text
stringlengths
1
7.56k
title
stringlengths
3
169
page_num
int64
1
770
extraction_method
stringclasses
3 values
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra 111 4. Simpulan Kehidupan sanggar-sanggar sastra Jawa di DIY tahun 1991—2020 tidak dapat dilepaskan dari sanggar pengayomnya, yaitu Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). SSJY melahir- kan aktor-aktor (sastrawan) penggerak dan pengembang kehidupan sastra Jawa di DIY melalui sanggar-sanggar yang dibentuk di berbagai wilayah di DIY. Para sastrawan ter- sebut menjawab kebutuhan masyarakat bahwa sastra Jawa perlu dikenalkan kembali, dibumikan di tanah Jawa, dan dikembangkan untuk kepentingan kehidupan sosial. Sanggar- sanggar sastra Jawa di DIY terus berkembang secara dinamis dan mengikuti perkembangan zaman sehingga masyarakat merasa senang dan nyaman untuk ikut terlibat dalam berbagai aktivitas sastra Jawa. Kehidupan sanggar- sanggar sastra Jawa yang dinamis dan ber- kembang tersebut semakin diperhatikan dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga peng- ayom yang terkait dengan kehidupan sanggar- sanggar sastra Jawa, seperti Pura Pakualaman, Balai Bahasa DIY (yang sudah mengayomi SSJY sejak tahun 1991) dan Dinas Kebudaya- an DIY. Walaupun demikian, beberapa sanggar secara mandiri telah mampu mencukupi kebutuhan untuk aktivitas sastranya. Daftar Pustaka Salam, Aprinus, Saeful Anwar. 2015. “Strategi Dan Legitimasi Komunitas Sastra Di Yogyakarta: Kajian Sosiologi Sastra Pierre Bourdieu.” Widyaparwa 43(1):25—38. Craib, Ian.1994. “Teori-Teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas”. PT Raja Grafindo Persada. Darmawan, Hayu Avang. 2014. “Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta Dalam Perspektif Sosiologi Talcott Parsons.” Universitas Gadjah Mada. Hamilton, P. (ed.). 1990. “Talcott Parsons dan Pemikirannya: Sebuah Pengantar.” PT. Tiara Wacana Meinarno, Eko A., dkk. 2011. “Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat”. Salemba Humanika. Parsons, Talcott. 1966. “The Structure of Social Action”. Collier-Macmillan. ______. 1999. “The Social System”. Routledge. Utomo, Imam Budi. 2008. “Kantung-Kantung Sastra Indonesia Di Yogyakarta: Penciptaan Jaringan Komunitas Sastra.” Pp. 1–11 in Makalah Konggres IX Bahasa Indonesia 2008. Widati, Sri., dkk. 2011. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Periode Kemerdekaan. Yogyakarta: Kalika Press. Bagan Struktur Kehidupan Sanggar-Sanggar Sastra di DIY
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
65
pymupdf
112 Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra Widati, Sri., dkk. 1999. “Sanggar-Sanggar Sastra Jawa Modern di Jawa Tengah dan di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Makalah Penelitian. Balai Bahasa Yogyakarta.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
66
pymupdf
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra 113 1. Pendahuluan Cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya sastra yang diakui keberadaannya di samping puisi, novel, dan drama. Dengan PEREMPUAN TERMARGINALKAN DALAM CERPEN “PENGANTIN HAMIL” DAN “PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” KARYA MARHALIM ZAINI MARGINALIZED WOMEN IN THE SHORT STORY “PENGANTIN HAMIL” AND “PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” BY MARHALIM ZAINI Imelda1, Yulita Fitriana2 Balai Bahasa Provinsi Riau Jalan Bina Widya, Kompleks Bina Widya UR, Pekanbaru Posel: [email protected]; [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Marhalim Zaini menggambarkan sosok perempuan yang termaginalkan dalam cerpennya yang berjudul “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api”, dengan cara menganalisis sikap, ucapan, dan tindakan yang dialami dan dilakukan tokoh perempuan. Dalam kedua cerpennya, Marhalim Zaini menggambarkan rakyat kecil, umumnya adalah tokoh perempuan, yang selalu mengalami kesengsaraan dan kesialan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang memaparkan tulisan berdasarkan isi karya sastra, yang menggambarkan tokoh perempuan yang selalu mengalami keterpurukan dan keseng- saraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerpen “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” menggambarkan perempuan sebagai sosok termarginalkan dan selalu mengalami penderitaan. Kata kunci: perempuan, penderitaan, kesengsaraan, termarginalkan Abstract This research describes how Marhalim Zaini depicts marginalized women his short story entitled “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” by analysing attitudes, speaking, and actions experienced and performed by female characters. In both short stories, Marhalim Zaini describes lower class people, who are commonly female characters who experienced misery and bad luck. The data collection was done by library research. The method used was a qualitative descriptive that describes writings based on the content of the work depicting a female character who experienced suffer and misery. The results shows that “Pengantin Hamil” and “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” shor stories depict marginalized and suffered women . Keywords: woman, suffering, misery, marginalized mengakrabi cerpen, kita dapat memetik manfaat berdasarkan pesan-pesan yang tersirat. Karya sastra sebagai cermin ke- hidupan masyarakat dan sebagai bagian ke-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
67
pymupdf
114 Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra giatan intelektual diciptakan pengarang untuk dibaca, dipahami, dan dinikmati. Selain itu, cerpen juga dimanfaatkan oleh masyarakat pembaca untuk melihat perkembangan kehidupan masyarakatnya. Tanpa pembaca, karya sastra tidak pernah ada dan tidak berarti. Dengan mem- baca karya sastra, pembaca dapat melihat masalah yang berhubungan dengan manusia serta lingkungannya, baik manusia sebagai pribadi maupun sebagai mahkluk sosial. Membaca karya sastra dapat menimbulkan sikap kritis terhadap perasaan, pikiran, dan tingkah laku yang ditampilkan. Bentuk karya fiksi yang banyak diminati masyarakat saat ini adalah cerpen (cerita pendek). Hal ini disebabkan karena model penceritaan cerpen terpusat pada peristiwa. Selain itu, pendek dan padatnya cerpen mudah dipahami dan tidak membutuhkan waktu lama untuk membacanya. Ajip Rosidi (dalam Tarigan, 1984: 175) mengatakan bahwa dalam beberapa bagian saja dari satu jam, seseorang dapat menikmati cerpen. Penelitian ini dibatasi pada masalah perempuan yang termarginalkan yang ter- dapat pada kedua cerpen. Kedua cerpen dapat mewakili data untuk menganalisis perempuan terpinggirkan. Setelah membaca kedua cerpen tersebut, masalah yang sering muncul berkaitan dengan manusia sebagai individu atau sebagai ang- gota masyarakat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini akan mendedahkan gambaran perempuan yang termarginalkan. Cerpen berjudul “Pengantin Hamil” mengisahkan seorang perempuan yang disia-siakan oleh laki-laki yang meng- hamilinya. Tokoh utama bernama Suri pergi meninggalkan rumah di suatu malam. Dia tidak ingin orang tuanya tahu tentang kehamilannya. Menurut Grebstein (dalam Damono, 2002: 4) karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap bila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang telah menghasilkannya. Damono (2002: 1) juga menyatakan dalam konteks sosiologi sastra, karya sastra dicipta- kan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Lebih jauh, Ratna (2003: 10-11) menyatakan bahwa studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya sastra dihasilkan melalui antarhubungan makna. Dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat. Kedua cerpen ini menggambarkan kisah sedih dan pilu yang dialami oleh kaum perem- puan. Mereka kaum lemah dan tidak berdaya selalu diabaikan tanpa ada rasa belas kasihan. 2. Metodologi Penelitian Penelitian ini berupa penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis isi. Melalui metode deskriptif tersebut diharapkan pene- litian ini dapat memberi penjelasan tentang gambaran atau keadaan yang ada. Penelitian kualitatif dimaksudkan agar dapat memahami fenomena yang dialami pada subjek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, dan tin- dakan secara holistik melalui deskripsi dalam bentuk kata-kata dan Bahasa (Moleong, 2007: 6). Sumber data penulisan ini adalah cerita pendek “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api”. Karangan Marhalim Zaini sastrawan Riau. Kedua cerpen ini menarik untuk dibahas karena kedua tokoh perempuan dalam cerpen tersebut me- rupakan representasi perempuan tertindas. 3. Hasil dan Pembahasan Cerpen “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” karya Marhalim Zaini menarik untuk diteliti karena melalui kedua cerpen tersebut pengarang ingin
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
68
pymupdf
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra 115 mengungkapkan perasaan sedih, pesimis, dan nostalgik. Dibalut dengan latar alam dan latar suasana yang tajam, pengarang bermain dan mempermainkan keadaan sekarang dan masa lampau. Bukan untuk berangkat ke masa depan, melainkan sebagai usaha menarik pem- baca untuk melihat kemiskinan, penderitaan, dan ketidakberdayaan yang menjerat masya- rakat dalam menghadapi kehidupan ini. Cer- pen “Pengantin Hamil” bisa menjadi potret terjadinya perubahan tata nilai kehidupan masyarakat. Hamil sebelum menikah dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Bahkan, pihak laki- laki atau perempuan, atau keduanya meng- gunakan kehamilan sebagai senjata untuk mewujudkan pesta perkawinan. Untuk membahas perempuan yang ter- marginalkan dalam cerpen “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api”, unsur yang dikaji adalah deskripsi berbagai isu terkait dengan perempuan dalam perspektif feminis berdasarkan kenyataan teks. Identifikasi dilakukan satu atau beberapa tokoh perempuan di dalam sebuah karya. Dengan demikian, dapat diketahui perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang terdapat dalam teks, seperti ucapan, sikap, dan tindakan tokoh lainnya, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang di- amati. Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji. Se- belum ketiga tahap itu dilakukan, terlebih dahulu peneliti melihat dan mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji. Sebelum ketiga tahap itu dilakukan, terlebih dahulu peneliti melihat dan mengamati secara se- pintas unsur-unsur pembentuk karya sastra ini. Unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah prosa fiksi (cerpen) ada dua, yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik yang akan diamati adalah tokoh dan penokohan. Namun, tidak menutup kemungkinan unsur lainnya, seperti alur, latar, sudut pandang, tema dan amanat juga dilihat secara sepintas untuk memper- tajam ucapan dan sikap-sikap tokohnya. Dengan mengamati ucapan, sikap, dan perilaku tokoh dalam cerpen tersebut, dapat diketahui dan teridentifikasi ucapan, sikap, dan perilaku tokoh-tokohnya, baik tokoh perem- puan maupun laki-laki. Pada kaitan tersebut, perlu juga dijelaskan bahwa alur merupakan sambung-sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi melainkan juga menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Secara sederhana alur mem- punyai bagian-bagian yakni permulaan, per- tikaian, perumitan, puncak, peleraian dan akhir. Menurut jenisnya, alur dapat dibagi menjadi dua, yakni alur lurus dan alur sorot yang di dalamnya terbayang pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam cerita. Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Saad 1967: 120, 185). Sementara itu, Hutagalung (1967: 163) menyatakan bahwa penokohan merupakan proses perwujudan kualitas individu sebuah peran tertentu dalam karya sastra. Peran para tokoh itu akan terlihat dalam aktivitas para tokoh. Mengenai latar, Sudjiman (1988:16, 23, 40, 44, 50) berpendapat bahwa latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang ber- kaitan dengan waktu, ruang dan suasana ter- jadinya peristiwa dalam suatu karya sastra: sedangkan tema adalah gagasan, ide atau pilihan utama yang mendasar dalam suatu karya sastra. 3.1 Biografi Marhalim Zaini Marhalim Zaini, lahir di Teluk Pambang Beng- kalis Riau, 15 Januari 1976. Salah satu anak dari empat bersaudara pasangan Zaini Safar dan Sarimah Nasroen. Ia rajin memublikasikan
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
69
pymupdf
116 Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra karya-karyanya ke berbagai media massa. Di antaranya, Kompas, Majalah, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, Jurnal Puisi, Pikiran Rakyat, Batam Pos, Riau Pos, Majalah Berdaulat, Majalah Sagang, Singgalang, Haluan,Yogya Pos, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Suara Merdeka, Jawa pos, Surabaya post, Lampung post, Bali Pos, Prince Claus Fund Journal 2006, dan lain-lain. Sejumlah penghargaan yang pernah diraih di antaranya dari DPD BSMI Daerah Istimewa Yogyakarta, Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau, Majalah Budaya Sagang, Hadiah Tepak, Nomine KSI Award, Nomine Anungrah Sagang, dan Dar! Mizan 2005, Ganti Award 2005, dan Anugrah seni 2005 dari Dewan Kesenian Riau sebagai Seniman Pe- mangku Negeri (SPN) bidang sastra. Kegiatan kesastraan yang sempat diikuti, antara lain Festival Kesenian Yogyakarta 2002, Pasar Seni Dewan Kesenian Riau, Cakrawala Sastra Indonesia Dewan Kesenian Jakarta 2004 di TIM Jakarta, Seminar Warisan Puisi Melayu Serumpun di Malaka (Oktober 2004) yang ditaja oleh Institut Seni Malaysia Malaka, Kerajaan Negeri Melaka, dan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kenduri Seni Melayu 2005 di Batam, Bintan Art Festival 2005 diTanjung Pinang, terakhir diundang dalam Iven Utan Kayu International Literary Biennale 2005 di Lampung. 3.2 “Pengantin Hamil” Cerpen ini menggambarkan seorang perem- puan belia bernama Suri. Ia merupakan tokoh utama pada cerpen ini. Suri adalah anak se- orang pemuka masyarakat yang disegani di kampung Teluk Gambut. Suri adalah gadis san- tun yang taat beribadah. Dia berguru kepada seorang ustad bernama Murad. Kedua orang tuanya sangat menyayangi anak gadis satu- satunya itu. Sebaliknya, Suri pun demikian. Oleh sebab itu, Suri pergi dari rumah pada malam hari agar kepergiannya tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. Dia tidak ingin kedua orang tuanya malu apabila mengetahui per- buatan yang telah dilakukannya bersama kekasihnya. Suri dan kekasihnya telah melakukan perbuatan dosa besar yang dilarang agama. Mereka berdua telah bergaul layaknya suami istri yang sah dalam sebuah ikatan perkawin- an. Suri tidak mampu menolak ketika kekasih- nya mulai berani menyentuh dirinya perlahan demi perlahan sampai akhirnya terjadi peristiwa itu. Mereka berdua telah menikmati manisnya madu cinta terlarang yang telah mengubah segalanya. Suri pasrah dan ber- harap apa yang dikatakan Sang kekasih men- jadi kenyataan bahwa mereka akan bersan- ding di pelaminan. Penantian panjang Suri ditinggal oleh Sang kekasih yang pergi merantau ke negeri seberang mencari pekerjaan untuk modal menikah telah membawa dirinya pergi dari rumah karena perutnya semakin hari ber- tambah besar. Suri tidak ingin kedua orang tuanya malu dengan kehamilan dirinya di luar nikah. Oleh sebab itu, dia pergi meninggalkan rumahnya dan mengasingkan diri ke dalam hutan. Kedua orang tuanya panik dan cemas karena tidak tahu mengapa anak gadisnya pergi serta meninggalkan segalanya. Dalam penantiannya itu, Suri terus membaca se- pucuk surat pertama dan terakhir yang di- kirim kekasihnya setelah mereka berpisah. Kekasihnya mengatakan bahwa dia akan pulang dan berjanji akan menikahinya. Kepergian Suri ke tengah hutan akhirnya diketahui oleh penduduk yang kebetulan sedang mencari kayu bakar. Kemudian orang tuanya menyusul Suri serta mengajaknya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Suri ditanyai orang tuanya, siapa yang telah menghamilinya. Akan tetapi, Suri tetap tidak mengatakan siapa laki-laki tersebut. Orang
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
70
pymupdf
