anchor
stringlengths
76
27.2k
positive
stringlengths
204
27.2k
negative
stringlengths
280
18.2k
Marital Values, Husband and Wife Interaction, Social Support and Quality of Marriage in Traditional Butonese Families Keluarga sebagai suatu sistem dalam masyarakat diatur oleh nilai dan norma yang mapan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik yang outputnya dapat dilihat pada kualitas perkawinan. Keluarga tradisional suku Buton berupaya menjaga kualitas perkawinan melalui nilai perkawinan dan konsep berkeluarga, salah satunya melalui ritual posuo yang merupakan peralihan masa dari remaja ke dewasa yang dikhususkan bagi perempuan Buton, namun kekhususan perempuan dalam ritual ini tidak berkorelasi negatif dengan angka perceraian di kota Baubau, salah satu wilayah persebaran keluarga tradisional suku Buton. Nilai yang diyakini seseorang dapat terlihat dari sikap dan interaksinya. Sebagai pasangan, interaksi suami-istri sangat penting manfaatnya dalam pembagian peran, fungsi, tugas dalam keluarga. Tinggi rendahnya interaksi juga dipengaruhi dukungan sosial. Dukungan sosial diperlukan karena membuat seseorang merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari suatu kelompok. Lama perkawinan juga berhubungan dengan kualitas perkawinan, dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kualitas perkawinan lebih tinggi pada pasangan yang sudah lama menikah. Lima tahun pertama pernikahan adalah masa-masa kritis, juga sebagai pusat pernikahan karena terdapat banyak penyesuaian dalam perkawinan. Tujuan umum penelitian ini untuk menganalisis pengaruh nilai perkawinan, interaksi suami istri dan dukungan sosial terhadap kualitas perkawinan keluarga tradisional suku Buton. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah 1) membedakan karakteristik keluarga, nilai perkawinan, interaksi suami istri, dukungan sosial dan kualitas perkawinan keluarga tradisional Buton yang menikah kurang dan lebih dari lima tahun; 2) menganalisis hubungan karakteristik keluarga, nilai perkawinan, interaksi suami istri dan dukungan sosial dengan kualitas perkawinan; dan 3) menganalisis pengaruh karakteristik keluarga nilai perkawinan, interaksi suami istri dan dukungan sosial terhadap kualitas perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional study yang berlokasi di kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Populasi penelitian ini adalah keluarga suku Buton yang tinggal di Kecamatan Murhum, selanjutnya dipilih dua kelurahan secara purposive berdasarkan banyaknya jumlah kepala keluarga dengan istri yang berasal dari suku Buton. Responden penelitian adalah istri dari keluarga utuh, pernah mengikuti ritual posuo yang dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan lama perkawinan, dari kerangka contoh yang sudah dibuat, dipilih masing-masing 60 orang secara restricted random sampling berdasarkan kelompok lama menikah sehingga total penelitian ini melibatkan 120 istri. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dari pengumpulan data dengan kuesioner yang telah disusun oleh peneliti. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel, SPSS dan Smart-PLS. Hasil dari penelitian ini menunjukkan rata-rata usia istri pada kedua kelompok lama perkawinan adalah 29,83 tahun dan 33,92 tahun. Rata-rata usia istri saat mengikuti posuo adalah 21,3 tahun dan rata-rata usia menikah adalah 25,4 tahun dengan rata-rata waktu tunggu istri dari selesai mengikuti ritual posuo sampai menikah berkisar pada 0 sampai 4 tahun. Rata-rata usia suami adalah 34.73 tahun. Rata-rata lama pendidikan suami adalah 12.82 tahun atau setara dengan tamatan SLTA dan bekerja sebagai wiraswasta. Rata-rata lama pendidikan istri adalah 13.53 tahun atau SLTA dan memilih tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Besar keluarga pada penelitian ini berada pada kelompok keluarga kecil dengan kisaran anggota 3 sampai 4 orang. Rata-rata pendapatan perkapita keluarga adalah Rp. 1.021.507,00 per kapita per bulan. Hasil analisis deskriptif variabel nilai perkawinan terkategori tinggi dengan rataan indeks total 84,6; variabel interaksi suami istri terkategori sedang dengan rataan indek total 72,9; variabel dukungan sosial terkategori sedang dengan rataan indeks 60,0; variabel kualitas perkawinan terkategori sedang dengan rataan indeks 77,9 dan tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok lama perkawinan. Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan kualitas perkawinan menunjukkan bahwa pekerjaan istri berhubungan positif signifikan dengan kualitas perkawinan (r= 0,208, p<0,05) dan pendapatan per kapita berhubungan positif dengan kualitas perkawinan (r= 0,210, p<0,05); sedangakan untuk hasil uji hubungan empat variabel uji menunjukkan bahwa nilai perkawinan berhubungan positif dengan interaksi suami istri (r= 0,257, p<0,01) dan kualitas perkawinan (r= 0,411, p<0,01), interaksi suami istri berhubungan positif dengan dukungan sosial dan kualitas perkawinan (r= 0,238, p<0,01; r= 0,490, p<0,01), dukungan sosial juga berhubungan positif dengan kualitas perkawinan (r= 0,309, p<0,01), artinya semakin baik nilai perkawinan dan interaksi suami istri serta semakin banyak dukungan sosial yang diterima istri maka semakin baik kualitas perkawinan. Hasil uji pengaruh menemukan bahwa karakteristik keluarga pada dimensi pendidikan suami dan istri, serta pendapatan per kapita berpengaruh langsung signifikan terhadap nilai perkawinan, karakteristik keluarga berperuh secara tidak langsung terhadap kualitas perkawinan dimediasi oleh nilai perkawinan. Nilai perkawinan, dan interaksi suami istri berpengaruh langsung terhadap kualitas perkawinan. Dukungan sosial juga berpengaruh secara langsung terhadap kualitas perkawinan, artinya semakin tinggi nilai perkawinan, interaksi suami istri dan dukungan sosial akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas perkawinan. Saran untuk keluarga dapat bekerja sama dalam meningkatkan pendapatan perkapita, meningkatkan intensitas interaksi dan pembagian peran yang mempengaruhi kualitas perkawinan. Untuk lingkungan keluarga teman dan tetangga diharapkan dapat memberikan dukungan emosional agar keluarga tidak merasa diabaikan. Tokoh adat diharapkan dapat meningkatkan kualitas ritual-ritual adat terutama posuo dari segi teknis maupun kontennya. Pemerintah diharapkan ikut mendukung sepenuhnya kegiatan adat yang dapat meningkatkan kualitas perkawinan keluarga dan untuk penelitian selanjutnya dapatmelakukan kajian mendalam terkait validitas isi dan konstruk dari kesioner nilai perkawinan, menambah pendekatan kualitatif dan jumlah sampel dengan jenis yang lebih beragam agar penelitian dapat digeneralisir. dukungan sosial, interaksi suami-istri, keluarga, kualitas perkawinan, nilai perkawinan, ritual posuo
Potensi Masyarakat Dan Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan Di Kabupaten Bone Kelembagaan lokal dibatasi pada organisasi pemerintah lokal dan organisasi kemasyarakatan yang terdapat di Kabupaten Bone, keberadaannya diharapkan mampu melakukan pemecahan kemiskinan melalui pemberdayaan keluarga miskin di perdesaan. Keterlibatan kelembagaan lokal dibutuhkan, karena senantiasa berinteraksi dengan keluarga miskin di perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menjelaskan sosialisasi tanggung jawab sosial kelembagaan lokal terhadap kemiskinan dalam masyarakat, (2) menguraikan implementasi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada kelembagaan lokal, yaitu organisasi kemasyarakatan lokal dan pemerintah lokal, (3) menjelaskan perilaku masyarakat terhadap kemiskinan dan kepercayaan terhadap penanggulangan kemiskinan, (4) menguraikan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung jawab masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan, (5) menjelaskan tingkat keberdayaan keluarga miskin, (6) mengidentifikasi potensi-potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam upaya menberdayakan keluarga miskin, (7) menganalisis hubungan karakterisitik, proses sosialisasi tanggung jawab sosial, persepsi terhadap tata kepemerintahan yang baik pada kelembagaan lokal, dan perilaku kemiskinan dengan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka memberdayakan kelompok keluarga miskin. good governance implementation, social responsibility, community potencies, poverty knowledge, South Sulawesi
Effect of Gamma Irradiation on Cell Wall Polysaccharide Model Systems Irridation is an alternative preservation method which can be utilized to extend the shelf life ofagricultural products by eliminating number of insects, and decreasing microbial growth effectively. Irridation at low dose can inhibit some physiological and biochemical changes of certain fruits, resulting in a delay of the ripening stage, and of their senescence. However, irridation of fresh fruit at pasteurization dose might create an adverse effect on the fruit texture by loosing their tissue integrity.
