisis data (consists of variety of research characteristics, data source, data,
data collection technique(s), data collection instrument(s), data collection procedure(s),
and analysis method);
g.
HASIL DAN PEMBAHASAN (FINDINGS AND DISCUSSION): Disajikan dalam subbab-
subbab tidak lebih dari tiga level dan tanpa menggunakan nomor, menyajikan dan
membahas secara jelas pokok bahasan dengan mengacu pada masalah dan tujuan
penulisan.; Tabel, grafik, gambar, dan/atau foto (jika ada) diberi nomor, judul, dan
keterangan lengkap serta dikutip dalam teks. Tabel, grafik, gambar, dan/atau foto diberi
nomor sesuai dengan urutan kemunculannya. Data berupa gambar atau tabel hendaknya
merupakan data yang sudah diolah. Pencantuman tabel atau gambar yang terlalu panjang
(lebih dari 1 halaman) sebaiknya dihindari. Tabel dan gambar harus jelas terbaca dan
dapat dicetak dengan baik karena naskah akan dicetak dalam format warna hitam putih
(bagi penulis yang menginginkan bukti cetak). Pencantuman tabel atau data yang terlalu
panjang (lebih dari satu halaman) sebaiknya dihindari. Perujukan, pengutipan, atau
pencantuman gambar, tabel, dan sebagainya menggunakan penomoran, bukan dengan
kata-kata “sebagai berikut”, “seperti di bawah ini”, dan sebagainya. Contoh: “Struktur
penulisan judul berita pada kolom sastra harian Kompas disajikan dalam tabel 4”.
Gambar, tabel, grafik, foto harus diletakkan sedekat mungkin dengan teks yang
berhubungan. Tabel hanya menggunakan garis horisontal atau meminimalkan
penggunaan garis vertikal. Setiap kolom tabel harus diberi tajuk atau heading (presented
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 103 | pymupdf |
in a form of subchapters not more than three levels without using numbering. Showing
and explaining the main analysis directly to answer research problem(s) and purpose(s)
of the study; Table, graphic, picture, and/or photo (if any) must all be numbered, titled,
and noted along with the text’s references. Table and picture must present the result of
the study. Table and picture must be presented not more than a page. Table and picture
must be well-read and well-printed because the article will be published in white and black
(for writers asking for printed publication). Paraphrases of citation, picture, table, etc.uses
numbering, for example: “Structure of the news title in Kompas Newspaper is presented
in table 4”. Pictures, table, graphic, and pictures must be put as closest as possible to the
text which is related.Table should be horizontal orminimizing the use of vertical lines. Every
table’s column should includeheading);
h. SIMPULAN (CONCLUSION): simpulan harus menjawab permasalahan dan tujuan
penelitian. Simpulan bukan ringkasan dan bukan pula tulisan ulang dari pembahasan
(Conclusion must answer the problem(s) and purpose(s) of the study. Conclusion is not in
the form of a summary and not a repetition of findings and discussion);
i.
DAFTAR PUSTAKA (REFERENCES): Pustaka yang diacu hendaknya 80% merupakan
sumber primer dan hendaknya berasal dari hasil-hasil penelitian, gagasan, teori/konsep
yang telah diterbitkan di jurnal ilmiah, baik cetak maupun elektronik. Acuan yang dirujuk
merupakan hasil publikasi 10 tahun terakhir, terkecuali acuan klasik yang digunakan
sebagai bahan kajian historis (References should come from 80% of original studies,
result of the research, idea, and theory or concept which is published in the electronic
journal(s) or paper publication(s). References must be maximum ten years old for, except
for classic references as historical data)
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 104 | pymupdf |
(Semua teks dalam jurnal WIDYASASTRA memakai format font: cambria,
font advanced scale 100, spacing condensed 0,3 pt, position normal)
JUDUL ARTIKEL
(Cambria ukuran 14, KAPITAL, bold, spasi 1)
Judul komprehensif, jelas, dan singkat maksimal 20 kata. Judul Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris disesuaikan dengan teks
Title in English
Jika JUDUL ARTIKEL menggunakan bahasa Indonesia, Judul Artikel ini menggunakan bahasa
Inggris atau sebaliknya.
(Cambria ukuran 11, huruf Kapital di awal kata, Bold, spasi 1)
Penulis Pertamaa,*, Penulis Kedua b,*, Penulis Ketigac,*
a Lembaga Afiliasi Pertama
Alamat Lembaga Afiliasi Pertama, Kota, Negara
b Lembaga Afiliasi Kedua
Alamat Lembaga Afiliasi Kedua, Kota, Negara
*Pos-el: alamat_email
Abstrak (Cambria ukuran 11, tebal, spasi 1): Abstrak merupakan gambaran singkat dari keseluruhan
tulisan, memuat masalah pokok yang dibahas, alasan penelitian, tujuan, teori, metode, dan hasil penelitian.