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra 117 tuanya tetap memaksanya untuk mengatakan siapa laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu. Pada akhirnya, Suri mengatakan bahwa laki-laki itu adalah anak kepala desa tetangga sebelah rumahnya. Keterusterangan Suri tersebut membuat semua orang terkesima. Gunjingan tentang kehamilan Suri tanpa suami akhirnya sirna. Laki-laki yang menghamili Suri anak orang terpandang sehingga semua orang merestuinya. Kehamilan Suri tidak lagi menjadi gunjingan masyarakat Teluk Gambut karena orang yang menghamili Suri adalah anak orang terpandang. Orag tua Suri setuju dan merestui Namun, janji lelaki tersebut tidak pernah menjadi kenyataan sampai Suri bermimpi dia duduk di pelaminan sebagai pengantin hamil. Cerpen “Pengantin Hamil” menggambar- kan kekecewaan yang dialami Suri. Cerpen ini terlihat biasa saja karena dalam kehidupan nyata kejadian ini sering terjadi. Namun, di balik itu semua tergambar hal buruk langsung ditimpakan kepada perempuan. “Bibir Suri tak pernah bisa berhenti untuk terus membaca sekeping surang lusuh di tangannya. Surat pertama yang telah ia terima, seminggu setelah kepergi- an kekasihnya, sampai kini setelah genap tujuh bulan, surat yang lain tak kunjung datang. Suri menanti sembari terus membaca surat pertama berkali-kali. Suri menanti, sembari merasakan perut- nya makin lama makin berisi. Suri me- nanti, sembari merasakan perutnya makin lama makin berisi. Ada bayi yang terus meronta meminta hak hidupnya dijaga. Bayi yang tak dipinta hasil per- setubuhan cinta yang liar”, (Amuk Tun Teja,hlm. 45). Kutipan di atas menunjukkan bahwa Suri sangat mengharapkan kedatangan kekasih- nya. Namun, penantian panjang tersebut hanya sia-sia belaka. Suri akhirnya menang- gung aib dan malu sendiri akibat perbuatan yang telah mereka lakukan bersama. Suri semakin tersiksa ketika membaca isi surat kekasihnya yang menjanjikan mereka akan segera menikah seperti terlihat pada kalimat berikut, “Kita akan bersanding sayang. Duduk di atas pelaminan seperti raja dan per- maisuri. Daun inai yang diracik halus akan menghiasi jemari tangan dan kaki kita dengan getah merahnya. Beras pulut beraroma kuning kunyit, akan ditabur oleh sanak saudara di atas kepala kita, sebagai tanda restu doa telah diberi. Maka hati kita pun bernyayi, diiringi berzanji yang melantun dari mulut gadis- gadis kampung yang molek. Rampak pukulan kompang dari tangan-tangan pemuda yang belia semakin menggetar- kan kita bahwa saat itu, menjadi milik kita berdua. Tunggulah aku sayang. Abang akan pulang,” (Amuk Tun Teja, hlm. 45). Permintaan kekasihnya agar Suri ber- sabar dan tetap menanti kedatangannya merupakan hal yang membahagiakan. Suri yakin, kekasihnya itu akan datang dan segera melamarnya. Hal tersebut tergambar pada kutipan di atas. Jika sudah waktunya, mereka akan segera menikah dan bersanding di pelaminan bagaikan raja dan permainsuri. Namun, semua janji dan rencana mereka ber- dua tidak pernah terwujud. Kekasih Suri tidak pernah kembali dan datang menemuinya untuk bertanggung jawab. Suri sebagai tokoh utama dalam cerpen ini dihadapkan dengan kenyataan pahit getir- nya kehidupan. Dia dan keluarga besarnya harus mengalami peristiwa memalukan itu. Hamil di luar nikah. Sebagai perempuan muslim dan berasal dari suku Melayu yang identik dengan agama Islam, kejadian yang dialami Suri tidak harusnya terjadi. Namun,
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
71
pymupdf
118 Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra kenyataan itu terjadi di tengah masyarakat bahkan hamil di luar nikah merupakan pan- dangan yang lazim serta biasa saja. Cerpen ini menggambarkan kerisauan dan kegundahan pengarang terhadap masya- rakat Melayu yang telah melanggar nilai ajaran Islam. Padahal, Islam dan Melayu tidak dapat dipisahkan karena Melayu identik dengan Islam. Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang ketat mempraktikkan ajaran Islam. Melalui cerpen ini pengarang ingin menum- pahkan segala permasalahan yang telah melanda negeri yang sangat dicintainya. Peng- arang ingin mengembalikan kehidupan masyarakat Melayu yang sangat menjujung tinggi nilai-nilai keagamaan. Akan tetapi, dalam realitasnya, generasi muda Melayu Riau justru telah terpengaruh dalam pergaulan bebas. Dalam kaitan ini, perlu dikutip pernyataan Nofrianto sebagai berikut. “Mereka begitu mudah memasuki tempat-tempat khusus orang dewasa, apalagi malam minggu. Pelakunya bukan hanya kalangan SMA, bahkan sudah merambat di kalangan SMP. ‘’Banyak kasus remaja putri yang hamil karena kecelakan padahal mereka tidak mengerti dan tidak tahu apa resiko yang akan dihadapinya, (http:// www.pekanbaruriau.com, diakses 2 Desember 2012). Berdasarkan kutipan di atas, terlihat per- gaulan bebas di kalangan remaja di Riau sangat memprihatinkan karena telah me- rambat di kalangan SMP. Mereka sudah berani melakukan perbuatan maksiat. Sebagai umat yang beragama Islam, berzina adalah perbuat- an dosa besar dan haram dilakukan oleh pa- sangan yang belum menikah. Namun, ke- nyataannya perbuatan zina begitu sering kita dengar. Rasa malu keluarga tidak bisa ditutup- tutupi. Akan tetapi, jika ada seseorang yang mau menikahi, hilanglah kesedihan dan rasa malu itu. Bahkan, tidak sedikit keluarga yang memeriahkan pesta pernikahan anaknya dengan perut buncit. Hal ini menunjukkan kebingungan dan rasa malu mereka bukan karena anak gadisnya melakukan zina, tetapi karena anaknya hamil dan belum ada yang siap menjadi ayah bayi yang dikandungnya. Selanjutnya komentar yang hampir sama disampaikan oleh Mahdini, ketua MUI Provinsi Riau sebagai berikut. ‘’Saya meminta semua kalangan, baik para pendidik, orang tua, dan tokoh masyarakat agar memfungsikan tugas-tugas sosialnya. Banyaknya kalangan remaja yang melakukan seks bebas, lanjutnya diindikasikan ada jaring- an tertentu yang menggiring anak-anak ke hal yang negatif. Oleh karena itu, MUI menghimbau untuk menutup tempat yang berbau maksiat. ‘’Menutup tempat maksiat itu jauh lebih penting demi generasi muda,’’. Ditingkat pergaulan dalam kondisi hari ini, anak-anak bisa saja berbohong. Oleh sebab itu, sambungnya pengawasan orang tua harus diperketat. Tentu saja contoh perilaku orang tua sangat berperan.Ia berharap, semua sekolah- sekolah tanpa terkecuali memperkuat kembali kehidupan beragama. ‘’Kita harus menanamkan nilai-nilai agama sejak dini sehingga mereka memiliki kepribadian yang kuat. (http:// www.pekanbaruriau.com, diakses 2 Desember 2012). Seorang perempuan Melayu harus mem- punyai kepribadian yang baik dan berbudi pekerti yang baik. Dalam sebuah artikel risalah tentang perempuan yang baik Doddy Koesdijanto berpendapat mengenai beberapa ciri umum akhlaq wanita pilihan Allah adalah sebagai berikut. “Sebelum menikah, wanita sholehah akan selalu menjaga dirinya, ia tidak akan
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
72
pymupdf
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra 119 membuka satu hubungan khusus, ke- cuali jika ia mengetahui bahwa lelaki tersebut hendak meminang dirinya.  Aqidah islam, kepahaman dan akhlaq calon suami, merupakan modal dasar dari kriterianya. Wanita sholehah tidak akan memperlihatkan auratnya pada kaum pria yang dilarang oleh syariat , dirinya tidak akan pula membiarkan bagian tubuhnya disentuh, walau hanya berjabat tangan oleh lelaki yang bukan muhrimnya dan yang tidak memiliki kepentingan. Dalam proses perkenalan atau ta’aruf ia tidak akan membiarkan dirinya berdua-duaan dengan kaum pria. Menjawab salam, tidak berbicara kecuali hal yang mengarah pada kebaik- an. Tidak menjatuhkan kehormatan dan martabatnya dengan memberikan pe- luang kepada kaum pria untuk memper- mainkan dirinya. Tidak meminta harta maupun barang apapun selain kesung- guhan calon suami untuk mempercepat proses akad nikah (artikel New.drisalah.com, diakses 2 Desember 2012). Berdasarkan uraian di atas tergambar bahwa perempuan yang baik menurut pandangan Islam adalah yang bisa menjaga dirinya dan tidak menjatuhkan kehormatan dan martabatnya dengan memberikan peluang kepada kaum pria untuk mempermainkan dirinya. Cerita pendek Pengantin Hamil meng- gambarkan gegundahan serta kecemasan yang dirasakan oleh pengarang. Kenyataan pahit dan pesimis telah melanda negeri yang sangat dicintainya itu dengan maraknya perzinahan. Melalui tokoh utama, Suri, cerita dimulai dengan segala kebahagian sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara. Mereka lupa diri sehingga perzinahan tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, perempuan selalu menjadi korban. Tokoh Suri harus menang- gung malu sendiri karena perbuatan yang telah mereka lakukan bersama. 3.3 “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” Cerpen ini menggambarkan perempuan ber- nama Soi. Ia adalah warga Thiongha keturun- an yang tinggal dengan seorang perempuan Melayu bernama Kak Dar. Mereka berdua berjualan nasi dan minuman untuk para kuli pelabuhan yang datang silih berganti. Soi, begitu dia dipanggil, hidup menumpang di rumah Kak Dar. Nasib telah membawa perem- puan ini ke tanah Melayu tepatnya di sebuah kedai kopi di pinggiran Sungai Siak. Soi, perempuan yang telah kehilangan segalanya, keluarganya, keperawananya, kini kehilangan lelaki yang harus bertanggung jawab terhadap bayi yang dikandungnya. Peristiwa tragis yang menimpanya pada suatu malam ketika hujan lebat mengguyur bumi di sebuah kedai yang terletak di ping- giran Sungai Siak. Malam itu segerombolan laki-laki yang menutupi wajahnya dengan kain sarung telah merenggut kesuciannya. Peris- tiwa itu terjadi begitu cepat tanpa seorang pun yang dapat mendengar tangisan dan jeritan perempuan malang itu. Mereka begitu kuat dan beringas melampiaskan nafsu binatangnya kepada Soi di tengah malam yang buta. Akibat pemerkosaan tersebut, Soi harus menanggung semua beban dan aib yang tidak bisa disembunyikan. Semakin hari perutnya membesar. Dia sendiri tidak tahu kepada siapa harus meminta pertanggungjawaban. Mereka, para kuli, bergantian menikmati tubuh perem- puan malang tersebut. Sampai usia kandungannya sembilan bulan, Soi tetap membisu dan diam. Kebencian Soi semakin memuncak ketika para kuli tersebut sering menggoda dan mengolok- ngolok dirinya dengan perkataan yang me-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
73
pymupdf
120 Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra nyakitkan hatinya. Mereka mengatakan agar Soi menggugurkan kandungannya tanpa harus terbebani. Para kuli tersebut juga menyarankan Soi agar bisa melayani mereka sambil bekerja di warung Kak Dar. Kebencian Soi tidak bisa lagi dibendung. Dengan sikap diam dan membisu, perempuan ini merencanakan sesuatu. Pada malam yang disertai angin kencang, Soi membakar gudang- gudang di bantaran Sungai Siak. Terlihat tubuh-tubuh para kuli bergelimpangan hangus terbakar api dendam yang telah di- simpan perempuan bunting itu selama ber- bulan-bulan. Senyum kemenangan terpancar di wajah Soi yang pandai menyimpan api. Cerpen ini menampilkan sosok perem- puan tidak berdaya dan teraniaya. Soi me- rupakan tokoh utama dalam cerpen ini meng- alami penderitaan fisik maupun batin. Perem- puan ini telah kehilangan segalanya karena kesulitan ekonomi yang melanda negerinya. Sehingga dia terdampar di tanah Melayu. Maksud hatinya ingin memperbaiki kehidup- annya, namun apa yang diimpikanya itu sirna karena mereka para kuli pelabuhan telah merenggut segala kesucian dalam dirinya. Peristiwa yang dialami tergambar dalam kutipan, “Soi Mahfun. Sesungguhnya tidak ada yang membuat ia berbeda dari mereka. Kehilanggan di sini ibarat Ulam. Tidak sedap hidup tanpa kehilangan. Sejak lama Soi kehilangan keluarganya., kehilangan kampung halamannya, kehilangan pekerjaan, kehilangan keperawanan, lalu kini Soi kehilangan lelaki yang harus bertanggung jawab terhadap bayi yang dikandungnya” , (Amuk Tun Teja, hlm. 10). Potret suram dan ketidakberdayaan perempuan jelas tergambar pada kalimat di atas. Pengarang menampilkan penderitaan yang berkepanjangan melalui toko utama. Soi. Pengarang sangat piawai menggambarkan konflik batin yang dialami oleh Soi melalui penggunaan bahasa yang sangat menyentuh. Pemilihan kata yang tepat dapat mengantar- kan pembaca agar tetap membaca karyanya karena dibalut dengan bahasa sastra yang indah dan mudah dicerna. Cerpen ini sesungguhnya sangat kuat me- nampilkan kedukaan yang dalam dan kesetiaan sosok seorang perempuan. Sebagai seorang perempuan dan calon ibu, Soi ingin tetap merawat janinnya. Namun, disisi lain dia tidak tahu harus berbuat apa karena anak yang dikandungnya itu tidak jelas siapa ayahnya. Karena perkosaan yang dialaminya pada suatu malam ketika semua orang tertidur pulas. Segerombolan laki-laki memakai cadar kain sarung telah memperkosanya silih ber- ganti. Untuk lebih jelasnya terlihat pada kalimat berikut, “Maka kini Soi memilih untuk diam. Memilih buntuk tak mengamuk atas kehilangan yang menimpanyanya. Sebab amukan dan terikannya telah tuntas lepas saat segerombolan lelaki menakluk- an tubuhnya di atas ranjang tua pada suatu malam yang hujan. Lelaki-lelaki gempal dan kasar yang berbau karat besi dan minyak kapal, menutupi wajah mereka dengan sarung, megendus se- rupa babi yang kelaparan. Soi terhenyak membisu dalam tangisan yang tertahan. Tidak ada kekutan untuk menolak bahkan untuk mengatakan tidak. Tidak ada siapa pun yang hidup malam itu. Hanya sesayup suara anjing yang kian hanyut dibawa deras air pasang. hanya suara desah pasrah yang tenggelam karam,” (Amuk Tun Teja, hal 10). Pengarang berhasil mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan latar tempat, suasana, waktu di sekitar pe-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
74
pymupdf
Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra 121 labuhan. Seperti gambaran aktivitas para kuli, warung kopi dan segala yang hidup disekitar tempat itu. Hal tersebut terlihat pada per- nyataan berikut, “Soi tidak suka ratusan cahaya kristal yang terapung berbaris di sepanjang tepian Sungai Siak di seberang itu, sebab Soi tak mampu menggapainya. Dan Soi lebih suka pelabuhan tua beraroma lumut gambut ini, duduk bersandar mengelus-elus perutnya di sudut jendela kedai yang selalu terbuka, mendengar- kan batu-batu domino beradu di atas meja, menyimak percakapan para kuli pelabuhan yang menyulut derai tawa. Serupa kenikmatan pahit candu dari tuak yang ditenggak para kuli Imigram gelap itu, Soi menikmati setiap jarum teluh yang menyembur dari mulut mereka, (Amuk Tun Teja, hlm. 19). Berdasarkan uraian di atas dapat di- ketahui nasib dan kehidupan kaum perem- puan yang menyedihkan karena kurangnya perhatian keluarga dan pemerintah. Gambar- an perempuan yang terpinggirkan pada kedua cerpen sering ditemui di dalam ke- hidupannya nyata. Tokoh Soi yang ingin meng- ubah nasib atau mencari kehidupan yang lebih layak malah menjadi korban pelecehan sehingga menyebabkan kehamilan. Jika krisis perekonomian di negerinya tidak terjadi, mungkin Soi tidak akan mengalami nasib buruk yang menghancurkan masa depannya. Pengarang berhasil menggambarkan situasi tersebut melalui tokoh Soi seorang gadis keturunan Thiongha yang terdampar di tanah Melayu, “... seisi kedai menyimpan umpatan itu. Malam yang diduga dapat menyem- bunyikan percik api sindir kebencian dari mata orang-orang justru kini menjelma ribuah teluh yang mendera sunyi. Sunyi malam, yang memekat di dada Soi. Dada perempuan yang sipit matanya, mem- buncit perutnya yang hanya meman- dangi genang bias cahaya lampu di wajah sungai hitam setiap malam”. (Amuk Tun Teja, hlm. 9). Perasaan sedih, pesimis, dan penyesalan serta dendam bercampur menjadi satu dalam diri Soi. Sebuah potret ketidakadilan terhadap kaum perempuan tergambar jelas dalam kedua cerpen tersebut. Pengarang berhasil menarik empati pembaca melalui tokoh utama Suri dan Soi yang mengalami penderitaan lahir dan batin. Gambaran perempuan yang ter- pinggirkan yang juga disebabkan oleh faktor pendidikan dan ekonomi. 4. Simpulan Kedua cerpen “Pengantin Hamill dan “Perem- puan yang Pandai Menyimpan Api” karya Marhalim Zaini mengungkapkan perempuan sebagai orang termarginalkan. Sebagai seorang perempuan, tokoh Suri sangat men- derita karena janji kekasihnya tidak pernah terwujud. Janji hanya tinggal janji setelah semua kesuciannya direnggut oleh kekasih- nya. Dalam hal ini perempuan dalam segala hal selalu disepelekan, dilecehkan, dan dinomor- duakan. Nasib buruk yang menimpa perempuan berupa kesialan dan keterpurukan telah dialami oleh kedua tokoh utama dalam kedua cerpen. Mereka mengalami penderitaan baik secara fisik maupun mental. Tokoh Soi diper- kosa oleh segerombolan kuli di tepi sungai pada suatu malam yang sunyi. Peristiwa malam yang tragis tersebut telah menyisahkan pen- deritaan yang berkepanjangan bagi Soi. Bagai- mana tidak, kepada siapa dia meminta per- tangungjawaban terhadap bayi yang ada dalam rahimnya. Keberadaan perempuan dalam kehidup- an masyarakat sangat penting karena tanpa
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
75
pymupdf
122 Imelda, Yulita Fitriana/Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 ©2020, Widyasastra kehadiran dan peran sertanya segala sesuatu- nya tidak berjalan dengan baik. Perempuan adalah sosok yang sangat berperan dalam keluarga karena memiliki perasaan yang halus dan kasih sayang yang tidak tergantikan oleh kaum laki-laki. Setelah menganalisis kedua cerpen ini, dapat diketahui sosok perempuan selalu dirugikan. Mereka selalu menjadi objek penderita. Pengarang melalui karyanya ingin mengetuk hati para pembaca dengan meng- hadirkan kedua tokoh utama yang menderita, tersiksa, terabaikan, dan tertelantarkan. Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko. 2002. Sosiologi Sastra: sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. Hutagalung, M.S. 1967. Tanggapan Dunia Asrul Sani. Jakarta: Gunung Agung Moleong, L. J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. Ratna, Nyoman Kutha, 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saad, M. Saleh. 1967. Metodologi Penelitan Sastra; Espitomologi, Model, Teori dan Aplikasi. Sudjiman, Panuti 1988. Kritik Sastra. Bandung Angkasa Tarigan, Henry Guntur, 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Yulianto Agus. 2017. Kritik Sosial dalam Dua Cerpen karya Pengarang Kalimantan Selatan Jurnal Bebasan, Vol 4, N0. 2 edisi Desember. Zaini, Marhalim. 2007. Kumpulan Cerpen Amuk Tun Teja. Riau: Pustaka Pujangga. Laman http://www.pekanbaruriau.com, diakses 2 Desember 2012. New.drisalah.com, diakses 2 Desember 2012.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