Pendugaan parameter genetik dan hubungan antara hasil dengan beberapa sifat agronomis serta analisis persilangan diallel pada ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb.) Parameter genetik dan hubungan antara hasil dengan beberapa sifat agronomis yang lain diduga dengan menggunakan percobaan lapang yang dilakukan pada musim tanam Nopember 1982 sampai Maret 1983 dan Juni sampai Oktober 1983 di Malang, dan Juni sampai Oktober 1983 di Lampung (Percobaan 1). Pada percobaan ini digunakan 21 klon ubi jalar dan percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan.
Pengembangan Metode Produksi, Pengolahan dan Penyimpanan Benih Padi Hibrida Kebutuhan beras terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Upaya peningkatan produksi beras melalui pendekatan varietas unggul dapat dilakukan dengan penggunaan padi hibrida. Adanya fenomena heterosis memungkinkan padi hibrida memberikan kontribusi peningkatan produktivitas 10-25%. Produksi benih padi hibrida di Indonesia selama ini menggunakan sistem tiga galur dengan melibatkan tetua betina (galur mandul jantan/CMS/A), galur pelestari (maintainer/B), dan galur pemulih kesuburan (restorer/R). Sistem tiga galur memiliki kelemahan salah satunya adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua betina dengan tetua jantannya. Hambatan dalam proses serbuk silang juga berakibat pada pengisian benih yang kurang sempurna. Benih dapat terisi sangat penuh, penuh, dan setengah penuh. Benih-benih yang tidak terisi sempurna akan mudah terbuang saat pemisahan benih dari kotoran benih menggunakan blower saat pengolahan benih. Perlu ada upaya menekan tingkat kehilangan hasil selama pengolahan benih melalui pengaturan kecepatan blower yang sesuai. Permasalahan lain pada padi hibrida adalah daya simpan benih yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan padi inbrida. Hal ini karena pada umumnya secara fisik benih padi hibrida memiliki struktur lemma dan palea tidak tertutup rapat. Struktur benih seperti ini mengakibatkan butiran padi terbuka atau berongga yang rawan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta serangan hama dan penyakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mempelajari perbedaan karakter bunga dan morfologi tanaman tetua betina (CMS) dan tetua jantan (R) padi hibrida yang berhubungan dengan perubahan lingkungan, (2) mempelajari waktu berbunga beberapa tetua padi hibrida dengan pendekatan suhu efektif terakumulasi pada beberapa waktu tanam, (3) mengetahui konsentrasi dan frekuensi aplikasi GA3 yang tepat dalam mendukung proses penyerbukan antara tetua jantan dan betina, (4) mengetahui pengaruh kecepatan blower terhadap kehilangan hasil benih padi hibrida, (5) mengetahui pengaruh kondisi ruang simpan terhadap mutu fisiologis benih padi hibrida dan inbrida. Penelitian dilakukan dalam 5 tahap percobaan : (1) karakterisasi bunga dan morfologi tanaman tetua padi hibrida selama 4 kali pertanaman, (2) identifikasi kebutuhan suhu efektif terakumulasi masing-masing pasangan tetua, (3) optimasi produksi benih padi hibrida menggunakan GA3, (4) pengujian efektifitas kecepatan blower separator dalam pengolahan benih, (5) identifikasi daya simpan benih hibrida pada dua suhu AC dan suhu kamar. Hasil percobaan menunjukkan bahwa waktu tanam terbaik pada semua galur CMS adalah pada Juni-Oktober, dimana suhu rata-rata dan lama penyinaran matahari lebih tinggi, sedangkan kelembaban relatif, curah hujan dan jumlah hari hujan lebih rendah dibanding dengan waktu tanaman lainnya. Selama empat waktu penanaman galur restorer menghasilkan karakter yang stabil pada semua variabel yang diamati (tidak berbeda nyata antar waktu tanam) kecuali durasi membuka bunga yang dipengaruhi oleh suhu dan lamanya penyinaran matahari. Pasangan tetua padi hibrida Hipa 8, Hipa 5, Hipa 11 dan Hipa 14 SBU menunjukkan tingkat kesesuaian pada semua variabel yang diamati. Beberapa wilayah yang memiliki lahan sawah irigasi iii teknis dengan kondisi iklim mirip dengan KP Singamerta adalah Kabupaten/Kota Cilegon, Tangerang, Bekasi, Subang, Karawang, Indramayu dan Cirebon. Daerah tersebut memiliki curah hujan terendah pada periode Juni sampai Oktober berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun terakhir. Terdapat variasi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase pertumbuhan tertentu pada empat galur CMS dan tujuh galur restorer. Semua galur restorer memerlukan waktu berbunga 50 % lebih lama 2 sampai 11 hari dibandingkan dengan galur CMS, kecuali untuk galur restorer BP51-1 yang waktu berbunganya lebih pendek 2-5 hari dari CMS A1. Terdapat variasi heat unit baik antar galur maupun antar waktu penanaman. Variasi antar waktu tanam disebabkan adanya variasi suhu, kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran matahari, sedangkan variasi antar galur disebabkan faktor genetik. Heat unit pada fase pembungaan 50% dapat dijadikan acuan dalam menentukan selisih waktu semai antar pasangan tetua padi hibrida. Semua galur restorer membutuhkan akumulasi suhu efektif lebih tinggi dibanding galur CMS, kecuali untuk galur BP51-1 menghasilkan akumulasi suhu efektif lebih rendah (52.3°C) dibandingkan dengan CMS A1 pasangannya, sehingga CMS A1 harus ditanam lebih dulu dari pada BP51-1 agar terjadi sinkronisasi pada saat penyerbukan. Aplikasi GA3 dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan GA3 dari bagian buku dibawah daun bendera sampai dengan ujung daun pada saat 5-10% berbunga. Konsentrasi GA3 meningkatkan tinggi tanaman, eksersi malai, eksersi stigma, durasi membuka bunga, sudut membuka bunga dan panjang malai. Konsentrasi GA3 200 ppm menghasilkan produktivitas lebih tinggi pada varietas Hipa 6 (950 kg ha-1), Hipa Jatim 3 (1450 kg ha-1) dan Hipa 14 SBU (2120 kg ha-1). Produktivitas tertinggi pada varietas Hipa 8 dicapai pada konsentrasi 300 ppm (1550 kg ha-1) namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi GA3 200 ppm. Frekuensi aplikasi GA3 meningkatkan tinggi tanaman, eksersi malai, eksersi stigma dan durasi membuka bunga. Perlakuan dua kali aplikasi GA3 (10-15% heading dan 3 hari setelahnya) mampu menghasilkan produktivitas lebih tinggi pada semua varietas yang dihasilkan dibandingkan dengan frekuensi tiga kali aplikasi dan kontrol. Kecepatan blower 220 rpm efektif untuk memilah benih pada semua varietas benih hibrida padi yang diuji kecuali varietas Hipa 14 SBU. Kecepatan blower 145 rpm paling sesuai untuk memilah benih padi hibrida Hipa 14 SBU pada semua variabel yang diuji. Penggunaan kecepatan blower yang tepat akan mengurangi kerugian finansial sebesar Rp 4 750 000,- per ton (pada tingkat kehilangan hasil 9.5% dan harga jual benih padi hibrida 50 000 per kg). Penurunan viabilitas benih yang ditunjukkan oleh variabel daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum terjadi pada bulan ke-5 setelah disimpan pada kondisi suhu ruang. Penurunan vigor benih yang ditunjukkan oleh indeks vigor dan kecepatan tumbuh terjadi pada bulan ke-4 dan ke-5 setelah disimpan pada kondisi kamar. Benih padi varietas hibrida dan Inbrida masih memenuhi standar kelulusan sertifikasi benih sampai dengan akhir penyimpanan (6 bulan) pada kondisi kamar yang ditunjukkan dengan persentase daya berkecambah diatas 80%. aplikasi GA3., daya simpan benih, heat unit, optimasi kecepatan blower, sinkronisasi pembungaan