Abstrak ditulis dalam satu paragraf terdiri atas 100—150 kata, tanpa pustaka/kutipan (Cambria ukuran
11, Italic, spasi 1)
Kata-Kata Kunci (Cambria ukuran 11, huruf Kapital di awal kata, tebal, spasi 1): Maksimal lima
kata atau frasa , tanpa diakhiri tanda titik (Cambria ukuran 11, Italic, spasi 1)
Abstract (Cambria size 11, bold): Abstract is written in foreign language in a short paragraph describing
paper’s content. Abstract consists of background, research problem(s), purpose of the study, method(s)
and theoretical framework(s), and result of the study. Abstract is written approximately 100—150
words (Cambria size 11, Italic, single space)
Key Words(Cambria size 11, bold):Not more than five words or phrase (Cambria size 11, Italic, single
space)
(Body text setelah abstrak diformat dalam dua kolom dengan ketentuan
lebar tiap-tiap kolom 7 cm dan jarak antarkolom 1 cm)
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 105 | pymupdf |
PENDAHULUAN
(Cambria 12, KAPITAL, tebal)
Pendahuluan
berisi
latar
belakang,
menjelaskan fenomena permasalahan aktual
yang diteliti, didukung dengan acuan pustaka
dan hasil penelitian terkait sebelumnya yang
pernah dilakukan sendiri atau orang lain serta
menjelaskan keberadaan penelitian dalam
konteks tersebut. Pendahuluan juga berisi
masalah (sebaiknya satu masalah saja yang
menjadi fokus penelitian), tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan teori yang digunakan
untuk memecahkan masalah. Semua sumber
yang dirujuk atau dikutip harus dituliskan di
dalam daftar pustaka. Pendahuluan tanpa
menggunakan judul subbab dan paragraf
pertama rata kiri, lurus dengan judul bab.
Paragraf berikutnya menggunakan
format paragraf special first line 0,8 cm.
(Cambria ukuran 12, spasi 1)
METODE
(Cambria 12, KAPITAL, tebal)
Metode berisi macam atau sifat penelitian,
sumber data, data, teknik pengumpulan data,
instrumen pengumpulan data, prosedur
pengumpulan data, dan metode analisis data.
Paragraf pertama ditulis rata kiri, lurus dengan
judul bab.
Paragraf berikutnya menggunakan
format paragraf special first line 0,8 cm.
(Cambria ukuran 12, spasi 1)
HASIL DAN PEMBAHASAN
(Cambria 12, KAPITAL, tebal)
Hasil dan pembahasan harus menjawab
permasalahan dan tujuan penelitian. Paragraf
pertama pada hasil dan pembahasan ditulis
lurus dengan judul bab.
Paragraf berikutnya, menggunakan
format paragraf special first line 0,8 cm.
(Cambria ukuran 12, spasi 1)
Subbab (Cambria 12, Kapital pada Awal
Kata, tebal)
Hasil dan pembahasan dapat disajikan dalam
subbab, tanpa menggunakan nomor. Judul
subbab ditulis dengan huruf kapital pada awal
kata. Paragraf pertama pada tiap subbab
ditulis rata kiri, lurus dengan judul subbab.
Paragraf berikutnya, menggunakan
format paragraf special first line 0,8 cm.
(Cambria ukuran 12, spasi 1)
Sub-Subbab (Cambria 12, Kapital pada
Awal Kata, bold, Italic)
Jika dalam subbab ada sub-subbab, penulisan
judulsub-subabditulis dengan huruf Kapital
pada awal kata dan dimiringkan (italic).
Paragraf pertama pada tiap sub-subbab ditulis
rata kiri, lurus dengan judul sub-subbab.
Paragraf berikutnya, menggunakan
format paragraf special first line 0,8 cm.
(Cambria ukuran 12, spasi 1)
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 106 | pymupdf |
Tabel, Grafik, Gambar dan/atau Foto
Tabel, grafik, gambar, dan/atau foto (jika ada)
diberi nomor, judul, dan keterangan lengkap
serta dikutip dalam teks. Tabel, grafik, gambar,
dan/atau foto diberi nomor sesuai dengan
urutan kemunculannya. Tabel dan gambar
harus jelas terbaca dan dapat dicetak dengan
baik karena naskah akan dicetak dalam format
warna hitam putih (bagi penulis yang
menginginkan bukti cetak). Pencantuman
tabel/data yang terlalu panjang (lebih dari satu
halaman) sebaiknya dihindari. Perujukan,
pengutipan, atau pencantuman gambar, tabel,
dan sebagainya menggunakan penomoran,
bukan dengan kata-kata “sebagai berikut”,
“seperti di bawah ini”, dan sebagainya. Gambar,
tabel, grafik, foto harus diletakkan sedekat
mungkin dengan teks yang berhubungan.