76
pymupdf
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra 123 UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PADA CERITA RAKYAT “BARIDIN” MASYARAKAT DESA GEGESIK INTRINSIC AND EXTRINSIC ELEMENTS ON “BARIDIN” FOLKLORE Aisyah1, Tato Nuryanto2, Indrya Mulyaningsih3 1. Pendidikan Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Posel: [email protected] 2. Pendidikan Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Posel: [email protected] 3. Pendidikan Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Pesel: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerita rakyat “Baridin” yang berasal dari masyarakat desa Gegesik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data pada penelitian ini adalah transkrip dari informan di Desa Gegesik Kecamatan Jagapura Kabupaten Cirebon. Teknik yang digunakan pada penelitian ini yaitu teknik wawancara dan observasi. Validasi data pada penelitian ini dengan meningkatkan ketekunan pengamatan dan melakukan triangulasi sumber data. Analisis data dilakukan dengan model Miles dan Huberman dengan empat tahap yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerita rakyat “Baridin” mempunyai unsur intrinsik sebagai berikut (1) tema :cinta berujung kematian; (2) alur: alur maju; (3) latar tempat: di rumah Baridin, di rumah Ratminah, di jalan hendak kesawah, dan di sawah. Latar suasana: senang dan sedih (patah hati). Latar waktu: pagi hari, sore hari, dan petang hari. Latar keadaan sosial: musim paceklik dan memiliki kepercayaan yang tidak sejalan dengan syariat islam; (4) tokoh/penokohan: Baridin dengan watak keras kepala, pasrah, polos. Suratminah dengan watak sombong. Mbok Wangsih dengan watak penurut. Gemblung dengan watak pemarah dan pendendam. Bapak Dam dengan watak sombong; (5) sudutpandang: orang ketiga pelaku utama; (6) amanat : jangan sombong, saling menolong dalam hal kebaikan. Unsur ekstrinsik pada cerita rakyat “Baridin” yakni (1) nilai moral; (2) nilai sosial; (3) nilai agama; (4) nilai budaya. Kata kunci: unsur intrinsik, ekstrinsik, cerita rakyat Baridin Abstract The research aims to describe intrinsic and extrinsic elements in the folklore “Baridin” of the Gegesik village community. The research method used is descriptive qualitative method. The data source in this study is the informant who knows the folklore “Baridin” in the village of Gegesik, Jagapura District, Cirebon Regency, The technique used in this study is to improve the perseverance of observation and triangulation of data sources. Data analysis was performed using the Miles and Huberman model with four stages namely data collection, data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results showed that the “Baridin” folklore contained intrinsic elements as follows (1) theme: love leads to death; (2) plot: forward plot; (3) setting place: at Baridin’shouse, at Suratminah’s house, on the road going to rice fields, in rice fields. Time setting: morning, evening. Social situation setting: famine and having beliefs
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
77
pymupdf
124 Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra 1. Pendahuluan Cerita rakyat saat ini mulai dikesampingkan sebab anak-anak lebih menyibukkan diri dengan bermain ponsel atau menonton televisi dibanding mendengarkan cerita rakyat yang dibacakan oleh ayah atau ibunya. Penjualan ponsel secara bebas mengakibatkan anak- anak lebih dekat dengan ponsel, dalam hal ini peran seorang ayah atau ibu saat menidurkan anak-anak dengan bercerita telah digantikan dengan ponsel. Hal ini selaras dengan kabar dari kompas tv bahwa di Bandung Jawa Barat seorang anak berusia 8 tahun mengalami kerusakan motorik halus akibat ketergantung- an dengan ponsel pintar, Sabtu (19/10/19). Kejadian tersebut sangat memprihatinkan karena anak-anak yang seharusnya tumbuh dan berkembang secara optimal malah se- baliknya, hal ini disebabkan oleh kelalaian orang tua yang membiarkan anak-anak leluasa dalam bermain ponsel. Hakikat seorang anak adalah menerima pendidikan yang baik seperti mendengarkan cerita rakyat atau dongeng. Dongeng atau cerita rakyat termasuk ke dalam strategi yang paling efektif untuk membantu menumbuh kembangkan aspek pengetahuan, perasaan dan sosial yang dimiliki anak selain itu adanya cerita rakyat atau dongeng dapat membuat rasa ingin tahu sangat besar sehingga anak- anak antusias dalam menerima pengetahuan baru dan pengalaman baru. Penelitian di New Zealand menegaskan bahwa para ibu yang berhasil mendidik anak dengan baik yakni para ibu yang sedari dini membiasakan anaknya mendengarkan cerita dengan penyampaian yang menarik dan memberikan kesan yang sangat menakjubkan (Mushoffa Aziz, 2001:195). Manfaat peng- ajaran sastra pada anak dapat membuat anak memahami dan mempelajari nilai-nilai kehidupan sehingga dikemudian hari akan menjadi landasan serta pedoman (Rusyana, 1984: 313). Hubungan baik kepada Tuhan, hubungan baik terhadap sesama manusia, hubungan baik terhadap diri sendiri, dan hubungan baik dengan jagat raya termasuk ke dalam nilai-nilai (Setyawan, 2015: 6). Cerita rakyat termasuk ke dalam sastra lisan. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang memiliki sasaran agar para pendengar mampu menjadikan cerita tersebut sebagai suatu cerminan yang baik. Sebelum adanya sastra tulis, sastra lisan merupakan alat interaksi dari lisan ke lisan lain yang memiliki nilai-nilai luhur. Menurut Danandjaja (2007: 2) menegaskan bahwa foklor merupakan kum- pulan prosa rakyat yang disebarluaskan dengan cara turun-temurun baik bentuknya berupa lisan ataupun dengan pelengkap gerak seperti alat bantu pengingat (memoric device). Cerita rakyat jika dilihat berdasarkan jenis maka termasuk sastra lokal atau sastra daerah. Seiring berjalannya waktu sastra akan memudar jika tidak dilestarikan dan dijaga that are not in life with islamic law; (4) character/ characterization: Baridin with a stubborn, resign, plain character, Ratminah with arrogant chacarter, Mrs. Wangsih with a submissive character, Gemblung with angry and vengeful character, Mr. Dam with with arrogant character; (5) Poin of view: thrid person main actor; (6) mandate: don’t be arrogant and help each other in good terms. Extrinsic elements in the “Baridin” folklore are (1) moral values; (2) social values; (3) religious values; (4) cultural values. Keywords: intrinsic elements, extrinsic elements, folklore Baridin
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
78
pymupdf
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra 125 dengan baik oleh karenanya perlu adanya penjagaan dan pembinaan. Sastra Indonesia tidak dapat berangkat sendiri atau dipisahkan dengan sastra daerah karena sastra Indonesia lahir dari kesusastraan daerah yang dikolek- tifkan secara kreatif bagi pemilik dan penikmat sastra(Susianti, 2015: 5). Sebagai manusia pembelajar maka diharuskan mampu melestarikan kearifan lokal seperti melestarikan sastra daerah, bentuk dari penjagaan tersebut didukung oleh pendapat dari Sedyawati (2012: 203) me- negaskan bahwa semua orang harus andil dalam upaya memelihara dan melestarikan kebudayaan yang diwariskan para leluhur, upaya tersebut terbentuk ke dalam lima jenis yaitu (1) merawat atau menjaga; (2) mengkaji lebih dalam; (3) pemertahanan dengan me- ngemas penuh kebaikan serta pempublikasi- an; (4) memiliki daya rangsang yang penuh inovasi; (5) mencakup nilai ideal kebangsaan. Berkenaan dengan sastra daerah bahwa di daerah Cirebon terdapat cerita rakyat yang harus dilestarikan dan dipelihara. Pada penelitian ini akan ditindaklanjuti pada cerita rakyat “Baridin”. Cerita rakyat “Baridin” me- rupakan cerita yang berasal dari daerah Cirebon namun tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang yang hidup di daerah Cirebon tidak mengetahui cerita tersebut khususnya anak-anak. Pada penelitian ini alasan mengangkat cerita “Baridin” agar masyarakat mengetahui bahwa di daerah Cirebon terdapat cerita rakyat yang begitu melegenda yang kemudian dalam hal ini dapat menjungjung kearifan lokal sehingga ter- ciptanya produk daerah. Berkaitan dengan cerita “Baridin” bahwa setiap cerita terlahir tidak serta merta ada begitu saja melainkan ada tokoh yang ber- peran kemudian ada tempat yang pernah disinggahi oleh tokoh dan lain sebagainya oleh karena itu dalam penelitian ini akan mengkaji unsur instrinsik. Menurut Nurgiyantoro (2005: 118) menegaskan bahwa karya sastra memiliki unsur yang kemudian unsur tersebut menduduki tempat pada suatu cerita yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan, unsur yang dimaksud yaitu unsur instinsik yang berisi tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan amanat. Berbicara unsur intrinsik maka tidak akan lepas dengan unsur ekstrinsik. Menurut Nurgiyantoro (2010: 23) menegaskan bahwa unsur ekstrinsik adalah bagian yang ada di luar cerita. unsur ekstrinsik yang di maksud yaitu berkaitan dengan nilai-nilai. Nilai-nilai jika berkaitan dengan anak-anak maka yang sesuai adalah nilai pendidikan. Nilai pendidikan mencakup empat nilai besar yakni nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai agama (Andayani, 2013: 54-68). Nilai moral merupakan hal-hal yang berkenaan dengan mendidik setiap individu agar lebih menjungjung kesopanan dan perilaku-perilaku baik lainnya yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Nilai sosial adalah suatu hal yang berkenaan dengan hubungan harmonis dalam bermasya- rakat. Nilai agama merupakan suatu keper- cayaan penuh terhadap apa-apa yang ber- kenaan dengan Dzat Tuhan sehingga dalam bertindak dan bertutur selalu difikirkan ter- lebih dahulu agar tidak melanggar dengan norma yang menyatu dengan masyarakat. Nilai budaya yaitu nilai yang berkaitan dengan adat masyarakat sehingga tata peraturannya tidak bisa diubah sesuka hati (Andayani, 2013: 69- 72). Masalah penelitian adalah mengetahui apa saja unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerita rakyat “Baridin”. Tujuan dari penelitian ini yakni untuk menguraikan dan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerita rakyat “Baridin” masyarakat Desa Gegesik sehingga penelitian ini menggunakan metode
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
79
pymupdf
126 Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra etnografi. Spradley (2007: 3) menegaskan bahwa etnografi ialah pendeskripsian perihal kebudayaan yang memiliki tujuan untuk mendapatkan sebuah pemahaman sudut pandang dari penduduk asli. Hasil akhir dari pendekatan etnografi yakni naratif deskriptif yang memiliki sifat menyeluruh dengan sebuah interpretasi segala aspek dan kom- pleksitas kehidupan. Analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik sudah sering dijumpai terutama dalam karya sastra seperti novel, cerita rakyat, puisi, cerpen, dan lain sebagainya. Adapun penelitian yang sejenis dan dijadikan rujukan, misalnya yang dilakukan Fitriani (2017). Pada penelitian yang dilakukan Fitriani menegaskan perihal kemampuan siswa dalam menganalisis suatu unsur instrinsik cerita rakyat dari Toraja yang berjudul “Baine Ballo”. Penelitian yang dilakukan Fitriani ber- fokus pada unsur intrinsik, hal ini bertujuan agar siswa tidak hanya mampu mengenal karya sastra melainkan dapat mengapresiasi sastra dengan baik. Pembaca tentu tidak dapat menghargai keberadaan sastra jika tidak me- mahaminya dengan baik. Penelitian Fitriani hadir agar siswa mampu mengapresiasi satra dengan baik, cara mengapresiasi sastra ter- sebut dengan menganalisis unsur instrinsik di dalamnya. Pada cerita rakyat “Baridin” juga meng- analisis unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik pada cerita rakyat “Baridin” bersisi pedoman, hikmah, dan tuntunan agar anak-anak khusus- nya pelajar dapat mengaplikasikan dengan baik. 2. Metode Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap unsur intrinsik dan ekstrinsik pada transkripsi cerita rakyat “Baridin” sebagai data informan. Informan yang dimaksud yakni seseorang yang mengetahui cerita rakyat “Baridin” di Desa Gegesik Kecamatan Jagapura Kabupaten Cirebon. Penelitian ini bertujuan untuk mem- berikan gambaran mengenai unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik pada cerita rakyat “Baridin” sehingga jenis dari penelitian ini merupakan metode kualitatif deskriptif. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yakni teknik wawancara dan observasi. Jika suatu penelitian menggunakan teknik wawan- cara maka kegiatan tersebut hanya bertumpu pada satu tujuan saja yakni pengumpulan suatu informasi. Penelitian ini menggunakan wawancara terbuka atau wawancara tidak terstruktur (Unstructured Interview). Sugiyono (2015: 194-195) menegaskan bahwa wawancara terbuka merupakan wawancara dengan memberikan keleluasaan informan untuk memberikan serta menerangkan jawaban dengan bebas. Menurut Moleong (2014: 186- 191) menegaskan bahwa pada kegiatan wawancara terbuka maka jawaban disesuai- kan dengan informan atau tanya jawab mengalir seperti percakapan sehari-hari. Teknik observasi dalam penelitian ini yakni observasi partisipasi pasif. Menurut Sugiyono (2015: 227) menegaskan bahwa observasi partisipasi pasif maksudnya adalah ketika peneliti datang bertatap muka dengan informan maka kegiatan yang berkaitan dengan keseharian informan tidak turut serta. Pada penelitian ini hanya datang bertemu informan namun tidak terlibat dalam kegiatan apapun yang berkenaan dengan aktivitas informan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi maka alat untuk membantu dalam pengumpul- an data yakni pedoman wawancara dan pedoman observasi.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
80
pymupdf
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra 127 Teknik analisis data pada penelitian ini dengan model Miles dan Huberman yang meliputi empat tahap yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pada pengumpulan data yakni melibatkan sebuah transkip wawancara mengenai cerita rakyat “Baridin”, mengetik data yang didapat dari lapangan, memilah- milah data ke dalam jenis yang tidak sama bergantung pada informasi apa yang akan diperoleh dengan cara pengkodean, pengkode- an tersebut dimaksudkan agar data tidak tertukar antara unsur instrinsik dan nilai-nilai pada cerita rakyat “Baridin”. Mereduksi data yakni pada tahap ini yang dilakukan adalah menyelesaikan, memproses, memfokuskan, atau membuang hal-hal yang tidak perlu pada data yang telah diperoleh dari lapangan kemudian memberi gambaran yang lebih tajam. Mereduksi pula sama dengan memilah-milah maksudnya adalah memilah bagian-bagian yang ada pada cerita rakyat “Baridin” kemudian bagian tersebut dibeda- kan ke dalam bagian penting data dan bagian yang tidak termasuk data. Penyajian data pada penelitian kualitatif berisi kata-kata, gambar, tabel atau kutipan singkat sehingga data akan mudah dipahami. Penyajian data pada penelitian ini yakni dengan mencantumkan transkrip data dari hasil wawancara cerita rakyat “Baridin”. Penarikan kesimpulan, pada tahap ini data- data yang telah dikumpulkan, direduksi dan disajikan dengan cara yang mudah di- pahami kemudian ditarik suatu kesimpulan berdasarkan pengamatan yang menyeluruh dari data-data tersebut sehingga dalam hal ini dapat menjawab rumusan masalah yang sudah dijabarkan. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Unsur Intrinsik Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan seorang juru kunci makam “Baridin” dan masyarakat yang mengetahui cerita rakyat “Baridin” di Desa Gegesik Kecamatan Jagapura Kabupaten Cirebon diperoleh data mengenai unsur instrinsik sebagai berikut. 3.1.1 Tema Pada cerita rakyat “Baridin” tema yang terkandung dalam cerita tersebut yakni “cinta berujung kematian”. Hal ini dapat dilihat pada data dari hasil transkrip sebagai berikut. “....Setelah 40 hari dan Suratminah ber- hasil menemukan Baridin akhirnya Suratminah mengutarakan segala isi hatinya dan benar-benar ingin me- nikah dengan Baridin namun Baridin menolaknya dan akhirnya Suratminah meniggal di hadapan Baridin setelah Suratminah meninggal saat sore hari Baridin ingin berbuka puasa akhirnya Baridin ikut meninggal.” Bermula dari rasa cinta kemudian dihina habis-habisan ini yang mengakibatkan sakit hati yang tidak berkesudahan sehingga me- milih jalan lain untuk membalaskan rasa sakitnya. Hal ini tanpa disadari akan mem- bahayakan orang lain dan dirinya sendiri. 3.1.2 Alur Alur dapat diartikan sebagai suatu jalan dalam hal ini yakni jalan suatu cerita, alur pada cerita ini merupakan alur maju. Hal ini dapat dilihat pada data dari hasil transkrip sebagai berikut. “....Cerita Baridin ini adalah cerita ten- tang dua sejoli yang tidak ditakdirkan bersama di dunia, cerita ini bermula dari rasa sakit hati yang terus-menerus kemudian memilih jalan lain untuk membalaskan rasa sakit tersebut hingga menyebabkan kematian.”