Release of fixed potassium by adding oxalic acid and cations to increase available potassium for plant growth on smectitic soils Research aimed to study the role of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ in increasing available K in smectitic soils for maize (Zea mays, L.) were conducted in Laboratory of Soil Science, Kyoto University, Laboratory of Research and Soil Test, and Green House of Indonesian Soil Research Institute, Bogor. The experiments used 91 of composite soil samples taken from Java that represented Inceptisols, Vertisols, as well as Alfisols. Four bulk soil samples taken from Jonggol, Bogor (Typic Hapludalfs), Sidareja, Cilacap (Chromic Endoaquerts), Padas, Ngawi (Typic Endoaquerts), and Todanan, Blora (Typic Haplustalfs) were also used in the experiments. The results showed that most of K in the smectitic soils was in non-exchangeable form, thus it was not available for plant growth immediately. smectitic soils, composite soil, bulk soil, non-exchangeable form, soil buffering capacity, maximum sorption
Quantitative Trait Loci (QTL) mapping for growth traits in the Indonesian thin tail and merino backcross sheep populations This study was performed to map Quantitative Trait Loci (QTL) locations of growth traits and candidate genes. Traits considered were weight at birth, 90, 180, 270 and 360 days of age (BW, W[90], W[180], W[270], and W[360]) in Indonesia Thin Tail (ITT) and merino sheep populations. Four half-sib reference families were designed to establish 381 heads of sheep populations.
Phenotipic characterization and genetic potential as well as their association with productivity and meat quality on local cattle in Ciamis, West Java. Ciamis local cattle is a genetic resources that could support meat selfsufficiency particularly in West Java. The introduction of artificial insemination in Ciamis district has been carried out intensively, therefore ciamis local cattle as a genetic resources will dissapear and getting extinct. The identification of qualitative and quantitative traits including their genetic potencies were required for genetic resources development in order to support sustainable meat availability. Leptin and SCD1 (Stearoyl CoA Desaturase1) genes are potential candidates for genetic selection in the livestocks, and they involved in physiological processes. It assumed that polymorphism of Leptin and SCD1 were significantly associated with the productivity, meat quality and fatty acid composition. This study aimed to: 1) identify qualitative and quantitative traits of ciamis cattle, 2) identify the genetic polymorphism, as well as their phylogenetic, 3) identify Leptin polymorphism and their association with productivity and meat quality, and 4) identify polymorphism on SCD1 gene and their association with meat fatty acid composition. The qualitative and quantitative traits were characterized by using 92 over three years old cows. The observed parameters consist of coat colour, body weight and morphological measurements. The average daily gain (ADG) and carcass percentage were observed from 18 and 14 bulls, respectively. They were fatten on concentrates and rice straw for 58 days. Microsatellite loci, i.e INRA35, HEL9, and BM2113, of 92, 78 and 96 samples, respectively were used to analyze the genetic diversity and its phylogenetic tree. Direct sequencing was carried out using 78 samples to identify polymorphism of Leptin gene and their association with ADG, carcass percentage and meat quality, were analysed using 18, 14 and 14 samples, respectively. PCR-RFLP method with AciI restricted enzym was carried out using 14 samples with different genotypes to identify SCD1 gene polymorphism out of 98 samples and their association with meat fatty acid composition. The result showed that the red-brownish coat colour was predominant in ciamis cattle. About 45.0% of population in Tambaksari, and 48.1% of population in Cijulang were proofed this results. The ciamis cattle had frame size between bali and PO cattle. The local cattle in Cijulang subpopulation were larger significantly than Tambaksari subpopulation. This might be due to highly introduction of PO cattle in Cijulang subpopulation. The ADG of ciamis cattle was 0.62 kg ± 0.23 kg/head/day, and their carcass percentage was 51.61% ± 1.8%. Their carcass percentage was similarly with bali, PO, and crossbred cattle. Ciamis cattle had high level of heterozygosity. The genetic diversity of cattle in Tambaksari subpopulation was higher than in Cijulang subpopulation. The cattle in Ciamis has a closer genetic distance with the PO cattle. Leptin gene of ciamis cattle was polymorphic, and there were two single nucleotide polymorphisms (SNPs) i.e Arg25Cys and Arg25His. It was found three alleles i.e C, T and H, with the frequencies were 55.5 %, 29.5% and 15.4%, respectively. The new mutation (H allele) was found at Arg25His position, convert amino acid code from arginine to histidine. Leptin gene polymorphisms of ciamis cattle was in high category. There were no association between Leptin gene polymorphisms with ADG, carcass percentage, and meat quality of ciamis cattle. SCD1 gene of cattle in Ciamis were polymorphic. There was a SNP at Val293Ala position, convert amino acid code from valin to alanin. It was found two alleles i.e. C and T, with the frequencies were 74.5 % and 25.5%, respectively. Heterozygosity of SCD1 gene in ciamis cattle was in medium category. There was no association between SCD1 gene polymorphisms with meat fatty acid composition. The predominant coat colour of ciamis cattle were red-brownish, and their frame size between bali and PO cattle. Their ADG was relatively low with high carcass percentage. The genetic distance of ciamis cattle was closed with PO cattle. Leptin and SCD1 were polymorphic, eventhough the genotype differences on each gene did not influenced to productivity, meat quality, and meat fatty acid composition of ciamis cattle. ciamis cattle, fatty acid, leptin, meat quality, productivity, SCD1