Tabel hanya menggunakan garis horisontal
atau meminimalkan penggunaan garis vertikal.
Setiap kolom tabel harus diberi tajuk/heading.
Contoh:
Tabel 1
Judul Tabel
(Cambria 11, Kapital pada Awal Kata,
tebal)
No.
Judul
Pengarang
Tahun
Perujukan atau pengutipan teks
menggunakan
gaya
APA
(American
Psychological Association),contoh (Sungkowati,
2009). Sungkowati (2009) mengatakan
bahwa ...........(hlm. 20-22).
Pengutipan langsung dari teks sumber
lebih dari tiga baris, ditulis dalam paragraf
sendiri dengan format huruf Cambria
ukuran 11, spasi 1, identitation left 0,8 cm,
right 0 cm. Sumber rujukan ditulis sebagai
berikut (Sungkowati, 2009, hlm. 20).
SIMPULAN (Cambria 12, KAPITAL, tebal)
Simpulan harus menjawab permasalah-an dan
tujuan penelitian. Simpulan bukan ringkasan
dan bukan pula tulisan ulang dari pembahasan.
Paragraf pertama ditulis rata kiri, lurus dengan
judul bab.
Paragraf berikutnya, menggunakan
format paragraf special first line 0,8 cm.
(Cambria ukuran 12, spasi 1).
DAFTAR PUSTAKA (Cambria 12, KAPITAL,
tebal)
Pustaka yang diacu hendaknya 80%
merupakan sumber primer dan hendaknya
berasal dari hasil-hasil penelitian, gagasan,
teori atau konsep yang telah diterbitkan di
jurnal, baik cetak maupun elektronik. Acuan
yang dirujuk merupakan hasil publikasi 10
tahun terakhir, terkecuali acuan klasik yang
digunakan sebagai bahan kajian historis.
Daftar
pustaka
dan
pengutipan
menggunakan gaya APA atau American
Psychological Association.
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 107 | pymupdf |
Ali, M.(2013). The Semitization of Itihasa:
Intertextuality of the Mahabharata and the
Ramayana in the Judeo-Islamic texts.
Widyasastra: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra,
16(1), 1-13.
Hatley, B.(2008). Postkolonialitas dan
perempuan dalam sastra Indonesia
modern. Dalam Foulcher, K. & Day, T. (Ed.),
Sastra Indonesia modern kritik postkolonial
(hlm. 226-259). (Toer, K.S. & Soesman,M.,
penerjemah). (Edisi revisi). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia & KITLV-Jakarta.
(karya asli pertama terbit tahun 2000).
Imanjaya, E & Pratalaharja, E.(2012).
Plagiarism issues in post-1998 Indonesian
film posters. Wacana: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Budaya, 14(1), 82-98.
Maimunah.(2008).
Indonesian
queer:
Nonnormative sexualities in Indonesian
2003-2006 films. (Unpublished master’s
thesis). The University of Sydney.
Saputra, H.S.P. (2009). Gandrung dalam
kemasan kritik sosial bernuansa parodi
(Resensi buku Gandrung: Kumpulan naskah
drama,
oleh
Ilham
Zoebazary).
Widyasastra: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra,
12(1), 105-112.
Sungkowati, Y.(2009). Lintasan sejarah
Indonesia dalam novel-novel Suparto
Brata. Lingua, 4(1), 15-35. doi: 10.18860/
ling.v4i1.585.
Sungkowati, Y .(2010). Persoalan lingkungan
hidup dan urbanisasi dalam beberapa
cerpen Indonesia. Prosiding Konferensi
Internasional Kesusasteraan XXI HISKI
Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian
Lintas Media, 78-90. Surabaya: Airlangga
University Press.
Swandayani, D., Santoso, I., Nurhayati, A., &
Nurhadi. (2013). Eropa berdasarkan tiga
novel Umberto Eco: Pembelajaran sejarah
bagi pembaca Indonesia. Widyasastra:
Jurnal Ilmiah Kajian Sastra, 16(1), 27-41.
Thwaites, T., Davis, L., & Mules, W. (2009).
Introducing cultural and media studies:
Sebuah pendekatan semiotik. (Rahmana, S.,
penerjemah). Yogyakarta & Bandung:
Jalasutra. (karya asli pertama terbit tahun
2002).
(Cambria ukuran 12, spasi 1, format paragraf
special hanging 0,8 cm).
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 108 | pymupdf |
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Sa aa ng
b b BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta 55224
Telepon: (0274) 562070, Faksimile: (0274) 580667 ana Mean
| Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020 | 109 | ocr |
Subsets and Splits
No community queries yet
The top public SQL queries from the community will appear here once available.