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
81
pymupdf
128 Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra Cerita ini merupakan cerita yang memiliki jalan cerita runtun dari awal hingga akhir tanpa mengisahkan kejadian-kejadian di masa lalu atau mengulas sebagian di masa lalu sehingga cerita ini memiliki alur maju. 3.13 Latar Latar merupakan hal yang berkenaan dengan tempat, suasana, waktu dan keadaan sosial dalam cerita. Latar tempat pada cerita “Baridin” yakni di rumah Baridin, di rumah Suratminah, di jalan hendak ke sawah, dan di sawah. Data yang menjelaskan latar tempat di rumah Baridin yaitu sebagai berikut. “....semisal celananya sobek maka ketika di rumah ia menambal dengan bahan yang lain, hal itu dilakukan karena Baridin saking tidak punya uang untuk membeli yang baru.”. Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa latar tempat saat Baridin menambal celana yang sobek terjadi di Rumah Baridin. Data selanjutnya yang menjelaskan latar tempat di rumah Suratminah yaitu sebagai berikut. “...kemudian Mbok Wangsih pergi ke rumah Suratminah untuk melamar.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa latar tempat saat Mbok Wangsih akan melamarperempuan yang diinginkan Baridin yakni di Rumah Suratminah selaku perempuan yang dicintai oleh Baridin. Data selanjutnya yang menjelaskan latar tempat di jalan hendak ke sawah sebagai berikut. “...tiba-tiba di jalan menuju sawah bertemu dengan perempuan cantik bernama Suratminah”. Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa pada saat Baridin akan pergi meluku tiba-tiba ia bertemu dengan perem- puan yang begitu menggetarkan hatinya. Kejadian tersebut terjadi di jalan menuju sawah. Data selanjutnya yang menunjukkan latar tempat di sawah sebagai berikut. “Pagi-pagi sekali Baridin sudah ada di sawah.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa pekerjaan sehari-hari Baridin adalah meluku itu sebabnya setiap pagi Baridin sudah ada di sawah. 3.1.4 Latar Suasana Latar suasana pada cerita “Baridin” yakni senang dan sedih. Data yang menjelaskan latar suasana senang sebagai berikut. “....hati Baridin bergetar kemudian baridin merasa senang dan benar- benar cinta kepada anak Bapak Dam yang dikenal orang paling kaya di desa tersebut.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa perasaan Baridin begitu bahagia karena telah melihat perempuan ayu seperti Suratminah, Baridin merasa memiliki perasa- an aneh hingga membuatnya benar-benar tergila-gila. Data selanjutnya yang menjelaskan latar suasana sedih sebagai berikut. “....Baridin yang selama ini diurus oleh Mbok Wangsih merasa sakit hati men- dengar Mbok Wangsih dihina.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa perasaan Baridin begitu patah saat ia tahu bahwa Mbok Wangsih ibunya telah dihina dan diludahi oleh Suratminah yang saat ini ia cintai. 3.1.5 Latar Waktu Latar waktu pada cerita “Baridin” yakni pagi hari, sore hari, petang hari. Data yang men- jelaskan latar waktu pagi hari sebagai berikut. “....Pagi-pagi sekali Baridin sudah ada di sawah.”
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
82
pymupdf
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra 129 Dari data yang telah dijabarkan dapat dilihat bahwa Baridin setiap hari selalu meng- habiskan waktu di sawah karena memang pekerjaanya adalah meluku, sejak pagi Baridin sudah ada di pelataran sawah hal ini menun- jukkan bahwa latar waktu cerita “Baridin” terjadi di pagi hari. Data yang menunjukkan latar waktu di sore hari sebagai berikut. “....Sore itu setelah pulang dari sawah.” Dari data yang telah dijabarkan dapat dilihat bawa pekerjaan Baridin adalah meluku dan selalu berkecimpung di pelataran sawah lalu pada saat sore hari Baridin pulang ke rumah. Dalam hal ini menunjukkan bahwa pada saat pulang ke rumah terjadi pada sore hari. Data yang menunjukka latar waktu petang hari sebagai berikut. “....saat petang hari Baridin ingin ber- buka puasa akhirnya Baridin ikut me- ninggal di bawah pohon Bidara dekat sawah.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa saat Baridin akan berbuka puasa setelah menjalani puasa 40hari 40 malam akhirnya Baridin dipanggil oleh Allah Swt, kejadian tersebut terjadi pada saat petang hari. 3.1.6 Latar Suasana Latar suasana atau keadaan sosial pada cerita “Baridin” yakni dalam keadaan musim paceklik dan meyaknini hal-hal yang tidak sesuai syariat islam. Data yang menjelaskan keadaan sosial yakni sebagai berikut. “...Saat itu Brebes sedang musim pa- ceklik atau musim yang begitu susah dan jauh dari kata cukup.” “...Warisan tersebut berbentuk pelet atau dengan sebutan kemat jaran goyang.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa Baridin adalah putra Brebes, pada saat itu Brebes sedang dilanda musim paceklik akhirnya Baridin merantau ke daerah cirebon. Data tersebut telah menunjukkan keadaan sosial dengan ditandai musim pa- ceklik. Data selanjutnya yakni meyakin ppada hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat islam, pernyataan tersebut dapat dilihat dari data yang telah menunjukkan bahwa Baridin meyakini adanya kemat jaran goyang yang kemudian Baridin menempuh syarat-syarat yang akan membalas segala rasa sakit hatinya. 3.1.7 Tokoh/Penokohan Tokoh yaitu orang yang berperan pada suatu cerita, tokoh pada cerita rakyat “Baridin” yakni Baridin, Suratminah, Mbok Wangsih, Gem- blung Dinulur, dan Bapak Dam. Berbicara tokoh tentu akan berkaitan dengan penokoh- an. Penokohan yakni suatu penggambaran secara rinci menganai watak seseorang yang muncul dalam suatu cerita. Penokohan pada cerita rakyat “Baridin” yakni Baridin memiliki watak yang begitu keras, pasrah, dan polos. Data yang menjelaskan watak Baridin sebagai berikut. “....sebelumnya Baridin Memang sudah diwanti-wanti bahwa Bapak Dam adalah orang yang paling kaya dan ini sangat mustahil jika Bapak Dam mene- rima lamaran ini namun Baridin tidak mau mendengar perkataan dari Ibunya itu.” “....Baridin benar-benar patah namun ia hanya bisa pasrah pada Tuhan sebab ia tidak tahu harus berbuat apa.” “...setelah diberi ajian pelet kemat jaran goyang kemudian Baridin mengikuti saran yang diberikan temannya itu, Baridin hanya berharap ajian tersebut benar adanya sehingga rasa sakit yang diterima ibunya tersebut bisa se-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
83
pymupdf
130 Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra banding dengan manjurnya ajian tersebut.” Dari data yang telah dijabarkan dapat dilihat bahwa Baridin adalah anak orang biasa yang kemudian memiliki perasaan suka terhadap Suratminah yang begitu cantik dan terkenal anak orang kaya bernama Bapak Dam, hal itu telah diketahui oleh Mbok Wangsih selaku ibu Baridin, Mbok Wangsih menyuruh Bridin untuk mengurungkan niatnya untuk melamar Suratminah karena Mbok Wangsih merasa sadar diri dan hal itu tentu akan mustahil namun Baridin tidak mau men- dengarkan perkataan ibunya tersebut. Saat Mbok Wangsih pulang ke rumah dan menceritakan bahwa dirinya telah dicaci maki dan diludahi akhirnya Baridin benar-benar patah hati, ia merasa sakit karena Suratminah tega meludahi ibunya yang sangat ia sayangi. Baridin merasa sakit hati namun ia hanya bisa pasrah. Baridin menceritakan semua rasa sakit- nya kepada Gemblung selaku teman karibnya akhirnya Gemblung merasa tidak terima lantaran temannya telah disakiti kemudian Gemblung menyuruh Baridin untuk melaku- kan pelet dengan ajian kemat jaran goyang disertai dengan puasa 40hari 40malam. Baridin hanya mengikuti saran Gemblung begitu saja tanpa memikirkan akibat yang akan diterima dikemudian hari. Pada saat Baridin telah melakukan puasa 40hari 40 malam ketika petang hari ia hendak berbuka puasa akhirnya Baridin meninggal di bawah pohon bidara. Suratminah memiliki watak yang sombong, data yang menunjukkan bahwa Suratminah memiliki watak sombong sebagai berikut. “....Respon orang kaya seperti Suratminah ketika melihat Baridin tentu jauh bagaikan langit dan bumi kemudian Ratminah merasa tidak suka dengan Baridin karena bajunya yang penuh dengan tambalan, dekil, dan bau.” Dari data yang telah dijabarkan dapat dilihat bahwa Ratminah adalah perempuan yang begitu cantik namun ia memiliki watak yang begitu sombong. Mbok Wangsih memiliki watak penurut, data yang menunjukkan bahwa Mbok Wangsih memiliki watak penurut sebagai berikut. “....dengan segenap cinta Mbok Wangsih meyakinkan hatinya dan mau menuruti kemauan anak semata wayangnya itu”. Dari data yang telah dijabarkan dapat dilihat bahwa Mbok Wangsih memiliki anak semata wayang yang bernama Baridin itu sebabnya ia berusaha untuk membuat anak semata wayangnya itu bahagia. Gemblung memiliki watak pemarah dan pendendam. Data yang menunjukkan bahwa Gemblung memiliki watak pemarah dan pendendam sebagai berikut. “....Gemblung tidak terima melihat teman akrabnya disakitin dengan mengucap kata-kata kasar “Goblok kamu Baridin dihina seperti ini kamu diam saja malah menghabiskan tenaga dengan me- nangis terus-menerus”. Gemblung me- lanjutkan perkataannya bahwa dulu dirinya pernah diberi warisan oleh Bapaknya kemudian warisan itu akan dibagi kepada Baridin, warisan ter- sebut berbentu pelet atau dengan sebut- an kemat jaran goyang.” Dari data yang telah dijabarkan dapat dilihat bahwa Gemblung merupakan teman baiknya Baridin itu sebabnya Gemblung merasa tidak terima ketika mengetahui bahwa Baridin telah disakiti akhirnya Gemblung memberi saran agar Baridin melakukan ajian kemat jaran goyang. Hal itu menunjukkan
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
84
pymupdf
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra 131 bahwa Gemblung memiliki watak pemarah dan pendendam. Bapak Dam memiliki watak sombong, data yang menunjukkan bahwa Bapak Dam me- miliki watak sombong sebagai berikut. “....Mbok Wangsih dihina dan disangka seorang pengemis oleh Bapak Dam dan Suratminah namun tidak sampai di situ bahkan Mbok Wangsih diludahi oleh Suratminah, Bapak Dam memiliki sikap ramah hanya kepada mereka-mereka yang sepadan saja selebihnya ia me- miliki sikap yang sebaliknya.” Dari data yang telah dijabarkan dapat dilihat bahwa Bapak Dam adalah orang yang terpandang dan dikenal sebagai orang yang kaya raya, Bapak Dam merasa tidak suka karena putrinya Suratminah dilamar oleh perempuan miskin dengan membawa se- serahan seadanya. Hal ini menunjukkan bahwa Bapak Dam memiliki watak yang sombong. 3.1.8 Sudut Pandang Pada cerita rakyat “Bardin” yakni memiliki sudut pandang orang ketiga pelaku utama, data yang menunjukkan bahwa cerita rakyat “Baridin” menggunakan sudut pandang orang ketiga pelaku utama sebagai berikut. “....Baridin itu orang yang tidak punya apa-apa atau bisa dikatakan sangat miskin.” “....Suratminah adalah perempuan yang begitu cantik.” “....yang terlahir dari ibu yang bernama Mbok Wangsih.” “....Bapak Dam memiliki sikap ramah hanya kepada mereka-mereka yang sepadan saja.” “....Baridin menceritakan semuanya kepada Gemblung selaku teman baiknya.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa cerita rakyat “Baridin” meng- gunakan nama tokoh dalam cerita tersebut, hal ini dapat menunjukkan bahwa pada cerita rakyat “Baridin” menggunakan sudut pandang orag ketiga pelaku utama. 3.1.9 Amanat Amanat adalah suatu petuah yang ada dalam cerita agar orang-orang dapat mene- ladani dan mengaplikasikannya dalam ke- hidupan sehari-hari. Amanat bisa juga dikata- kan sebagai pesan yang ada dalam suatu cerita. Amanat juga bisa diartikan sebagai suatu teladan yang berisi contoh-contoh, contoh- contoh tersebut dapat berupa kejadian yang memiliki timbal balik pada pelakunya. Data yang menunjukkan amanat pada cerita rakyat “Baridin” sebagai berikut. “.....Pada akhir cerita ini sejatinya mem- beri pesan kepada setiap orang ter- utama perempuan. Semisal banyak lelaki yang terkagum-kagum karena kecantikan yang dimiliki maka jangan sombong karena seberapa cantik dan seberapa kayapun akan hilang dengan sendirinya, ketika merasa kurang cocok dengan lelaki yang datang me- lamar maka sebaiknya utarakan dengan menggunakan bahasa yang baik serta sopan. Sesama manusia harus saling menghormati sebab ketika sudah sakit hari maka bisa menyebabkan bahaya bagi diri sendiri dan ketika teman atau orang lain dalam kesusahan harus saling tolong-menolong namun tolong menolong dalam hal kebaikan.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa sejatinya hidup hanya sekali maka berikan yang terbaik dan lakukan yang terbaik kemudian jika berbicara cinta maka memang tidak pernah habis sebab setiap insan diberi fitrah untuk mencinta dan dicinta.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
85
pymupdf
132 Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra Pada cerita rakyat “Baridin” ini menjelaskan bahwa jangan terlalu melangit dalam me- mandang manusia yang hakikatnya hidup di bumi karena jika terlalu melangit bisa jadi pandangan itu terlalu tinggi hingga meng- akibatkan diri sendiri jatuh terlalu dalam. Jika dikaruniai kecantikan yang begitu berlebih ada baiknya menunduk sebab ketika terlalu sombong akan merugikan diri sendiri ketika banyak orang yang datang melamar jika ingin menolak maka utarakan dengan kata-kata yang baik dan sopan sebab jika tidak akan menyakiti hati orang lain, rasa sakit hati itulah yang kemudian menebal dan timbul dendam. Dendam yang tidak berkesudahan inilah yang akan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Pesan selanjutnya yakni jangan pernah beranggapan bahwa pada saat cinta ditolak maka hidup menjadi gelap gulita kemudian memupuk dendam yang begitu besar sehingga menghalalkan segala cara agar dapat mem- balaskan segala dendam yang ada di hati, hal ini tidak dibenarkan karena ketika segala cara dilakukan dengan menempuh jalan tidak baik maka ini bisa berakibat fatal seperti kematian. Pada cerita Baridin ini diawali dengan rasa sakit hati yang begitu hebat kemudian ber- tekad balas dendam dengan membaca ajian- ajian kuno yang diyakini dapat manjur jika ditempuh dengan puasa 40hari 40 malam dengan hasil akhir dapat membawa petaka bagi diri sendiri dan orang lain. Pesan berikutnya yakni ketika seorang teman dalam keadaan susah maka tolonglah, menolong di sini maksudnya adalah menolong atau membantu dalam hal kebaikan bukan keburukan sebab yang akan menyes aladalah orang yang menolong dalam keburukan tersebut. Pada cerita Baridin ini yakni seorang teman yang bernama Gemblung membantu dengan memberikan saran untuk mengemat perempuan yang menyakiti. Hal ini sama saja diibaratkan bahwa teman sendiri tega men- jerumuskan padahal yang buruk dan ini jauhdari kata setia kawan sebab setia kawan yang sejatinya tentu akan saling mengingat- kan dalam hal kebaikan, melakukan kebaikan bersama-sama dan menegur jika melakukan kesalahan. 3.2 Unsur Ekstrinsik (Berisi Nilai-Nilai) Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan seorang juru kunci makam “Baridin” dan masyarakat yang mengetahui cerita rakyat “Baridin” di Desa Gegesik Kecamatan Jagapura Kabupaten Cirebon diperoleh data mengenai unsur ekstrinsik sebagai berikut. 3.2.1 Nilai Moral Moral adalah suatu hal yang merujuk pada tingkah laku seseorang atau baik buruknya perilaku seseorang. Moral adalah hal yang berkenan dengan norma-norma, norma- norma tersebut menjadi rujukan untuk meng- ukur tindakan seseorang mengandung unsur kebaikan atau keburukan. Nilai moral yang ada pada cerita rakyat “Baridin” yaitu Baridin begitu gigih dalam bekerja meski anak semata wayang tetapi tetap bekerja tanpa malas- malasan, ia rela menjadi tulanggung punggung demi menghidupi dirinya dan ibunya selain itu Baridin begitu fokus bekerja sampai ia tidak memikirkan perempuan hingga dirinya menjadi bujangan tua. Data yang menunjuk- kan nilai moral sebagai berikut. “....ia memang anak semata wayang dan itu tidak menjadikan dirinya manja serta bermalas-malasan, ia rela bekerja hanya untuk menghidupi ibunya.” “....Baridin hanya sibuk dengan pekerja- anya saja itu sebabnya ia menjadi bujangan tua yang telat menikah.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa data tersebut merupakan nilai moral, hal itu sesuai dengan apa yang telah di-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