Pemanfaatan nira aren dan nira kelapa serta polen aren sebagai pakan lebah untuk meningkatkan produksi madu Apis cerana di Kabupaten Lombok Barat Untuk menghasilkan madu dalam jumlah yang cukup, dibutuhkan pakan lebah berupa nektar dan polen yang tersedia secara berkesinambungan. Sampai saat ini pakan yang diberikan masih mengandalkan pada tanaman yang tumbuh secara alami dan ketersediaannya masih sangat terbatas sehingga produksi madu yang dihasilkan lebah A. cerana sangat rendah antara 5-10 kilogram per koloni per tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan tanaman pakan lebah yang mampu menghasilkan nektar dan polen sepanjang tahun, mudah didapat, dan murah harganya. Tanaman alternatif adalah aren (Arenga pinnata) dan kelapa (Cocos nucifera) yang banyak dijumpai dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tanaman ini dapat mengeluarkan nira setiap saat berupa cairan manis yang diperoleh dari hasil sadapan, mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan lebah seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Disamping itu, dari bunga jantan tanaman aren terdapat polen yang diperlukan lebah sebagai sumber protein. dst... Nira aren, Nira kelapa, Polen aren, Pakan lebah, Madu, Honey, Bee feed, Coconut sap, Palm juice
Pengembangan model simulasi penyimpanan buah terolah minimal berpelapis edibel dalam kemasan atmosfer termodifikasi Produksi etilen dan laju produksi Co₂ mangga arumanis terolah minimal berpelapis edibel dalam kemasan stretch jilm pada perlakuan kontrol (0% butiran pengikat etilen) paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (2%, 3% dan 4% butiran pengikat etilen) baik pada suhu 5% maupun 10°C. Hasil Uji Wilayah Berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan persentase butiran pengikat etilen sebanyak 3% merupakan persentase terpilih untuk mengurangi produksi etilen dan menghambat laju respirasi mangga arumanis terolah minimal berpelapis edibel dalam kemasan stretch film.
Model Prediksi Kandungan Kimia Tepung Berbasis Ubi Kayu Secara Non-Destruktif Dengan Metode Spektroskopi NIR Meningkatnya impor ubi kayu beberapa tahun terakhir ini memicu para peneliti di bidang pemuliaan untuk merakit varietas unggul baru yang high yielding dan high starch content. Perbedaan genotipe ubi kayu hasil program pemuliaan berpengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimianya. Karakteristik fisik dan kimia ini menentukan arah pemanfaatan (fungsionalitas) dalam pembuatan produk akhir. Penentuan karakteristik fisik dan kimia tepung sampai saat ini dilakukan dengan metode konvensional di laboratorium. Metode konvensional ini membutuhkan biaya yang mahal dan waktu pengerjaan yang cukup lama. Namun saat ini telah dikembangkan teknologi instrumentasi yang dapat memprediksi beberapa kandungan kimia suatu bahan dengan proses yang cepat dan non destruktif yaitu spektroskopi near infrared (NIR). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji penggunaan spektroskopi NIR dalam memprediksi komponen kimia pada tepung berbasis ubi kayu dengan metode PLS. Dalam penelitian ini, ubi kayu yang berasal dari 24 genotipe stabil ubi kayu (5 genotipe tetua dan 19 genotipe turunan) hasil pemuliaan diolah menjadi tepung ubi kayu dan mocaf (modified cassava flour). Spektra reflektan tepung berbasis ubi kayu ini diukur menggunakan spektrofotometer NIR pada panjang gelombang 1000-2500 nm. Pada tahap selanjutnya, dilakukan pengukuran kadar air, total pati dan amilosa dengan metode kimia di Laboratorium. Model kalibrasi dikembangkan dengan metode partial least square (PLS) dan beberapa praperlakuan data seperti turunan pertama Savitzky-Golay (dg1), standard normal variate (SNV), kombinasi dg1 dan SNV serta proses transformasi spektra yang dilakukan untuk meningkatkan akurasi prediksi. Evaluasi hasil kalibrasi dan validasi NIR dalam memprediksi dengan kadar air dan komponen pati dilakukan berdasarkan analisis statistik meliputi nilai koefisien korelasi (r), koefisien determinasi (R2), standar error of validation (SEC), standar error of validation (SEP), ratio prediction to deviaton (RPD), bias, dan coefficient variation (CV). Model yang dibangun menggunakan spektra reflektan dengan praperlakuan kombinasi dg1 dan SNV merupakan model terbaik untuk menduga kadar air dan total pati, sedangkan model yang dibangun menggunakan spektra absorban dengan praperlakuan kombinasi dg1 dan SNV merupakan model terbaik untuk menduga amilosa. Evaluasi statistik menunjukkan, model prediksi kadar air memiliki r = 0.98, R2 = 0.95, SEC = 0.17%, SEP = 0.19%, CVkalibrasi = 2.64, CVvalidasi = 2.90, Bias = -0.05, dan RPD = 5.01. Model prediksi total pati memiliki hasil evaluasi r = 0.87, R2 = 0.76, SEC = 3.40%, SEP = 3.39%, CVkalibrasi = 4.21, CVvalidasi = 4.15, Bias = -0.16 dan RPD = 2.04. Sementara itu, model prediksi amilosa memberikan hasil evaluasi sebagai berikut: r = 0.97, R2 = 0.93, SEC dan SEP 0.89% dan 0.97%, CVkalibrasi = 3.26, CVvalidasi = 3.57, Bias = -0.11 serta RPD = 3.39. Penelitian ini membuktikan metode NIR sangat baik dan layak digunakan untuk memprediksi kadar air dengan rentang 4.59-8.23%, total pati dengan rentang 61.54-92.70% dan amilosa dengan rentang 16.56-33.86%. NIR, kadar air, komponen pati, tepung berbasis ubi kayu
The potential analysis of seed and root of water lily (Nymphaea pubescens Willd) as a functional food prebiotic and antibacterial enteropathogenic Escherichia coli K1.1 The purposes of this study were (1) to determine the antibacterial activities of water lily seed and root, both against pathogenic bacteria causing diarrhea and beneficial bacteria; (2) to identify phytochemical components in water lily seed and root, and to evaluate their activities as antibacterial against pathogenic bacteria causing diarrhea; (3) to measure and evaluate water lily seed’s and root’s prebiotic activities of carbohydrate fraction in vitro; (4) to evaluate biological activity of water lily seed’s and root’s flour and extract as antidiarrheal and prebiotic sources; (5) to evaluate the potential of water lily seed and its extract as immunomodulator. Extraction of antibacterial components used multistage maceration extraction method based on solvent polarity level, i.e. hexane, ethyl acetate and ethanol. Each extract’s activities were tested using diarrhea-causing bacteria, Enteropathogenic E. coli K.1.1 (EPEC K1.1) and S. Typhimurium with agar well diffusion method. The MIC (minimum inhibitory concentration) and MBC (minimum bactericidal concentration) values were calculated with the highest antibacterial activities. Fractination was performed on extract with the largest antibacterial activity using thin-layer chromatography. The activities of each fraction were tested qualitatively by bio-autography method. Qualitative phytochemical tests were performed on all extracts. minimum bactericidal concentration, ethyl acetate extract, anti-diarrheal, phytocompound, minimum inhibitory concentration