86
pymupdf
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra 133 paparkan bahwa Baridin adalah anak semata wayang namun ia tetap semangat bekerja kemudian data selanjutnya yakni Baridin fokus bekerja saja sampai ia lupa bahwa dirinya telah cukup usia untuk berumah tangga. 3.2.2 Nilai Sosial Nilai sosial adalah suatu hal yang berkenaan dengan hubungan harmonis dalam bermasya- rakat. Nilai sosial lebih kepada tutur kata, maksudnya yaitu ungkapan seseorang yang merujuk pada baik atau buruknya isi dari ungkapan tersebut kemudian nilai sosial juga suatu kebiasaan atau suatu perilaku baik atau buruk seseorang terhadap orang lain. Nilai moral yang ada pada cerita rakyat “Baridin” yaitu Bapak Dam hanya memiliki sikap ramah kepada orang yang sepadan saja kemudian Baridin dan gemblung memiliki hubungan baik. Hal ini dapat dilihat pada data sebagai berikut. “....Bapak Dam memiliki sikap ramah hanya kepada mereka-mereka yang sepadan saja selebihnya ia memiliki sikap yang sebaliknya.” “....Baridin menceritakan semuanya kepada Gemblung selaku teman baik- nya.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa data tersebut merupakan nilai sosial, hal itu sesuaiketika Bapak Dam begitu baik dan begitu ramah dengan orang yang memiliki kekayaan setara dengan dirinya kemudian Baridin memiliki hubungan baik dengan Gemblung. Pada hakikatnya setiap prilaku baik, tutur laku baik kepada orang lain akan timbal balik baik juga bagi pelakunya begitupun sebaliknya. 3.2.3 Nilai Agama Nilai agama ialah suatu kepercayaan penuh terhadap apa-apa yang berkenaan dengan Dzat Tuhan sehingga dalam bertindak dan bertutur selalu difikirkan terlebih dahulu agar tidak melanggar dengan norma yang menyatu dengan masyarakat, maksudnya ialah segala perbuatan yang dilakukan selalu berkaitan dengan nilai keagamaan. Pada cerita rakyat “Baridin” yakni setelah Baridin merasa ter- pukul ia lebih memilih pasrah kepada Tuhan kemudian ketika Gemblung memberi saran agar Baridin melakukan kemat jaran goyang. Hal inidapatdilihatpada data sebagaiberikut. “....Baridinbenar-benar patah namun ia hanya bisa pasrah pada Tuhan sebab ia tidak tahu harus berbuat apa.” “....Gemblung melanjutkan perkataannya bahwa dulu dirinya pernah diberi warisan oleh Bapaknya kemudian warisan itu akan dibagi kepada Baridin, warisan tersebut berbentuk pelet atau dengan sebutan kemat jarangoyang.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa data tersebut merupakan nilai agama, hal itu sesuai ketika Baridin memiliki kepercayaan terhadap Tuhan karena dirinya berserah diri, hal ini menegaskan bahwa Baridin adalah seorang hamba yang masih meyakini keberadaan Tuhan sehingga apa yang terjadi meski hatinya sedang sakit dan benar-benar patah ia hanya bisa menyerah- kan segala permasalahan kepada Tuhan sebab Tuhan adalah pengatur kehidupan, apa-apa yang sudah digariskan pada seseorang maka tidak akan terjadi pada orang lain dan apa-apa yang digariskan untuk orang lain maka tidak akan terjadi pada diri kita. Nilai agama selanjutnya yakni Gemblung memberi warisan berbentuk kemat yang berisi ajian-ajian disertai dengan puasa 40hari 40 malam. Hal ini menegaskan bahwa nilai agama yang dimaksud adalah dinamisme, dinamisme adalah kepercayaan pada sesuatu yang berbentuk benda-benda.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
87
pymupdf
134 Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra Pada cerita rakyat “Baridin” dijelaskan bahwa Gemblung memberikan suatu ajaran dinamisme yang diyakini dapat terkabul jika dibarengi dengan puasa 40hari 40 malam. Sebagai manusia yang menganut ajaran islam sepatutnya hanya percaya pada apa-apa yang ada dalam islam sekalipun dalam keadan mendesak atau keadaan yang begitu lemah (lemah fisik atau lemah batin) tentu harus berpegang pada ajaran islam bukan yang lain. Ajaran islam memang ada anjuran untuk berpuasa namun puasa tersebut ditujukan untuk Tuhan bukan untuk manusia, puasa 40hari 40malam dalam islam tidak ada yang ada hanya puasa wajib dan puasa sunnah. Puasa wajib di antaranya adalah puasa ramadhan dengan kewajiban berpuasa selama satu bulan penuh kemudian puasa sunnah di antaranya adalah puasa senin kamis sedang- kan puasa 40hari 40malam tidak dijelaskan dalam islam. 3.3.3 Nilai Budaya Nilai budaya merupakan nilai yang berkaitan dengan adat masyarakat sehingga tata per- aturannya tidak bisa diubah sesuka hati mak- sudnya yakni bahwa nilai budaya adalah bentuk dari kesepakatan bersama yang ada pada suatu masyarakat sebab budaya terlahir dari masyarakat itu sendiri. Budaya bisa dikatakan sebagai kebiasaan dalam suatu masyarakat oleh karenanya budaya dijadikan suatu ciri khas dari suatu daerah yang kemudian budaya tersebut dapat terus hidup disepanjang zaman. Nilaibudaya yang ada pada cerita rakyat “Baridin” yaitu Mbok Wangsih membawa suatu bingkisan ketika hendak mempersunting wanita.Hal ini dapat dilihat pada data sebagaiberikut. “....setelah berbincang kemudian Mbok Wangsih pergi ke rumah Suratminah untuk melamar dengan membawa makanan atau seserahan seadanya.” Dari data yang sudah dijabarkan dapat dilihat bahwa data tersebut merupakan nilai budaya, hal itu sesuai dengan apa yang telah Mbok Wangsih bawa ketika hendak melamar seorang gadis untuk anak lelakinya. 4. Simpulan Berdasarkan hasil deskripsi data maka dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan tuntunan kehidupan. Pada cerita rakyat “Baridin” terdapat unsur instrinsik yang menjadikan cerita tersebut lengkap seperti tema pada cerita rakyat “Baridin” yakni cinta berujung kematian, alur maju sebagai alur pada cerita tersebut kemudian terdapat empat latar tempat, dua latar suasana, tiga latar waktu dan dua latar keadaan sosial. Tokoh/penokoh- an dalam cerita tersebut yakni Baridin dengan watak keras kepala, pasrah, polos, Suratminah memiliki watak sombong, Mbok Wangsih memiliki watak penurut, Bapak Dam memiliki watak sombong kemudian Gemblung memiliki watak pemarah dan pendendam. Pada cerita rakyat “Baridin” memiliki sudut pandang orang ketiga pelaku utama kemudian amanat dari cerita tersebut yakni jangan sombong, saling menghormati serta saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Pada cerita rakyat “Baridin” terdapat empat nilai besar yakni nilai moral, nilai sosial, nilai agama dan nilai budaya.Nilai moral pada cerita rakyat “Baridin” yakni Baridin adalah anak semata wayang tetapi tidak manja dan tidak menjadikan alasan untuk bermalas- malasan. Nilai sosial pada cerita “Baridin” yakni Bapak Dam memiliki sikap ramah hanya kepada orang yang memiliki harta sepadan serta Baridin memiliki hubungan baik dengan Gemblung. Nilai agama pada cerita ini yakni religius dan animisme. Nilai budaya pada cerita ini yakni adanya adat seserahan ketika hendak melamar.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
88
pymupdf
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih/Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 ©2020, Widyasastra 135 Daftar Pustaka Andayani, A. Suryanto, E. & Maulana, N, T. (2018). Analisis Struktural Dan Nilai Pendidikan Cerita Rakyat Serta Relevansinya Seabagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia. Jurnal Gramatika, V4.I1. Danandjaja, J. (2007). Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dll. Jakarta: Grafitipers. Fitriani. (2017). Kemampuan Menganalisis Unsur Instrinsik Cerita Rakyat Toraja “Baine Ballo.” Jurnal Serunai Bahasa Indonesia, Vol.15, No 2 James P, Spradley. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara. Moleong, L, J. (2014). Bandung: Remaja Rosdakarya. Mushoffa Aziz. (2001). Untaian Mutiara Buat Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurgiyantoro, B. (2005). Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah Mada. Nurgiyantoro, B. (2010). Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: Bpfe. Rusyana, Y. (1984). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Sedyawati. (2012). Budaya Indonesia (Kajian Arkeologi, Seni, Dan Sejarah). Jakarta: Rajagrafindo Persada. Setyawan, B. W. (2015). Nakah Drama Jenggit Cembeng Karya Trisno Santoso Sebagai Alternatf Bahan Ajar Telaah Naskah Sandiwara Pada Siswa Smp. Harmonia, Vol. 167, No 73. Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidik- an Pendekatan Kualitatif Kuantitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta. Susianti, A. (2015). Nilai-Nilai Sosial Yang Terkandung Dalam Cerita Rakyat “Ence Sulaiman” Pada Masyarakat Tomia. Jurnal Humanika, Vol. 3, No 15. Widarsha, C, S. (2019). Https://www. Kompas.Tv/Amp/Article/57097/Videos/ Waspada-Kecanduan-Gadged-Seorang- Anak-Alami-Kerusakan-Motorik-Halus. (Diakses, Selasa 24 Desember 2019).
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
89
pymupdf
136 Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra REALISME MAGIS DALAM CERPEN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN” KARYA A.A. NAVIS MAGICAL REALISM IN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN” SHORT STORY BY A.A. NAVIS Fikha Nada Naililhaq Program Studi Magister Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Posel: [email protected] Abstrak Realisme magis dipahami sebagai unsur estetik yang mengandung magis bercampur dengan realitas yang ada. Kajian artikel ini berdasarkan sudut pandang bahwa karya sastra tidak lepas dari kultur masyarakat dan pengarang. Makna yang terkandung dalam karya sastra ditentukan oleh nilai budaya, adat istiadat, norma, serta ideologi pengarangnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji makna realisme magis dalam cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran karya A.A. Navis. Metode dalam artikel ini menggunakan metode deskriptif analisis untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan menemukan fakta pada data yang ada. Sementara metode studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan data untuk dianalisis. Dalam cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran karya A.A. Navis terdapat ciri-ciri realisme magis, antara lain, unsur yang tidak dapat direduksi, dunia fenomenal, penggabungan antara magis dengan realitas, keraguan yang menggoyahkan tokoh, serta rusaknya batas pemisah antara ruang, waktu, dan identitas. Dalam cerpen tersebut berlandaskan kebudayaan Islam tentang berkumpul bersama keluarga pada saat hari lebaran, namun karena zaman sudah berbeda muncul kebudayaan baru yang meninggalkan kebudayaan lama. Kata kunci: realisme magis, budaya, sosial, religi, karya sastra Abstract Magical realism is known as an aesthetic element that contains magic mixed with existing reality. The study of this article is based on the point of view that literary works cannot be separated from the culture of society and the author. The meaning contained in literary works is determined by the cultural values, customs, norms, and ideology of the author. The purpose of this research is to examine the meaning of magical realism in the short stories of “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” by A.A. Navis. The method in this article uses a descriptive analysis method to describe, analyze, and find facts on existing data. Meanwhile, the literature study method is used to collect data for analysis. In the short story of “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” by A.A. Navis there were characteristics of magical realism, among others, irreducible elements, the phenomenal world, the amalgamation of magic with reality, doubts that shake characters, and breaking the boundaries between space, time and identity. The short story was based on Islamic culture about gathering with family during Eid, but because the time goes different to a new culture that left the old culture behind. Keywords: magical realism, culture, social, religion, literary works
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
90
pymupdf
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra 137 1. Pendahuluan Cerpen digunakan pengarang untuk meng- ungkapkan realitas yang ada pada masyarakat. Walaupun demikian, pengarang tetap me- nambahkan fantasi maupun imajinasinya. AA Navis merupakan salah satu pengarang yang bergenre realis. Ia membuat karya sastra se- suai realitas yang ada pada masyarakat. Dalam artikel ini akan dibahas tentang karya AA Navis yang berjudul “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” dengan mengidentifikasi realisme magis yang terdapat dalam cerita. Realisme magis merupakan istilah yang muncul pada tahun 1925 saat Franz Roh me- nerbitkan esai tentang karya sastra yang mem- bahas tentang realisme magis (Hasanah, 2018). Hal tersebut muncul karena adanya novel karya Gabriel Grancia Marquez yang berjudul One Hundred Years of Solitude pada tahun 1967. Cerita dalam novel tersebut tentang unsur supranatural yang tidak masuk akal, namun dianggap wajar oleh sebagian masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra yang bernuansa realisme magis juga berhubungan dengan pengalaman traumatis yang tertuang dalam perjalanan penulis. Kajian realisme magis akan meng- hubungkan kesadaran peneliti terhadap pengalaman di dunia nyata yang secara tidak langsung berhubungan dengan dunia yang tidak realistis. Kejadian tersebut menandakan adanya belenggu rasionalitas dalam diri yang merupakan warisan dari budaya Barat yang menjerat ruang tradisional mistis dan imaji- natif yang khas dengan dunia Timur (Setiawan, 2018: 27). Hal inilah yang menandakan masih adanya efek dan ruang pascakolonialisme pada diri masyarakat Timur. Realisme magis bisa dikatakan sebagai kritik pascakolonial, sehingga realisme magis sering dihubungkan dengan sastra Amerika Latin (Setiawan, 2018: 28). Dengan demikian kedekatan antara realisme magis dan fiksi pascakolonialisme hampir tidak dapat dipisahkan. Realisme magis terfokus pada penumbuk- an antara magis dan realis sebagai upaya untuk mendekonstruksi logika Barat atas keintiman dunia ketiga (Setiawan, 2018: 28). Realisme magis melibatkan kontinuitas dan perubahan sejarah terutama pada peradaban dunia Barat. Hal ini membuat sastrawan ingin menggambarkan antara magis yang ber- hubungan dengan fantasi digabungkan dengan realitas atau kepercayaan yang dianut masya- rakat. Realisme magis tidak hanya digunakan untuk mengidentifikasi karya sastra, ia juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi seni, seperti seni lukis, patung dan lainnya. Tentu saja karya-karya tersebut mengandung unsur supranatural sehingga dapat dikaji dengan realisme magis. Walaupun demikian, unsur supranatural dalam realisme magis tidak mengganggu dan mengancam psikologis pembaca. Sastra realisme magis, dalam alur cerita akan menampilkan hantu, malaikat, jin, iblis, keajaiban, dan lainnya yang bersifat supra- natural. Realisme magis juga dilandasi ke- percayaan, pandangan, dan alam pikiran yang berlaku di masyarakat. Selain itu, realisme magis juga mengangkat hal-hal yang ber- sumber dari filosofi pengarang yang berupa aliran kebatinan, mistis, sufisme dan lain-lain. Tokoh-tokohnya pun tidak hanya manusia, namun ada juga setan, jin, malaikat, bayangan, maupun yang lainnya. Dalam artikel ini dipilih cerpen karya AA Navis yang berjudul “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” untuk melihat realisme magis yang berhubungan dengan dunia religi, khususnya agama islam. Dalam cerpen tersebut terindikasi adanya realisme magis yang tercermin melalui alur cerita. Selain itu, dialog antar tokoh dilakukan di dalam hati seperti sedang berbicara sendiri. Terdapat juga tokoh dalam wujud malaikat pencabut
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
91
pymupdf
138 Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra nyawa yang berhubungan dengan magis. Alasan-alasan tersebut menjadikan mengapa dipilihnya cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” sebagai kajian realisme magis. Menurut Wendy B. Faris dalam bukunya yang berjudul Ordinary Enchantments: Megical Realism and the Remystification of Narrative, menuliskan tentang unsur-unsur yang ter- dapat dalam realisme magis yang perlu diketahui. Terdapat lima unsur yang dipapar- kan Faris dalam bukunya tersebut, antara lain (a) unsur-unsur yang tidak dapat direduksi (the irreducible element); (b) dunia fenomenal (phenomenal worlds); (c) penggabungan alam (merging realism); (d) keragu-raguan yang tidak menentu (unsettling doubts); dan (e) gangguan waktu, ruang, dan identitas (discrup- tions of time, space, and identity). Unsur pertama yaitu elemen yang tidak dapat direduksi artinya elemen tidak dapat dijelaskan dengan hukum alam dan pikiran rasional. Dalam hal ini menunjukan perban- dingan antar dua dunia yang berbeda, yakni dunia nyata dan imajinatif. Sebagaimana yang telah diformulasikan oleh wacana barat yang berdasarkan pada logika rasional, atau penge- tahuan yang selama ini terdapat dalam penge- tahuan kita. Pembaca akan disulitkan dengan peristiwa dan karakter fiksi realisme magis tersebut. Contoh elemen tidak dapat direduksi yaitu benda magis, suara magis, suasana magis, tokoh magis, dan peistiwa magis yang digambarkan secara nyata dalam cerita. Unsur kedua yaitu dunia fenomenal yang berhubungan dengan deskripsi secara panjang lebar untuk menceritakan dan memberikan gambaran tentang kehadiran dunia feno- menal. Realisme magis terletak diantara batas- batas dunia realitas dan magis sehingga akan menimbulkan kemungkinan tanpa memper- hatikan realitas akal sehat. Objek dunia feno- menal berupa bunyi, benda, tokoh, atau tempat yang ditemukan dalam novel dengan realitas yang ada. Dunia fenomenal dibagi kedalam dua kategori yakni, fenomena ber- dasarkan teks dan fenomena berdasarkan latar belakang sejarah. Kedua kategori tidak me- miliki hubungan hierarkis, melainkan dalam sebuah jaringan yang saling melengkapi. Unsur ketiga yaitu keraguan yang me- resahkan, hal tersebut terjadi karena tercam- purnya dua dunia yang berbeda yaitu dunia nyata dan magis yang melebur sehingga akan menimbulkan keraguan dalam diri pembaca. Keraguan muncul akibat terbenturnya antara rasional dengan irasional, yang logis dan tidak logis yang terdapat dalam kultur narasi cerita dengan kultur pembaca. Hal ini mengakibatkan pengalaman empiris dapat mengasingkan atau membimbing para pembaca. Unsur keempat yakni menggabungkan realitas. Hal ini me- ngacu pada dunia riil (nyata) dan magis. Dunia nyata mengacu pada modernitas, sementara magis mengacu pada tradisional. Pada unsur keempat dunia magis bocor dan memasuki dunia nyata, bercampur dan melebur sehingga terlihat magis menjadi nyata. Dengan kata lain, antara magis dan nyata tercampur sehingga menjadikan sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Unsur kelima yaitu gangguan waktu, ruang, dan identitas. Terdapat penggabungan antara waktu, ruang, dan identitas berakiat rusaknya pandangan atau logika terkait tiga konsep tersebut. Waktu, ruang, dan identitas dimaknai koridor modernisme yang ter- ganggu bahkan rusak dengan hadirnya elemen magis. Konsep-konsep yang ditabrakan begitu saja menjadikan tidak adanya kestabilan, semuanya bersifat tidak homogen karena setiap kontruksi dapat berupa dekonstruksi serta bersifat heterogen. Kelima unsur ter- sebut membangun relasi antara yag magis dan nyata melalui pecahnya masing-masing batasan. Hal ini menunjukan tidak ada batasan di setiap dunia, bahkan tidak kontinuitas serta
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
92
pymupdf
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra 139 perubahan historis terbentuk dari wacana dan teks yang isinya penuh dengan makna yang tidak stabil. Penelitian mengenai realisme magis sudah banyak dilakukan. Seperti yang telah dilakukan oleh Indarwaty (2015) dan Widijanto (2018). Indarwaty meneliti pada tahun 2018 dengan judul “Perbandingan Extraordinary Element dalam Narasi Fantasi, Fiksi Ilmiah dan Realisme Magis”. Penelitian tersebut mem- bahas tentang karakteristik narasi fantasi, fiksi ilmiah, dan realisme magis untuk melihat ke- beradaan extraordinary element serta fungsi- nya dalam pembentukan plot. Extraordinary element dalam fantasi merupakan rekaan yang menciptakan dunia dan aturan sendiri yang memakai logika sendiri yang berbeda dengan dunia non-fiksi. Extraordinary element dalam fiksi ilmiah merupakan rekaan yang harus berbasis aturan logika ilmu pengetahuan dalam dunia non-fiksi. Extraordinary element dalam realisme magis berbasis mitos budaya yang diperlakukan sebagai hal biasa dan bukan dirayakan sebagai pusat tontonan. Widijanto pada tahun 2018 melakukan penelitian dengan judul “Dunia Halus Mistis Jawa dan Fantasi Magis Ternate dalam Godlob dan Cala Ibi”. Artikel penelitian tersebut mengkaji kumpulan cerpen “Godlob” karya Danarto dan “Cala Ibi” karya Nukila Amal dari sudut pandang realisme magis. Cerpen “Godlob” karya Danarto mengandung lima unsur realisme magis, yakni unsur yang tidak dapat direduksi, dunia fenomenal, peng- gabungan antara magis dengan realitas, ke- raguan yang menggoyahkan tokoh, serta rusaknya batas pemisah antara ruang, waktu, dan identitas. Cerpen “Godlob” karya Danarto realisme magis berdasarkan mistisme Jawa berupa konsep-konsep sangkan paraning dumadi, mulih-mulih malanira, dan manung- galing kawula-gusti. Sementara cerpen Cala Ibi karya Nukila Amal realisme magis berdasar- kan mitos-mitos historis Ternate dan sufisme islam dengan konsep wahdatul wujud. Melalui penelusuran tersebut bahwa kedua penelitian di atas memiliki persing- gungan dengan penelitian ini, khususnya pada penggunaan objek formal, yakni realisme magis dalam karya sastra. Meskipun demikian, objek material yang digunakan berbeda, se- hingga akan memunculkan temuan yang berbeda. Rumusan masalah adalah (1) Bagai- mana struktur realisme magis ditampilkan dalam cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” karya AA Navis (2) makna realisme magis dalam cerpen tersebut. Tujuan pene- litian adalah menunjukkan berbagai ungkapan yang bersifat realisme magis yang terdapat dalam cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” karya AA Navis serta menjelaskan makna-makna yang ditunjukkan melalui berbagai ekspresi realisme magis tersebut. 2. Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu metode studi pustaka, metode tersebut dilakukan dengan cara menemukan segala sumber data yang terkait dengan objek pene- litian (Faruk, 2012: 56). Sementara metode analisis data yang digunakan yaitu metode deskriptif analisis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang termasuk data penelitian kemudian dianalisis untuk memberikan penjelasan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data, antara lain: (a) membaca cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran karya A.A. Navis (b) menandai dan mencatat data, (c) mereduksi data, (d) menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
93
pymupdf
140 Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Struktruk Cerita Cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” Alur cerita dalam cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” tidak beralur kronologis, tetapi alur campuran. Banyak peristiwa yang diceritakan secara tidak langsung, sehingga membuat pembaca harus menafsirkan sendiri apa maksud tulisan pengarang atau yang biasa disebut dengan momen kosong. Pembaca berhak menafsirkan sesuai apa yang diingin- kannya walaupun tetap harus sesuai konteks cerita. Oleh sebab itu, pembaca harus benar- benar memahami alur dalam cerpen agar tidak terjadi salah tafsir. Terkait latar, cerita tersebut berlatar tempat di sebuah rumah kayu tua dengan suasana sepi. Sudut pandang yang digunakan yaitu sudut pandang orang ketiga pelaku utama, dengan beberapa nama yang diceritakan melalui tokoh tersebut. Tema besar yang diambil dari cerpen ini yaitu tentang suasana sepi ketika lebaran, tempat seorang kakek dan nenek tinggal bersama pembantu dan tidak ada seoarang anak me- reka yang berkunjung di hari lebaran. Peng- gambaran peristiwa hanya melalui pemikiran tokoh, sehingga tidak terjadi dialog antar- tokoh. Kedua tokoh utama Inyik dan Encik sama-sama sedang berkelana dalam pikiran masing-masing, meskipun pemikiran mereka sama mengenai anak-anak mereka namun tidak terjadi dialog dari kedua belah pihak. Hal inilah yang perlu diidentifikasi pembaca, yakni batas antara khayalan dan kenyataan atau riil. Hal-hal yang berhubungan dengan realis- me magis yang terdapat dalam cerpen digam- barkan melalui tokoh dan peristiwa yang ada. Tokoh yang mengandung unsur magis adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai malaikat maut, ia datang ketika hari lebaran. Sementara peristiwa magis, yaitu peristiwa lebaran ketika seorang kakek dan nenek menginginkan anak dan cucunya berkumpul, namun tidak ada seorangpun yang datang berkunjung ke rumahnya. Realisme magis juga memiliki hubungan dengan Barat dan Timur. Realisme digambarkan sebagai orang barat yang percaya terhadap realitas dan modernitas. Sedangkan magis digambarkan sebagai orang timur yang masih percaya terhadap hal-hal gaib yang tidak masuk akal, namun dapat dirasionalkan. Magis atau timur dikenal sebagai hal yang tradisional. Selain berhu- bungan dengan hal-hal yang bersifat tradi- sional, Timur juga dianggap sebagai orang yang alim atau penganut ajaran agama. 3.2 Strategi Naratif Realisme Magis dalam Cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran Cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran adalah cerpen yang berlatar disebuah kota kecil yang sudah modern. Dalam kemodernan tersebut ada salah satu rumah yang dihuni oleh sepasang suami istri yang biasa dipanggil Inyik dan Encik. Keduanya meupakan seorang kakek dan nenek yang tinggal hanya bersama pembantu saja. Anak-anaknya sudah sukses di perantauan masing-masing, sampai mereka lupa akan orang tuanya di hari lebaran. Dalam alur peristiwa cerpen terdapat unsur realisme magis, yang terdapat pada pada tokoh tamu yang tak dikenal dengan gambaran peristiwa yang terdapat dalam cerpen tersebut. Oleh sebab itu, akan diulas tentang lima unsur ralisme magis yang terdapat dalam cerita. Unsur yang pertama adalah unsur-unsur yang tidak dapat direduksi. Dalam hal ini terdapat perbandingan antara dua dunia, dunia nyata dan dunia imajinatif. Dua pers- pektif dunia tidak lepas dari pengaruh kolo- nialisme Barat. Dunia nyata atau riil dikatakan sebagai dunia Barat, yakni dunia yang penuh dengan modernitas dan rasional. Sementara dunia imajinatif merupakan budaya orang
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
94
pymupdf
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra 141 Timur, yang dianggap bertentangan dengan logika orang Barat. Dalam hal ini orang Timur dipaksa untuk meyakini bahwa dunia yang telah ditata oleh orang Barat adalah benar. Hal tersebut tergambar dalam cerpen sesuai dengan data berikut. Rumah kedua orang tua itu bangunan kayu model lama yang berkolong tinggi. Bercat oker yang telah pudar warna- nya. Kelihatan ganjil di antara sederetan bangunan bergaya terkini. Mungkin karena sudah terlalu biasa dalam pandangan penduduk kota kecil itu (Navis, 2001). Kutipan di atas menggambarkan tentang adanya orientalisme tentang pemikiran Barat dan Timur. Di sebuah desa kecil terdapat rumah model lama yang mempunyai kolong tinggi atau biasa disebut sebagai rumah pang- gung. Rumah panggung merupakan rumah adat tradisional asli nusantara. Rumah tradi- sional tersebut dihuni oleh dua orang tua yang mewakili orang Timur dalam kehidupan- nya. Dengan ditambah deskripsi bahwa rumah tersebut sudah pudar warnanya. Artinya orang Timur sudah tidak mempedulikan penampilan, mereka hanya mengutamkan tradisi atau adat yang turun-temurun dijaga kelestariannya, seperti layaknya rumah kuno tersebut. Rumah tradisional yang digunakan untuk tempat tinggal dua orang tua tersebut dikelilingi dengan rumah-rumah modern. Rumah modern merupakan salah satu warisan kolonial yang dianggap benar oleh masyarakat. Alhasil, beberapa masyarakat membangun rumah gaya modern dengan meninggalkan rumah-rumah kuno atau rumah adat tradi- sional. Namun beberapa masyarkat yang terpengaruh terhadap modernisasi Barat telah menganggap biasa rumah tradisional milik sepasang kakek dan nenek tua yang menem- patinya. Dalam konteks cerita ini Barat disebut sebagai sang realis atau selalu berpikir nyata dan realistis, sementara Timur dianggap sebagai magis yang selalu setia dengan ke- tradisionalan yang ada. Rumah kuno tersebut dihuni oleh Inyik dan Encik yang dulunya merupakan seorang pejuang yang pernah menjadi gubernur. Mereka hanya hidup berdua ditemani seorang pembantu. Mereka mempunyai banyak anak yang sudah sukses di perantauan, seperti pada kutipan berikut. Setiap orang tahu siapa penghuninya, yaitu Inyik Datuk Biji Rajo dan Encik Jurai Ameh. Lazimnya orang menye- butnya Inyik dan Encik. Inyik dulunya seorang pejuang dan pernah jadi gubernur. Menurut istilah lama yang kini tidak dipakai lagi, mereka “di- karuniai” enam orang anak. Semua telah jadi orang terpandang di rantau (Navis, 2001). Kutipan di atas menjelaskan tentang Inyik dan Encik yang dikaruniai enam orang anak yang telah sukses. Kata dikaruniai dalam kutipan di atas mempunyai penekanan ter- sendiri. Terbukti dengan adanya tanda kutip dua yang menandai kata tersebut. Dikaruniai merupakan kata yang identik dengan orang Timur. Berasal dari kata karunia yang berarti anugrah atau pemberian Tuhan yang istimewa. Dalam hal ini terdapat adanya kepercayaan kepada Allah atas pemberiannya. Orang Timur percaya bahwa Tuhan Maha baik yang selalu memberikan anugrah kepada hambanya. Inilah salah satu kepercayaan atau keyakinan orang Timur. Sementara orang Barat selalu berpikir rasional, tidak mempedulikan ke- yakinan. Barat selalu merasa bahwa keber- untungan yang didapatnya merupakan hasil dari keja keras yang dilakukan, bukan semata- mata pemberian dari Tuhan. Hal ini menjadi- kan mereka tidak percaya terhadap hal-hal
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
95
pymupdf