Identification, Characterization, and Selection of Fruit Tree Species Toward Smart City Penduduk dunia saat ini diperkirakan 70% tinggal di perkotaan dan berimplikasi pada permasalahan lingkungan, antropologi maupun ekonomi yang semakin kompleks. Smart city sebagai trend kota masa depan yang bertujuan mewujudkan kota layak huni dalam berbagai aspek, salah satunya lingkungan. Upaya memperkuat aspek lingkungan adalah dengan memilih vegetasi penghijauan kota yang sesuai. Vegetasi, khususnya tanaman buah memberikan manfaat pada aspek ekologis, ameliorasi iklim, ekonomi dan sosial. Penelitian ini memiliki tujuan memperoleh tanaman buah yang sesuai untuk perkotaan melalui identifikasi, karakterisasi berdasarkan karakteristik morfologi dan fisiologi dan seleksi jenis tanaman buah berdasarkan tingkat toleransi terhadap polusi udara dan melakukan rencana penanaman tanaman buah terpilih. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2019 sampai dengan bulan Januari 2021. Penelitian survei dilakukan di Kota Yogyakarta, Jakarta dan Bogor yang merupakan smart city. Penelitian karakterisasi morfologi dan fisiologi dilakukan di Kebun Buah Mekarsari, Cileungsi, Kabupaten Bogor dan Kebun Percobaan Lewikopo, IPB, Dramaga, Kabupaten Bogor. Percobaan toleransi tanaman buah dilakukan pada dua lokasi yaitu Gerbang Tol Bogor 1 (Tol Jagorawi) sebagai lokasi terpapar polusi udara dan Kebun Percobaan Pusat Kajian Hortikultura Tropis IPB di Pasir Kuda, Kota Bogor sebagai lokasi yang tidak terpapar polusi udara. Penggalian informasi menggunakan kuesioner dilakukan untuk mengidentifikasi tanaman buah berdasarkan preferensi masyarakat. Karakterisasi morfologi dan fisiologi dilakukan dengan observasi pada tanaman buah muda dan dewasa, serta melalui studi literatur. Percobaan toleransi tanaman buah terhadap polusi udara dilakukan menggunakan rancangan nested. Parameter pengamatan meliputi pertumbuhan tanaman, fisiologi dan mikroskopik tanaman buah. Hasil penelitian diperoleh metode identifikasi tanaman perkotaan yang dapat dilakukan berdasarkan preferensi masyarakat, yang selama ini dilakukan berdasarkan rekomendasi ahli pertamanan. Preferensi masyarakat berkorelasi positif dengan jenis kelamin dan pekerjaan. Responden dengan jenis kelamin perempuan pada Kota Jakarta (54,0%) dan Bogor (72,7%) lebih banyak dibandingkan jenis kelamin laki-laki, dan sebaliknya pada responden Yogyakarta, laki–laki lebih banyak (51,7%) dibandingkan perempuan (48,3%). Usia responden sebagian besar dengan usia < 39 tahun, sebagai generasi milenial. Responden menyatakan setuju bahwa tanaman buah digunakan sebagai tanaman perkotaan (Avg. 78,5%) dengan alasan utama adalah hasil buah dapat dikonsumsi (59,7%), fungsi ekologis tanaman (57,5%) dan fungsi estetika tanaman (47,4%). Responden juga menyatakan bahwa tanaman yang sesuai untuk perkotaan secara berurutan adalah pohon non buah, tanaman hias, tanaman buah, tanaman pangan dan tanaman sayur. Tanaman buah menduduki peringkat ketiga dengan jenis tanaman buah musiman yang lebih dipilih dan menarik bagi responden. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat perkotaan setuju penggunaan tanaman buah tahunan di wilayah perkotaan. Responden menyatakan bahwa lokasi penanaman tanaman buah di kota yang sesuai adalah taman kota (Avg. 27,9%), tepi jalan raya (Avg. 20,7%), dan perumahan (Avg. 18,3%). Kepemilikan pohon besar dan tanaman buah di tempat tinggal responden kota Bogor lebih tinggi (72,0% dan 80,0%) dibandingkan kota Yogyakarta dan Jakarta. Responden dapat memilih rata-rata 22,0 tanaman buah sebagai pohon penghijauan perkotaan. Hasil evaluasi keragaman berdasarkan cultural significant index (CSI) tertinggi pada tanaman mangga (Mangifera indica L.) yaitu 8,0, sedangkan pada tanaman buah non komersial nilai CSI tertinggi pada mengkudu (1,18). Tanaman buah dipilih responden sebanyak 79 jenis dan sepuluh terbanyak dipilih responden yaitu mangga (Mangifera indica L.), rambutan (Nephellium lappaceum L.), jambu air besar (Syzygium samarangense (Blume)), jambu biji (Psidium guajava L.), jeruk manis (Citrus sinensis (L.) Osbeck), belimbing (Averrhoa carambola L.), kelengkeng (Dimocarpus longan (Lour.)), pepaya (Carica papaya L.), sawo (Manilkara zapota L.), alpukat (Persea americana Mill.) Pohon untuk perkotaan mempunyai kriteria spesifik, diantaranya bentuk kanopi lebar dan rapat, sedangkan pohon pengontrol polusi udara khususnya debu dengan kriteria permukaan daun kasar, bentuk tajuk tinggi dan rapat. Seleksi berdasarkan karakter morfologi menghasilkan sebanyak 36 tanaman buah menunjukkan skor tinggi atau kategori sangat sesuai untuk tanaman perkotaan, 36 tanaman buah lainnya termasuk kategori sesuai, dan 9 tanaman buah termasuk kategori kurang sesuai. Tanaman buah yang menunjukkan karakter morfologi dengan skor tinggi yaitu alpukat (Persea americana Mill.), rambai (Baccaurea motleyana (Muell. Arg)), langsat (Lansium parasiticum (Osbeck)), duku (Lansium domesticum Corr), tanjung (Mimusops elengi L.), kenitu (Chrysophyllum cainito L.), jamblang (Syzygium cumini L.), nam nam (Cynometra cauliflora L.), matoa (Pometia pinnata Forst.), sawo (Manilkara zapota L.), kelengkeng (Dimocarpus longan (Lour.)), dan cempedak (Artocarpus integer (Thunb.)). Karakter morfologi yang digunakan sebagai rekomendasi kesesuaian tanaman perkotaan meliputi tajuk rapat, berbentuk globular, piramida dan menyebar, permukaan daun kasar, pertumbuhan tanaman cepat sampai dengan medium dan pemeliharaan tanaman rendah. Tanaman buah dengan skor tinggi pada karakter fisiologi adalah srikaya (Annona squamosa L.), buni (Antidesma bunius L.), nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.), rambai (Baccaurea motleyana (Muell.Arg)), menteng (Baccaurea racemose Muell. Arg), jeruk bali (Citrus maxima (Burm.)), kelapa (Cocos nucifera L. var. eburnea), bisbul (Diospyros blancoi A.DC), dewandaru (Eugenia uniflora L.), manggis (Garcinia mangostana L.), kemang (Mangifera kemanga Blume), pala (Myristica fragans Houtt.), alpukat (Persea americana Mill.), ceremai (Phyllanthus acidus L.), matoa Pometia pinnata Forst.), alkesah (Pouteria champeciana Kunth.), salak (Salacca zalacca (Gaertn.)), dan kepel (Stelechocarpus burahol (Blume)). Karakter fisiologi yang digunakan sebagai parameter seleksi tanaman perkotaan yaitu laju fotosintesis tinggi, transpirasi rendah, efisiensi penggunaan air tinggi dan bentuk tajuk tanaman muda dan dewasa. Tahap seleksi selanjutnya pada tingkat toleransi tanaman buah terhadap polusi udara. Hasil penelitian menunjukkan sembilan jenis tanaman buah termasuk dalam kategori toleran polusi udara dengan nilai Air Pollution Tolerance Index (APTI) 23,83 – 36,90 pada lokasi berpolusi dan 24,44 – 43,12 pada lokasi tidak berpolusi. Tanaman buah toleran terhadap polusi udara yaitu rambutan (Nephellium lappaceum L.), jeruk (Citrus sinensis (L.) Osbeck), alpukat (Persea americana Mill.), jambu air besar (Syzygium samarangense (Blume)), kapulasan (Nephellium ramboutan-ake (Labill.)), mangga (Mangifera indica L.), matoa (Pometia pinnata Forst.), jambu biji (Psidium guajava L.) dan kersen (Muntingia calabura L.), dan kelengkeng (Dimocarpus longan (Lour.)) termasuk kategori moderat terhadap polusi udara. Pertumbuhan, laju fotosintesis, transpirasi dan konduktansi stomata tanaman buah tidak menunjukkan berbeda nyata pada lokasi berpolusi dan tidak berpolusi, pada batas tingkat paparan polusi dibawah Baku Mutu Udara Ambien Nasional dalam PP No 41 Tahun 1999. Kesimpulan penelitian adalah pemilihan tanaman buah untuk perkotaan dapat dilakukan berdasarkan preferensi masyarakat yang dilanjutkan dengan melakukan seleksi berdasarkan karakter morfologi, fisiologi dan toleransi tanaman terhadap polusi udara. Tanaman buah pada kategori moderat dan toleran polusi udara dapat ditanam pada wilayah perkotaan dan menjadi tanaman pengisi ruang terbuka hijau, sebagai salah satu indikator smart environment pada smart city air pollution tolerance index, fisiologi, morfologi, tanaman buah, preferensi, air pollution tolerance index, physiology, morphology, fruit tree, preference