142 Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra yang berbau religi, karena religi identitik dengan dunia Timur yang dianggap magis. Unsur kedua adalah dunia fenomenal. Dunia fenomenal yang dimaksudkan adalah sebuah dunia realisme yang menetapkan batas untuk mengisolasi sisi realitasnya dari bidang fiksi. Dunia fenomenal yang terjadi dalam cerpen ini yaitu sesuai dengan judulnya, hari lebaran. Pada saat hari lebaran lazimnya semua keluarga besar berkumpul. Mengun- jungi sanak saudara untuk saling meminta maaf. Fenomena yang terjadi di dalam cerpen dikisahkan bahwa semua anak Encik dan Inyik tidak ada yang mengunjungi mereka, seperti pada kutipan berikut. Kata Encik, “Pada setiap lebaran begini aku mau semua cucu-cucuku berkum- pul. Aku rindu mereka antri, bertekuk lutut sambil mencium tanganku waktu bersalaman. Seperti anak-cucu presiden di televisi. Terharu aku melihatnya. Berdiri seluruh bulu romaku. Namun, mataku sebak oleh air mata bila ingat aku tidak pernah memperoleh ke- bahagiaan seperti itu. Padahal, sebetul- nya anak-anakku mampu pulang ber- sama (Navis, 2001). Kutipan di atas menjelaskan kesedihan Encik karena tidak dapat berkumpul bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Sampai ia berpikir dan berbicara seorang diri tentang kesunyian hari Lebarannya. Ia menginginkan semua keluarganya datang, lebih khusus anak dan cucunya. Sampai ia membayangkan ingin menjadi seorang presiden yang apabila lebaran semua anak dan cucunya berkumpul untuk antri bertekuk lutut, mencium tangan, dan saling meminta maaf. Semuanya hanya dapat ia bayangkan tanpa bisa dirasakannya. Seolah semua anaknya sudah sukses dan lupa akan ayah ibunya yang merindukan ke- hadiran mereka. Sebetulnya mereka mampu untuk pulang ke rumah namun tidak ada keinginan yang terdapat dalam diri mereka. Padahal Inyik dan Encik dulunya telah meng- ajarkan kepada mereka tentang ilmu agama, seperti yang digambarkan pada kutipan berikut. Rasanya aku tidak salah didik. Aku datangkan guru agama tiga kali se- minggu agar mereka menjadi penganut yang tawakal. Tapi mengapa setelah makmur mereka hidup nafsi-nafsian? Setiap lebaran datang luka hatiku kian dalam. Dulu, waktu ayahnya jadi gubernur, setiap lebaran mereka bisa berkumpul. Kata mereka, akan apa kata orang nanti bila mereka tidak datang waktu lebaran (Navis, 2001). Inyik dan Encik mendatangkan guru agama tiga kali seminggu untuk anak-anaknya. Tujuannya agar mereka tahu tentang agama dan dapat digunakan kelak ketika dewasa. Namun kenyataanya mereka tidak meng- hiraukannya. Mereka tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan tidak meng- anggap bahwa idul fitri merupakan momen yang sakral untuk saling maaf memaafkan serta yang lebih penting yaitu kebersamaan berkumpul dengan sanak saudara. Fenomena seperti ini tergolong ke dalam fenomena berdasarkan teks yang dibumbui sejarah dan kebudayaan. Anak-anak Encik dan Inyik sudah terpengaruh efek kolonialisme Barat sehingga tidak mempedulikan tentang kebudayaan yang menurut meraka tidak efektif. Mereka ber- pikir bahwa permintaan maaf dapat dilakukan dengan cara mengirim surat saja, tidak perlu datang secara langsung karena akan menyita waktu yang lama. Fenomena magis yang kental pada saat Idul Fitri, dalam cerpen dianggap fenomena yang biasa saja. Beberapa masyarakat sudah tidak menganggap sakral hal tersebut. Tidak
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
96
pymupdf
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra 143 jarang bahwa masyarakat sudah tidak peduli terhadap budaya tersebut. Fenomena yang menonjol bahkan fenomena tentang ketidak- pedulian masyarakat khususnya anak-anak Inyik dan Encik terhadap momen Idul Fitri itu sendiri. Sejarahnya dulu Idul Fitri sangat dinanti-nantikan oleh semua kalangan serta menjadi momen kebersamaan untuk berkum- pul bersama keluarga. Tapi saat ini semua sudah berubah, seperti pada kutipan berikut. Idul Fitri hari yang istimewa. Karena pada hari itu setiap orang tanpa pan- dang usia dan status saling bertemu dan saling memaafkan. Tak ada rasa rendah diri. Tapi kini, setelah Idul Fitri jadi kebudayaan baru, bawahan dan orang miskin yang wajib datang ke penguasa untuk minta maaf. Penguasa akan merasa tidak pantas meminta maaf kepada rakyat. Meski kementerengan hidup yang mereka dapat, karena banyak rakyat yang diterlantarkan. Tak tersentuh hati mereka (Navis, 2001). Perubahan drastis mengenai makna Iduk Fitri pun menonjol dikalangan penguasa. Pe- nguasan tidak merasa punya salah dan tidak berhak meminta maaf pada rakyat maupun bawahannya. Namun di posisi rakyat dan bawahan berkebalikan, mereka wajib me- minta maaf kepada penguasa dengan cara datang mengunjungi rumah sang penguasa. Penguasa akan menerima permintaan maaf mereka, namun ia tidak merasa pantas untuk meminta maaf kepada rakyat maupun bawah- annya. Meskipun banyak rakyat yang terlantar, jarang sekali para penguasa tersentuh hatinya untuk membantu rakyat. Paling hanya satu kali zakat yang mereka bagikan kepada rakyat meski kementerengan hidupnya begitu terlihat. Begitu pula dengan bawahan, mereka merasa atasan atau penguasa adalah segalaya bagi kelangsungan karirnya. Bahkan mereka lebih mementingkan berlebaran ke tempat penguasan dari pada ke rumah orang tuanya sendiri, seperti pada kutipan berikut. “Sabir juga tidak pulang. Katanya, dia harus berlebaran ke rumah menteri- nya yang baru. Menteri bisa salah sangka kalau dia tidak datang (Navis, 2001). Salah satu anak Encik dan Inyik yang bernama Sabir merupakan gambaran se- orang anak yang lebih mementingkan karir dan jabatannya dibandingkan dengan keluarga atau orang tauanya sendiri. Sabir lebih memilih berlebaran ke tempat menteri baru- nya daripada ke rumah orang tuanya yang telah melahirkan dan merawatnya dari ia tidak bisa apa-apa. Fenomene-fenomena seperti inilah yang muncul dan melahirkan budaya baru yang tidak tepat. Kolonialisme membuat pemikiran masyarakat lebih modern dan ambisi untuk mendapatkan apa yang diingin- kannya. Unsur ketiga yaitu keraguan yang me- resahkan. Keraguan dalam konteks ini adalah keraguan yang dialami oleh pembaca. Pembaca merasa ragu terhadap apa yang telah terjadi dalam cerita tersebut. Keraguan ini muncul karena pembaca sudah membunyai dua sisi pengetahuan yang bertolak belakang. Pem- baca sudah tahu tentang modernisme serta religiuisitas yang ada pada pengetahuannya. Penggabungan antara modern dan religius termasuk penggabungan yang ekstrim. Hal ini dikarenakan modern bersumber dari kolonial atau Barat sementara religius bersumber dari Timur. Adanya penggabungan keduanya mengakibatkan salah tafsir seperti yang di- lakukan oleh Mael, seperti pada kutipan berikut. Si Mael yang paling kaya dari semua- nya. Lain perilaku hidupnya setiap akhir tahun ia berlibur membawa anak
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
97
pymupdf
144 Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra dan istrinya. Ke Amerika atau Eropa atau ke Jepang. Tutup tahun ini ke- betulan sama dengan lebaran. Tapi dia tidak pulang. Dia ke Mekkah karena sudah bosan ke kota-kota lainnya. Be- gitu janjinya kepada anak-anak. Sambil libur, sambil mencari Ridha-Nya’, tulis- nya dalam surat. Sepertinya menemui ibu-bapak tidak merupakan ridha-Nya. Aneh pahamnya beragama (Navis, 2001). Mael merupakan salah satu anak dari Encik dan Inyik yang paling sukses diantara yang lainnya. Ia menganut ideologi modern- isme dan hedonisme. Terbukti dari per- lakuannya kepada istri dan anaknya. Mereka sering berlibur ke luar negeri. Termasuk pada saat Hari Raya Idul Fitri tahun ini, mereka lebih memilih pergi ke luar negeri dibanding dengan berkumpul bersama Ayah dan Ibu mereka yang tinggal di sebuah kota kecil serta hanya ditemani seorang pembantu. Mail sempat berkirim surat kepada orang tuanya perihal tidak dapat menemui mereka ketika Hari Raya. Ia menyampaikan bahwa ingin pergi ke Mekkah untuk berlebaran di sana sembari liburan bersama istri dan anaknya. Tujuannya agar lebih dekat dengan Sang Pencipta dan ingin mencari Ridha-Nya. Ironi sekali karena Ridha Allah adalah Rindha orang tua. Mael telah salah persepsi tentang makna rindha yang sesungguhnya. Hal inilah yang menjadi petanyaan keragu-raguan bagi pembaca, apakah makna ridha yang sesung- guhnya. Ada pepatah bahwa Ridha Allah adalah Ridha Orang tua, dalam hal ini orang tua Mael belum tentu meridhai ia untuk ber- lebaran di Mekkah, padahal tujuan Mael ke Mekkah adalah mencari Ridha-Nya. Tentu saja akan muncul dibenak pembaca tentang akan- kah Mael mendapat Ridha-Nya dengan men- datangi Mekkah yang belum tentu diridhai orang tuanya karena Inyik dan Encik meng- harapkan anak-anak dan cucu-cucunya ber- kumpul pada hari Raya Idul Fitri. Unsur keempat yakni menggabungkan realita. Dalam hal ini adanya penggabungan antara dunia nyata dengan dunia khayalan atau ghaib. Dunia khayalan merujuk pada dunia yang diidamkan atau diinginkan oleh Encik dan Inyik. Mereka duduk berdampingan namun pikiran dan hati mereka melayang sendiri- sendiri sesuai dengan khayalan yang mereka inginkan. Hal ini sesuai dengan kutipan sebagai berikut. Encik berkulit hitam dan bertubuh gemuk. Hampir tidak begerak seleluasa maunya. Dan Inyik berkulit cerah, tapi tubuhnya ceking. Keduanya sama mengenakan baju yang terindah, meski modelnya sudah kuno. Sambil ber- goyang dikursinya sejak tadi, Encik bicara sendiri tak henti-hentinya. Mengatakan apa yang lewat dikepala- nya; sedangkan Inyik berbuat yang sama. dalam hatinya pula (Navis, 2001). Berdasarkan kutipan di atas, Encik dan Inyik menikmati Hari Raya Idul Fitri dengan duduk dikursi goyang masing-masing, dengan kebisuan. Mereka sama-sama sedang menik- mati khayalan masing-masing yang berputar- putar dibenak dan pikirannya. Dalam hal ini terdapat realita yang digabungkan antara realita Inyik dan Encik yang sedang duduk di kursi goyang dengan realita yang ada dipikir- an Encik dan Inyik saat itu. Dunia realita yang sesungguhnya berbeda dengan realita dalam khayalan. Di antara keduanya terdapat batas- batas pemisah yang terkesan tidak nampak terlihat. Unsur kelima yakni gangguan waktu, ruang, dan identitas. Pada unsur kelima ini antara waktu, ruang, dan identitas tidak ada batas-batas pemisah yang jelas. Alhasil semua
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
98
pymupdf
Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra 145 itu terkesan bercampur menjadi satu kesatu- an. Ketiga gangguan tersebut muncul karena adanya hubungan dengan wacana orientalis. Dalam konteks ini terjadi perlawanan yang dilakukan melalui konteks pascakolonial. Pada kutipan berikut ini menggambarkan ganggu- an antara ruang, waktu, dan identitas. Goyangan kursi Encik kian lama kian pelan. Lama-lama berhenti sendiri. menjelang berhenti, dalam penglihatan- nya beberapa mobil sedan mengkilat catnya karena baru, memasuki halaman. Setiap pintu terbuka. Dari setiap pintu keluar orang yang dikenalnya. Anak, menantu, dan cucunya. Satu demi satu secara khidmat mereka berlutut ketika menyalami, mencium tangannya, dan kemudian memeluk untuk mendekapi pipinya. “Tuhan telah mengabulkan doaku. Semua anak-anakku pulang berlebaran. Oh, alangkah indah Hari Raya kali ini. Terima kasih Tuhan, te- rima kasih. Terima kasih juga seandai- nya ini hanya mimpi. Mimpi terakhirku (Navis, 2001). Ketika Encik masih dalam kursi goyang- nya yang semakin pelan, tiba-tiba ia merasa ada anak-anak dan cucu-cucunya datang ke rumah untuk berlebaran. Semuanya berjalan seperti nyata. Satu demi satu mereka ber- salaman, mencium tangan, dan saling meminta maaf satu sama lain. Encik merasa bahagia bukan main karena kedatangan mereka. Namun dalam hal ini, Encik pun tidak bisa mendeteksi apakah ini adalah nyata atau hanya khayalannya saja. Encik benar-benar merasa bahagia, ia berharap jika itu hanya mimpi, mimpi itulah mimpi terakhirnya. Dalam hal ini terjadi gangguan ruang dan waktu. Keduanya melebur menjadi satu sampai Encin tidak tahu kebenarannya. Begitupula yang dirasakan pembaca. Pembaca harus mengidentifikasi gangguan ruang dan waktu yang ditulis pengarang. Tidak ada yang stabil dan kokoh, semuanya bersifat heterogen bercampur dan membarur men- jadi satu. Ada indikasi bahwa semakin lambat goyangan kursi Encik maksudnya adalah semakin lambat pula gerakan nafasnya. Sementara kerusakan identitas juga tercermin pada kutipan di bawah ini. Tidak diduganya seseorang masuk ke kamar tidurnya. Lalu duduk di kalang halunya. Inyik tidak bereaksi, selain heran oleh kedatangan tamu tak dikenal itu. Tamu yang berani-berani saja duduk di bangku tidurnya. Dan bicara tanpa basa-basi. “Sebetulnya aku tidak akan ke sini. Tapi aku mendengar apa yang kau katakan. Ternyata kau sama saja dengan golonganmu. Tambah tua kian sombong.” (Navis, 2001). Ketika Inyik sedang berada di dalam kamar tidurnya, tiba-tiba datanglah seorang yang tidak dikenalnya. Tanpa basa-basi tamu tersebut berkata hal diluar dugaan Inyik. Si tamu tanpa identitas mengetahui apa yang telah dikatakan Inyik dalam hatinya, bahwa ia ingin menjadi pemimpin seumur hidupnya. Ia juga merasa bahwa bawahannya tidak ada yang dapat memimpin seperti dirinya. Tamu tersebut menasehati dan menyangkal semua yang dipikirkan oleh Inyik. Identitas tamu yang tak dikenal namun mengetahui apa yang ada dipikiran Inyik membuatnya curiga siapa tamu itu sebenarnya. Sampai akhirnya Inyik ber- tanya apa tujuan tamu tersebut datang, seperti kutipan berikut. Inyik merasa tamu itu menguliahinya. Harga dirinya tesinggung. Maunya dia marah. Tapi ada rasa tak berdaya pada dirinya. Di- alihkannya pembicaraan, “Engkau ke sini ber- lebaran bukan?” “Ada sedikit urusan dengan istrimu.” “Bagaimana dia?”
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
99
pymupdf
146 Fikha Nada Naililhaq/Widyasastra, 3(2), 2020, 136—146 ©2020, Widyasastra “Kursinya tidak bergoyang lagi.” (Navis, 2001). Setelah tamu ditanya tujuannya datang apakah ingin berlebaran, tamu tersebut menjawab tidak. Ia hanya ada urusan dengan Encik istri dari Inyik. Tamu tersebut berkata bahwa kursi goyang Encik sekarang sudah tidak bergoyang lagi. Dari situlah identitas tamu tersebut terbongkar, bahwa ia merupakan sang maut atau malaikat maut yang telah datang mencabut nyawa Encik. Dari sinilah terlihat adanya hal magis yang tidak masuk akal yaitu ketika malaikat maut berbincang dan menasihati Inyik. Dengan identitas yang awalya ia tutup-tutupi, namun akhirnya terbongkar bahwa ia adalah sang maut. 4. Simpulan Cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” karya AA Navis mempunyai berbagai ekspresi yang dapat digolongkan dalam realisme magis, berupa paparan narasi dan dialog. Unsur realisme magis ditandai melalui peristiwa- peristiwa yang terjadi pada alur cerita dalam novel serta pada tokoh malaikat yang me- nandakan adanya unsur magis. Cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” tersebut mem- bahas tentang budaya mengunjungi orang tua pada waktu Idul Fitri untuk meminta maaf dan saling memaafkan antar anggota keluarga serta berbagai ekspresi yang merupakan bentuk religiusitas. Budaya berkumpul ber- sama keluarga pada waktu Idul Fitri sudah mulai luntur di keluarga Encik dan Inyik merupakan sebuah realitas di zaman yang sedang berlangsung. Sedangkan unsur magis muncul dalam berbagai angan Encik dan Inyik dan kehadiran malaikat maut di keluarga Encik dan Inyik. Daftar Pustaka Faris, Wendy B. 2004. Ordinary Enchantments: Magical Realism and Remystification of Narrative. Nashville: Vanderbilt University Press. Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasanah, Ferli, dkk. 2018. Makna Realisme Magis dalam Novel Jours De Colere dan ‘Enfant Meduse Karya Sylvie Germain. Jurnal Litera. Indarwaty, Henny & Budi, Sri Utami. 2015. Perbandingan Extraordinary Element dalam Narasi Fantasi, Fiksi Ilmiah dan Realisme Magis. Jurnal Jentera. Navis, A.A. 2001. Kumpulan Cerita Pendek Kabut Negeri Si Dadali. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Setiawan, R. 2018. Pascakolonialisme Wacana, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Gombang Buku Budaya. Widijanto, Tjahjono. 2018. Dunia Halus Mistis Jawa dan Fantasi Magis Ternate dalam Godlob dan Cala Ibi. Jurna Kajian Sastra (Jentera).