Seleksi padi hibrida terhadap kekeringan untuk pengembangan di lahan sawah tadah hujan Salah satu masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi beras nasional adalah meningkatnya alih fungsi lahan subur dan produktif. Peningkatan produksi dapat diarahkan ke lahan sawah tadah hujan. Di lahan sawah tadah hujan, kekeringan terjadi hampir setiap tahun akibat jumlah curah hujan yang rendah dan pendeknya musim hujan. Padi hibrida diharapkan tetap menunjukkan hasil yang lebih baik pada kondisi kekeringan dibanding varietas unggul inbrida. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah pengembangan genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan dengan potensi hasil tinggi dan berumur genjah. Genotipe tersebut diperoleh melalui serangkaian tahapan seleksi. Seleksi terhadap bahan genetik dalam jumlah besar, membutuhkan banyak biaya, tenaga dan waktu, oleh karena itu, perlu didukung metode seleksi yang efektif dan efisien. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi metode dan peubah dalam seleksi dini untuk mendapatkan genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan. Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB dan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen), Cimanggu, Bogor, pada bulan April 2011 sampai Januari 2012. Sebanyak empat set percobaan telah dilakukan. Percobaan pertama yaitu penentuan konsentrasi polietilen glikol (PEG) 6000 yang memberikan cekaman kekeringan. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas berbagai konsentrasi PEG 6000 yaitu 0% (tanpa PEG 6000), 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%. Aplikasi perlakuan dilakukan dua tahap. Perlakuan tahap pertama, menggunakan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% yang dicobakan pada varietas Situ Bagendit, Limboto, IR64 dan Inpari 10. Perlakuan tahap ke dua menggunakan konsentrasi 0%, 20%, 25% dan 30% yang dicobakan pada varietas Limboto, IR64 dan Maro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larutan PEG 6000 konsentrasi 25% atau setara 0.99 MPa yang diaplikasikan pada kecambah saat muncul radikel, merupakan konsentrasi yang cukup efektif untuk menduga toleransi padi secara dini terhadap cekaman kekeringan. Percobaan ke dua yaitu pengujian dengan 25% larutan PEG 6000 pada fase perkecambahan. Percobaan menggunakan rancangan split plot, 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan PEG 6000 yang terdiri atas tanpa PEG 6000 dan larutan PEG 6000 konsentrasi 25%. Anak petak adalah genotipe/varietas yang terdiri atas BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 8, IR-64 (cek peka kekeringan), Limboto (cek toleran kekeringan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ini dapat mengelompokkan genotipe BI485A/BP15, BI559A/BP15 dan varietas Hipa 8 toleran kekeringan berdasarkan karakter panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah. Percobaan ke tiga yaitu pengujian dengan 25% larutan PEG 6000 dalam kultur hara pada fase bibit Kekeringan, Padi hibrida, Polietilen glikol, sawah tadah hujan, Seleksi dini
The potency of endophytic bacteria as biocontrol agents to control blood disease on banana Blood disease of banana caused by blood disease bacterium (BDB) is an important disease of bananas in Indonesia. The available control techniques have not been able to solve the disease problem effectively. Therefore, the development of more effective control method is needed. Endophytic bacteria have potencies as candidates of biological control agents to blood disease, because the bacteria as reported to be associated with plant resistance to pathogens and plant growth promotion. The aim of the studies were to (1) explore, select and identify endophytic bacteria to control blood disease on banana; (2) determine the mechanisms of endophytic bacteria to control blood disease on banana; (3) evaluate endophytic bacterial colonization on banana plant and their effect on the effectiveness to control blood disease; and (4) analyse the effect of application method of endophytic bacteria to their effectiveness to control blood disease on banana. Ninety isolates of endophytic bacteria have been isolated from the root of banana. The average population densities of the bacteria varied between 6.0 x 103 and 4.2 x 105 cfu/g fresh weight of root. Twenty seven among the ninety isolates positively produced inhibition zone toward blood disease bacterium (BDB). However, only four isolates (EAL15, EKK10, EKK20, EKK22) were able to reduce the incidence of blood disease on banana with ranged from 66.67% to 83.33%. Based on the partial sequence of 16S rRNA, four isolates were identified as Serratia liquefaciens (EAL15), Bacillus megaterium (EKK10), Enterobacter cloacae (EKK20) and Pectobacterium cypripedii (EKK22). The mechanisms of endophytic bacteria to control blood disease on banana were induced resistance, based on their activities in increasing peroxidase, polyphenol oxidase and salicylic acid content. The endophytic bacteria EAL15-Rif colonized within roots and stem tissues of young banana trees at four weeks after inoculation. Histological analysis using Scanning Electron Microscopy showed that EAL15-Rif colonise within the root and stem tissues of banana. The colonization period of endophytic bacteria during the eight months suppressed the blood disease incidence on banana ‘Cavendish’ with ranged from 66.67% to 83.33%. Application of endophytic bacterial community K-AL3 and K-RB1 were able to suppress the blood disease incidence on ‘Kepok kuning’ cultivar as much as 75.00% and 83.33%. Pseudomonas solanacearum, Ralstonia solanacearum, Endophytic bacteria, Blood disease bacterium, Induce resistance, Banana
Model Pengelolaan Operasi Irigasi Intermittent pada Pengembangan Modernisasi Irigasi Pelaksanaan operasi jaringan irigasi saat ini menunjukkan kinerja yang belum optimal. Petani sering menerima air irigasi tidak tepat jumlah dan tidak tepat waktu. Dengan kondisi kerusakan jaringan irigasi secara makro cukup besar, maka pengelolaan irigasi yang lebih aktual sangat diperlukan. Dengan demikian peranan irigasi dalam pemenuhan kebutuhan air dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Perkembangan teknologi dalam bidang irigasi terus dilakukan guna meningkatkan efisiensi penggunaan air serta untuk memaksimalkan water productivity sebagai tujuan modernisasi irigasi, salah satunya yaitu irigasi intermittent yang merupakan teknologi irigasi hemat air. Irigasi hemat air pada padi sawah merupakan upaya untuk menekan kehilangan air di petakan sawah untuk mempertahankan atau meningkatkan hasil gabah per satuan luas dan volume air. Selain dari penerapan irigasi hemat air, penentuan pola tanam juga sangat berpengaruh terhadap water productivity suatu irigasi. Ketersediaan air irigasi menentukan pola tanam yang akan diterapkan. Di samping pola tanam, sistem pengolahan tanah juga berpengaruh terhadap water productivity suatu daerah irigasi. Pengolahan tanah sangat berperan dalam menjaga ketersediaan air dan mengurangi laju perkolasi air pada lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pengelolaan operasi irigasi intermittent. Model pengelolaan operasi irigasi yang dikembangkan fokus pada penghematan air, untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air dan memaksimalkan water productivity. Beberapa pembahasan dalam riset ini antara lain: (1) pengaruh pengolahan tanah dan penambahan jerami terhadap kebutuhan air penyiapan lahan padi sawah; (2) studi dampak irigasi hemat air pada budidaya padi terhadap produktivitas dan nilai manfaat air irigasi; (3) analisis pola tanam dengan Citra MODIS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pengolahan tanah dengan bajak dan gelebeg bertenaga traktor tangan dan penambahan jerami sebanyak 15.6 ton/ha berpengaruh terhadap sifat fisik tanah dan kebutuhan air penyiapan lahan. Pengolahan tanah dua tahap dengan penambahan jerami segar sebanyak 15.6 ton/ha (PT2J1) yaitu sebesar 197.01 mm atau 9.85 mm/hari. Kebutuhan air penyiapan lahan pada percobaan ini tidak jauh berbeda dengan kebutuhan air penyiapan lahan pada Kriteria Perencanaan Irigasi 01 oleh Direktorat Jendral Departemen Pekerjaan Umum (1986) yaitu sebesar 250 mm (8.33 mm/hari) atau 300 mm (10 mm/hari) dengan lama pengolahan 30 hari dan tanah bertesktur berat. Penerapan irigasi hemat air dengan pengaturan ketersediaan air lahan pada kondisi kapasitas lapang memberikan hasil produktivitas padi aktual lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi jenuh dan 50 % air tersedia. Produktivitas lahan aktual tertinggi yaitu 7 ton/ha, dengan nilai produktivitas air tanaman sebesar 2.15 kg/m3, nilai produktivitas air irigasi untuk mencukupi kebutuhan sebesar 1.70 kg/m3, dan nilai manfaat air sebesar 1.17 kg/m3. Pada Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur terdapat 3 (tiga) musim tanam dalam satu tahun kalender tanam dengan pola tanam dua kali padi dan satu kali iii palawija atau campuran (padi dan palawija). Akurasi penentuan jenis tanaman berdasarkan hasil analisis data NDVI citra MODIS pada MT 1 sebesar 80%, MT 2 sebesar 80%, dan MT 3 sebesar 70 %. Model pengelolan operasi irigasi intermittent pada Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur dengan pola tanam padi-padi-palawija, yaitu pengaturan air irigasi dengan sistem golongan dengan urutan awal musim tanam golongan 2 (November 1), golongan 3 (November 2), dan golongan 1 (Desember 1). Selang interval pemberian air irigasi adalah 3 hari, dengan rata-rata pemberian air irigasi per hari pada MT 1 yaitu 0.40 liter/detik/ha (golongan 1), 0.50 liter/detik/ha (golongan 2), dan 0.34 liter/detik/ha (golongan 3). Pada MT 2 yaitu 0.43 liter/detik/ha (golongan 1), 0.46 liter/detik/ha (golongan 2), dan 0.38 liter/detik/ha (golongan 3). Pada MT 3 yaitu yaitu 0.48 liter/detik/ha (golongan 1), 0.46 liter/detik/ha (golongan 2), dan 0.37 liter/detik/ha (golongan 3). Pengembangan model pengelolaan operasi irigasi intermittent mempunyai peluang dalam meningkatkan kinerja irigasi, terutama dalam peningkatan produktivitas air irigasi, sesuai dengan sasaran dari modernisasi irigasi. Dimana sistem pembagian dan pemberian airnya didasarkan kebutuhan air (on demand). Pengaturan ketersediaan air irigasi pada kapasitas lapangan, mampu menerapkan konsep pengelolaan irigasi intermittent, yaitu interval pemberian air irigasinya 3 hari. Pengelolaan operasi irigasi intermittent bertolak dari nilai set point karakteristik tanah, yaitu pada kondisi kapasitas lapang. Perencanaan operasi irigasi berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan debit andalan. irigasi hemat air, modernisasi irigasi, produktivitas air irigasi, operasi irigasi intermittent
Dynamic Model for Irrigation Infrastructure Maintenance (Cihea Irrigation Area Case Study). Penelitian ini menggunakan pendekatan pemodelan dinamis dengan menggunakan aplikasi powersim. Tujuan penelitian ini adalah 1) membuat model simulasi pemeliharaan prasarana irigasi di daerah irigasi Cihea dan 2) melakukan simulasi dengan skenario pengembangan sistem irigasi untuk meningkatkan produksi padi. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi lapangan dengan mengamati parameter yang diteliti dan mengumpulkan data primer dan sekunder pada jaringan irigasi Cihea. Hasil kajian, kondisi fisik jaringan irigasi Cihea dapat dikategorikan “rusak sedang” karena memiliki tingkat kerusakan 21%-40%, efisiensi rata-rata menurun 1% per tahun, dan rata-rata ketersediaan air untuk sistem irigasi Cihea adalah 10.905.548,94 m³/tahun. Berdasarkan hasil simulasi model kondisi saat ini, efisiensi irigasi menurun sepanjang tahun. Peningkatan produksi mengikuti peningkatan efisiensi dalam simulasi model yang menggunakan skenario. Pada tahun 2025 produksi akan meningkat sebesar 4,83% pada skenario moderat (192539,61 ton /tahun) dan 8,1% pada skenario optimis (204078,24 ton/tahun). Skenario optimis akan meningkat sebesar 20,4% (230213,42 ton/tahun) pada tahun 2045, sedangkan skenario moderat akan meningkat sebesar 11,2% (206569,09 ton/tahun). Kerusakan aset dapat dikurangi dengan meningkatkan pendanaan pemerintah dan kontribusi petani. Skenario optimis lebih baik daripada skenario moderat karena mengurangi kerusakan aset lebih cepat, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan nilai neraca air dan produksi padi. irrigation, efficiency, dynamic system models, scenarios, rice production
Screening and characterization of protease inhibitor from bacteria-associated with sponge, from pulau Panggang waters, Seribu islands The important causing cause foodborne diseases are Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Listeria spp. and Pseudomonas aeruginosa. Protease produced by these bacteria are involved in the molecular mechanisms of the diseases. Therefore, there has been rapidly increase concern on proteases as medical target for bacterium diseases. Various sponges has been reported to produce protease inhibitor which could inhibit protease activity of pathogenic bacteria. The previous research showed that bacteria-associated with sponge could produce bioactive compound similar with their host. Therefore, there is a possibility that the bacteria also produce protease inhibitor. sexual behavior, marine commodity, nuclear magnetic resonance, spermatozoa quality, essential amino acids