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
100
pymupdf
PEDOMAN PENULIS (AUTHOR GUIDELINES) 1. Artikel belum pernah dipublikasikan oleh media lain, tidak sedang dalam proses penerbitan di media lain, dan tidak mengandung unsur plagiat. (Article has never been published by other media(s) and not in the process of being published in other media(s) or journal(s); it is also must not conceiving plagiarism.); 2. Penulis tidak diperkenankan mengirim artikel yang sama ke media lain selama dalam proses, kecuali penulis telah mencabut artikel tersebut sebelumnya dan mendapat persetujuan tertulis dari editor. (Author is not allowed to send the same article to other media(s) during the process, except the author had withdrawn the article and get letter of allowance from the editor); 3. Artikel berupa hasil penelitian (lapangan, kepustakaan). (The article is written in the form of research (field or library study)); 4. Naskah diketik menggunakan Microsoft Words (.doc/.docx) dengan format huruf: cambria, font advanced scale 100, spacing condensed 0,3 pt, position normal pada kertas ukuran A4 dengan ruang sisi 3 cm dari tepi kiri, 3 cm dari tepi kanan, 2,5 cm dari tepi atas dan 3 cm dari tepi bawah, spasi 1, diunggah (upload) melalui laman (website): www.widyasastra.com. (The document is typed using Microsoft Words (doc/docx) using format: cambria, font advanced scale 100, spacing condensed 0,3 pt, and normal position in A4 paper with space of 3cm left, 3 cm right, 2,5 cm top, and 3 cm bottom, single space, uploaded to the website); 5. Jumlah halaman 12—16 halaman termasuk daftar pustaka dan tabel. (Total pages are 12- 16 including references and table(s)); 6. Bagian-bagian naskah selanjutnya ditulis dalam format dua kolom. Tubuh teks setelah abstrak diformat dalam dua kolom dengan ketentuan lebar tiap-tiap kolom 7 cm dan jarak antarkolom 1 cm. Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam format satu kolom. (Title, abstract, and key words is written in one column, while the other are written in two columns. The abstract’s body text is formatted in two columns with width stipulation of 7 cm in each column and the distance for each column is 1 cm.); 7. Judul, abstrak, dan kata-kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (Title, abstract, and key words are written in Indonesian and English); 8. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jika artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, judul pertama menggunakan bahasa Indonesia dan di bawahnya judul dalam bahasa Inggris, demikian pula sebaliknya (Article is written in Indonesian and English. If the article is written in Indonesian, the first title should be written in Indonesian, and the second title should be written in English, and vice versa); 9. Abstrak bahasa Indonesia ditempatkan di atas abstrak bahasa Inggris, baik artikel berbahasa Indonesia maupun Inggris. (Indonesia abstrack must be placed above Engslish abstrackt);
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
101
pymupdf
10. Penulisan daftar pustaka menggunakan gaya APA. Penulis dapat mengunjungi http:// www.apastyle.org untuk melihat contoh. (Referencing style is APA, author can visit (http:/ /www.apastyle.org) for seeing examples of the reference style); 11. Artikel yang tidak sesuai dengan ketentuan format penulisan akan dikembalikan kepada penulis untuk diperbaiki (Article not obeying the writing rules proposed by Widyasastra will be rejected and the author must follow the writing rules if he wants to resubmit the article); 12. Hanya artikel yang telah sesuai formatnya yang akan diproses review oleh mitra bebestari (Article will be handed to the editor(s), to be further reviewed, when it is suitable with the writing rules); 13. Penulis bersedia melakukan revisi artikel jika diperlukan dan mematuhi ketentuan batas waktu yang diberikan oleh redaksi (The author must revise the article, if it is needed, and obey the deadline given by the editor); 14. Isi artikel bukan tanggung jawab redaksi, redaksi berhak menyunting artikel tanpa mengubah substansi (Editor has a privilege to edit the article, concerning its language, without changing the essence of the study); 15. Penulis yang naskahnya dimuat dan menginginkan hasil cetak, akan menerima dua cetak nomor bukti pemuatan, tetapi hanya untuk penulis pertama (Author demanding for printed article will get two copies, but only for the first writer (if there are more than one writer)); 16. Sistematik artikel disusun dengan urutan sebagai berikut (Article systematic is arranged in the order below): a. Judul (Title) a.1. Judul bahasa Indonesia/Inggris: komprehensif, jelas dan singkat. Judul dibatasi tidak lebih dari 20 kata termasuk spasi. Judul artikel, judul bagian, dan subbagian dicetak tebal (Indonesian or English title: comprehensive, precise, and short, the title is limited no more than 20 words including space. Article’s title, chapter’s title, and subchapter’s title are written in bold); a.2. Judul bahasa Inggris/Indonesia: menyesuaikan dengan judul pertama, jika judul pertama dalam bahasa Indonesia, judul kedua dalam bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya sesuai dengan teks (depends on the first title, if the first title is in Indonesian, the second title is in English); b. Nama dan alamat penulis: nama ditulis lengkap tanpa gelar dan jabatan di bawah judul tanpa menggunakan kata oleh. Di bawah nama penulis dicantumkan alamat lengkap institusi yang dapat dihubungi, nomor telepon, dan alamat email penulis (Name and Author’s Address (Nama dan lamat penulis): complete name is a must, without mentioning university degree or position of job, below the title. Exactly below the name of the author, the address of institution, phone number, and writer’s e-mail address must be written); c. Abstrak (Abstract): (bahasa Indonesia) merupakan intisari artikel, berjumlah 100— 150 kata dan dituangkan dalam satu paragraf tanpa pustaka acuan ((English) maintaining the essence of the article, consisting 100-150 word, and is written in a paragraph without references and citation);
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
102
pymupdf
d. Kata-kata kunci (Key Words): Di bawah abstrak dicantumkan kata-kata kunci paling banyak lima kata atau frasa tanpa diakhiri tanda titik. Kata-kata kunci harus mencerminkan konsep penting yang ada di dalam artikel (key words are placed below the abstract consisting not more than five words or phrases without full stop. Key words must mention the main concepts of the article); e. PENDAHULUAN (INTRODUCTION). Pendahuluan berisi latar belakang, menjelaskan fenomena permasalahan aktual yang diteliti, didukung dengan acuan pustaka dan hasil penelitian terkait sebelumnya yang pernah dilakukan sendiri atau orang lain serta menjelaskan keberadaan penelitian penulis dalam konteks tersebut. Pendahuluan juga berisi masalah (sebaiknya satu masalah saja yang menjadi fokus penelitian), tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan teori yang digunakan untuk memecahkan masalah. Semua sumber yang dirujuk atau dikutip harus dituliskan di dalam daftar pustaka. (no subchapters needed (tanpa subbab): Introduction contains background of the study, explaining the actual phenomenon of the problem studied in the article, supported by references and previous studies that have been done individually or in a group. It must describe the comparison between the article and the previous studies. Introduction contains problem(s) (one focus problem is better), purpose(s) of the study, research significance, and theory used to solve the problem(s). Every resources used in the article must all be cited in the references list); f. METODE (METHOD). Berisi macam atau sifat penelitian, sumber data, data, teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data (consists of variety of research characteristics, data source, data, data collection technique(s), data collection instrument(s), data collection procedure(s), and analysis method); g. HASIL DAN PEMBAHASAN (FINDINGS AND DISCUSSION): Disajikan dalam subbab- subbab tidak lebih dari tiga level dan tanpa menggunakan nomor, menyajikan dan membahas secara jelas pokok bahasan dengan mengacu pada masalah dan tujuan penulisan.; Tabel, grafik, gambar, dan/atau foto (jika ada) diberi nomor, judul, dan keterangan lengkap serta dikutip dalam teks. Tabel, grafik, gambar, dan/atau foto diberi nomor sesuai dengan urutan kemunculannya. Data berupa gambar atau tabel hendaknya merupakan data yang sudah diolah. Pencantuman tabel atau gambar yang terlalu panjang (lebih dari 1 halaman) sebaiknya dihindari. Tabel dan gambar harus jelas terbaca dan dapat dicetak dengan baik karena naskah akan dicetak dalam format warna hitam putih (bagi penulis yang menginginkan bukti cetak). Pencantuman tabel atau data yang terlalu panjang (lebih dari satu halaman) sebaiknya dihindari. Perujukan, pengutipan, atau pencantuman gambar, tabel, dan sebagainya menggunakan penomoran, bukan dengan kata-kata “sebagai berikut”, “seperti di bawah ini”, dan sebagainya. Contoh: “Struktur penulisan judul berita pada kolom sastra harian Kompas disajikan dalam tabel 4”. Gambar, tabel, grafik, foto harus diletakkan sedekat mungkin dengan teks yang berhubungan. Tabel hanya menggunakan garis horisontal atau meminimalkan penggunaan garis vertikal. Setiap kolom tabel harus diberi tajuk atau heading (presented
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
103
pymupdf
in a form of subchapters not more than three levels without using numbering. Showing and explaining the main analysis directly to answer research problem(s) and purpose(s) of the study; Table, graphic, picture, and/or photo (if any) must all be numbered, titled, and noted along with the text’s references. Table and picture must present the result of the study. Table and picture must be presented not more than a page. Table and picture must be well-read and well-printed because the article will be published in white and black (for writers asking for printed publication). Paraphrases of citation, picture, table, etc.uses numbering, for example: “Structure of the news title in Kompas Newspaper is presented in table 4”. Pictures, table, graphic, and pictures must be put as closest as possible to the text which is related.Table should be horizontal orminimizing the use of vertical lines. Every table’s column should includeheading); h. SIMPULAN (CONCLUSION): simpulan harus menjawab permasalahan dan tujuan penelitian. Simpulan bukan ringkasan dan bukan pula tulisan ulang dari pembahasan (Conclusion must answer the problem(s) and purpose(s) of the study. Conclusion is not in the form of a summary and not a repetition of findings and discussion); i. DAFTAR PUSTAKA (REFERENCES): Pustaka yang diacu hendaknya 80% merupakan sumber primer dan hendaknya berasal dari hasil-hasil penelitian, gagasan, teori/konsep yang telah diterbitkan di jurnal ilmiah, baik cetak maupun elektronik. Acuan yang dirujuk merupakan hasil publikasi 10 tahun terakhir, terkecuali acuan klasik yang digunakan sebagai bahan kajian historis (References should come from 80% of original studies, result of the research, idea, and theory or concept which is published in the electronic journal(s) or paper publication(s). References must be maximum ten years old for, except for classic references as historical data)
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
104
pymupdf
(Semua teks dalam jurnal WIDYASASTRA memakai format font: cambria, font advanced scale 100, spacing condensed 0,3 pt, position normal) JUDUL ARTIKEL (Cambria ukuran 14, KAPITAL, bold, spasi 1) Judul komprehensif, jelas, dan singkat maksimal 20 kata. Judul Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris disesuaikan dengan teks Title in English Jika JUDUL ARTIKEL menggunakan bahasa Indonesia, Judul Artikel ini menggunakan bahasa Inggris atau sebaliknya. (Cambria ukuran 11, huruf Kapital di awal kata, Bold, spasi 1) Penulis Pertamaa,*, Penulis Kedua b,*, Penulis Ketigac,* a Lembaga Afiliasi Pertama Alamat Lembaga Afiliasi Pertama, Kota, Negara b Lembaga Afiliasi Kedua Alamat Lembaga Afiliasi Kedua, Kota, Negara *Pos-el: alamat_email Abstrak (Cambria ukuran 11, tebal, spasi 1): Abstrak merupakan gambaran singkat dari keseluruhan tulisan, memuat masalah pokok yang dibahas, alasan penelitian, tujuan, teori, metode, dan hasil penelitian. Abstrak ditulis dalam satu paragraf terdiri atas 100—150 kata, tanpa pustaka/kutipan (Cambria ukuran 11, Italic, spasi 1) Kata-Kata Kunci (Cambria ukuran 11, huruf Kapital di awal kata, tebal, spasi 1): Maksimal lima kata atau frasa , tanpa diakhiri tanda titik (Cambria ukuran 11, Italic, spasi 1) Abstract (Cambria size 11, bold): Abstract is written in foreign language in a short paragraph describing paper’s content. Abstract consists of background, research problem(s), purpose of the study, method(s) and theoretical framework(s), and result of the study. Abstract is written approximately 100—150 words (Cambria size 11, Italic, single space) Key Words(Cambria size 11, bold):Not more than five words or phrase (Cambria size 11, Italic, single space) (Body text setelah abstrak diformat dalam dua kolom dengan ketentuan lebar tiap-tiap kolom 7 cm dan jarak antarkolom 1 cm)
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
105
pymupdf
PENDAHULUAN (Cambria 12, KAPITAL, tebal) Pendahuluan berisi latar belakang, menjelaskan fenomena permasalahan aktual yang diteliti, didukung dengan acuan pustaka dan hasil penelitian terkait sebelumnya yang pernah dilakukan sendiri atau orang lain serta menjelaskan keberadaan penelitian dalam konteks tersebut. Pendahuluan juga berisi masalah (sebaiknya satu masalah saja yang menjadi fokus penelitian), tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan teori yang digunakan untuk memecahkan masalah. Semua sumber yang dirujuk atau dikutip harus dituliskan di dalam daftar pustaka. Pendahuluan tanpa menggunakan judul subbab dan paragraf pertama rata kiri, lurus dengan judul bab. Paragraf berikutnya menggunakan format paragraf special first line 0,8 cm. (Cambria ukuran 12, spasi 1) METODE (Cambria 12, KAPITAL, tebal) Metode berisi macam atau sifat penelitian, sumber data, data, teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data. Paragraf pertama ditulis rata kiri, lurus dengan judul bab. Paragraf berikutnya menggunakan format paragraf special first line 0,8 cm. (Cambria ukuran 12, spasi 1) HASIL DAN PEMBAHASAN (Cambria 12, KAPITAL, tebal) Hasil dan pembahasan harus menjawab permasalahan dan tujuan penelitian. Paragraf pertama pada hasil dan pembahasan ditulis lurus dengan judul bab. Paragraf berikutnya, menggunakan format paragraf special first line 0,8 cm. (Cambria ukuran 12, spasi 1) Subbab (Cambria 12, Kapital pada Awal Kata, tebal) Hasil dan pembahasan dapat disajikan dalam subbab, tanpa menggunakan nomor. Judul subbab ditulis dengan huruf kapital pada awal kata. Paragraf pertama pada tiap subbab ditulis rata kiri, lurus dengan judul subbab. Paragraf berikutnya, menggunakan format paragraf special first line 0,8 cm. (Cambria ukuran 12, spasi 1) Sub-Subbab (Cambria 12, Kapital pada Awal Kata, bold, Italic) Jika dalam subbab ada sub-subbab, penulisan judulsub-subabditulis dengan huruf Kapital pada awal kata dan dimiringkan (italic). Paragraf pertama pada tiap sub-subbab ditulis rata kiri, lurus dengan judul sub-subbab. Paragraf berikutnya, menggunakan format paragraf special first line 0,8 cm. (Cambria ukuran 12, spasi 1)
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
106
pymupdf
Tabel, Grafik, Gambar dan/atau Foto Tabel, grafik, gambar, dan/atau foto (jika ada) diberi nomor, judul, dan keterangan lengkap serta dikutip dalam teks. Tabel, grafik, gambar, dan/atau foto diberi nomor sesuai dengan urutan kemunculannya. Tabel dan gambar harus jelas terbaca dan dapat dicetak dengan baik karena naskah akan dicetak dalam format warna hitam putih (bagi penulis yang menginginkan bukti cetak). Pencantuman tabel/data yang terlalu panjang (lebih dari satu halaman) sebaiknya dihindari. Perujukan, pengutipan, atau pencantuman gambar, tabel, dan sebagainya menggunakan penomoran, bukan dengan kata-kata “sebagai berikut”, “seperti di bawah ini”, dan sebagainya. Gambar, tabel, grafik, foto harus diletakkan sedekat mungkin dengan teks yang berhubungan. Tabel hanya menggunakan garis horisontal atau meminimalkan penggunaan garis vertikal. Setiap kolom tabel harus diberi tajuk/heading. Contoh: Tabel 1 Judul Tabel (Cambria 11, Kapital pada Awal Kata, tebal) No. Judul Pengarang Tahun Perujukan atau pengutipan teks menggunakan gaya APA (American Psychological Association),contoh (Sungkowati, 2009). Sungkowati (2009) mengatakan bahwa ...........(hlm. 20-22). Pengutipan langsung dari teks sumber lebih dari tiga baris, ditulis dalam paragraf sendiri dengan format huruf Cambria ukuran 11, spasi 1, identitation left 0,8 cm, right 0 cm. Sumber rujukan ditulis sebagai berikut (Sungkowati, 2009, hlm. 20). SIMPULAN (Cambria 12, KAPITAL, tebal) Simpulan harus menjawab permasalah-an dan tujuan penelitian. Simpulan bukan ringkasan dan bukan pula tulisan ulang dari pembahasan. Paragraf pertama ditulis rata kiri, lurus dengan judul bab. Paragraf berikutnya, menggunakan format paragraf special first line 0,8 cm. (Cambria ukuran 12, spasi 1). DAFTAR PUSTAKA (Cambria 12, KAPITAL, tebal) Pustaka yang diacu hendaknya 80% merupakan sumber primer dan hendaknya berasal dari hasil-hasil penelitian, gagasan, teori atau konsep yang telah diterbitkan di jurnal, baik cetak maupun elektronik. Acuan yang dirujuk merupakan hasil publikasi 10 tahun terakhir, terkecuali acuan klasik yang digunakan sebagai bahan kajian historis. Daftar pustaka dan pengutipan menggunakan gaya APA atau American Psychological Association.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
107
pymupdf
Ali, M.(2013). The Semitization of Itihasa: Intertextuality of the Mahabharata and the Ramayana in the Judeo-Islamic texts. Widyasastra: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra, 16(1), 1-13. Hatley, B.(2008). Postkolonialitas dan perempuan dalam sastra Indonesia modern. Dalam Foulcher, K. & Day, T. (Ed.), Sastra Indonesia modern kritik postkolonial (hlm. 226-259). (Toer, K.S. & Soesman,M., penerjemah). (Edisi revisi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & KITLV-Jakarta. (karya asli pertama terbit tahun 2000). Imanjaya, E & Pratalaharja, E.(2012). Plagiarism issues in post-1998 Indonesian film posters. Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, 14(1), 82-98. Maimunah.(2008). Indonesian queer: Nonnormative sexualities in Indonesian 2003-2006 films. (Unpublished master’s thesis). The University of Sydney. Saputra, H.S.P. (2009). Gandrung dalam kemasan kritik sosial bernuansa parodi (Resensi buku Gandrung: Kumpulan naskah drama, oleh Ilham Zoebazary). Widyasastra: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra, 12(1), 105-112. Sungkowati, Y.(2009). Lintasan sejarah Indonesia dalam novel-novel Suparto Brata. Lingua, 4(1), 15-35. doi: 10.18860/ ling.v4i1.585. Sungkowati, Y .(2010). Persoalan lingkungan hidup dan urbanisasi dalam beberapa cerpen Indonesia. Prosiding Konferensi Internasional Kesusasteraan XXI HISKI Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media, 78-90. Surabaya: Airlangga University Press. Swandayani, D., Santoso, I., Nurhayati, A., & Nurhadi. (2013). Eropa berdasarkan tiga novel Umberto Eco: Pembelajaran sejarah bagi pembaca Indonesia. Widyasastra: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra, 16(1), 27-41. Thwaites, T., Davis, L., & Mules, W. (2009). Introducing cultural and media studies: Sebuah pendekatan semiotik. (Rahmana, S., penerjemah). Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. (karya asli pertama terbit tahun 2002). (Cambria ukuran 12, spasi 1, format paragraf special hanging 0,8 cm).
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
108
pymupdf
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Sa aa ng b b BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta 55224 Telepon: (0274) 562070, Faksimile: (0274) 580667 ana Mean
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
109
ocr