Development of mathematical model for robusta coffee decaffeination process in a single column reactor Consumers drink coffee not as nutrition source, but as refreshment drink. For coffee consumers who have high tolerance for caffeine, coffee may warm up and refresh their bodies. However high caffeine content in coffee beans may cause health problems to consumers who are susceptible to caffeine. One of the efforts for coffee market expantion is product diversification to decaffeinated coffee. The general objective of this research was to optimize decaffeination process of robusta coffee in single column reactor with leaching method. The specific objectives of this research were to study process characteristic of Robusta coffee decaffeination in single column reactor using acetic acid as solvent, to develop mathematical model for predicting decaffeination time with leaching method, and to optimize process decaffeination of robusta coffee using developed model. Temperature (T) and concentration (c) of solvents were both variables analysed in decaffeination process. Mathematical model validation was checked by comparing prediction time (t-predict) versus observation time (t-obsr). Mathematical model was valid if the result showed that determination coefficient value (R2) > 0.75. Coffee decaffeination was processed using vertical single column reactor. A simple mathematic model for caffeine kinetic description during the extraction process (leaching) of coffee bean was developed. A non-steady diffusion equation coupled with a macroscopic mass transfer equation for solvent was developed and then solved analytically. The kinetic of caffeine extraction from coffee bean was expressed by:         - =- - - + - - 0.3 0.3 ).(4.4106. exp )( 3.3319 10.302)) ln 2 (det) (( 0 0.01282 ( 1041.82 / ) 1 2 A T AS c c c d d t p where d was coffee beans diameter (m), c was solvent concentration (%), T was solvent temperature (K), and cAS was caffeine content at-t (%). In the first step of decaffeination process, coffee beans was steamed during 1.5 hours using water vapour, and continued with leaching process using acetic acid, effluent of fermented cocoa beans, and tertiary solution of fermented cocoa pulp as solvents. Linier regression analysis showed that t-obsr = 0.8914. t-predict + 0.5045 with R2 0.9326 for acetic acid, t-obsr = 0.771.t-predict + 2.8137 with R2 0.9556 for effluent of fermented cocoa beans, and t-obsr = 0.8825.t-predict + 2.8354 with R2 0.7727 tertiary solution of fermented cocoa pulp as solvents. Response Surface Methodology (RSM) showed that optimum condition for coffee beans decaffeination was 0.4976%/hours decaffeination rate and 4.99 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 69% solvent concentration using acetic acid as solvent; 0.3426%/hours decaffeination rate and 5.68 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 55% solvent concentration using effluent of fermented cocoa beans as solvents; and 0.3016%/hours decaffeination rate and 6.57 hours decaffeination time with 100oC solvent temperature and 70% solvent concentration using tertiary solution of fermented cocoa pulp as solvent. The developed mathematical model can be used in designing single column reactor for coffee decaffeination process, to predict decaffeination time and rate, and decaffeination process in optimum condition using acetic acid, effluent of fermented cocoa beans, and tertiary solution of fermented cocoa pulp. robusta coffee, mathematical model, decaffeination process, single column reactor
Design of differential accounting systems model inthe black tea groindustry Indonesia was the world's sixth largest producer of tea commodity, after India, China, Srilangka, Kenya, and Turkey in the year of 2002. In the same year, Indonesia was the world's fifth largest exporter of the tea commodity, after Srilangka, Kenya, China, and India. During the last nine years, the export of Indonesian tea decreased from 129,900 tons in 1993 to 102,000 tons in 2002, a decrease by an average of two percent per year. This has caused the decrease of Indonesian market share of tea from 10.8 percent in 1993 to 7.2 percent in 2002. The situation has worsened by the fact that the export price of the Indonesian tea in the world market was also the lowest compared to the other tea producing countries. During the period of 1990 - 1998, the average price of the Indonesian tea was only 55.6%; 59.2%; and 74.6% of the average price of India, Srilangka, and Kenya respectively. The decreaisne sales volume and the lowest export price could be attributed to the poor management practices. To improve the efectiveness of the management of the Indonesian black tea ago-industry, a diferential accounting systems model was designed and developed as an integrated short and long-term strategies through which the industry could improve its competitiveness. The general objective of the study is to design a differential accounting systems model in the black tea ago-industry, in order to determim the cost of production, to analyse and to evaluate the performance of the black tea-agro-industry both for new planting and replanting models. Since the black tea ago-industry involves numerous complex inter-related factors, systems of approaches were used in the study. The decision-making computational models used in the study were Soft Systems Methodology (SSIY), Interpretive Structural Modeling (ISM, cost-profit-volume (CVP) analysis, financial ratio analysis. The sensitivity analysis is also used to find out the influences of the increase of production costs, the decrease of product price, and the changes of rupiah currency value toward the US dollar. The models were designed for both new planting and replanting models. Each model was then validated by using actual performance of the black tea ago-industry obtained from PT. Perkbunan Nusantara VIII (PTPN VIII) and Pusat Penelitian Teh dun Kina (PPTK) Gambung, and the standard of soundJinancia1 measurement for stateowned companies stated in the decree of the Finance Ministry of the Republic of Indonesia. The validations show that the differential accounting systems model fits the performance of the industry, for both models. However, the sensitivity analysis shows that the black tea agro-industry was very sensitive towards the factor changes, such as the decrease of product price, the increase of operating costs, and the depreciation of the local currency.
Strategi Pemgembangan Industri Barang Jadi Karet di Sumatera Selatan Provinsi Sumatera Selatan adalah penghasil utama karet alam di Indonesia. Meskipun Sumatera Selatan merupakan penghasil karet yang besar di Indonesia tetapi hingga saat ini tidak ada industri barang jadi karet yang berkembang di wilayah ini. Padahal adanya industri hilir karet akan mendatangkan manfaat dan keuntungan yang lebih besar daripada menjualnya dalam bentuk bahan mentah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan strategi pengembangan industri barang jadi karet di Sumatera Selatan. Untuk mendapatkan peta kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman dan strategi bisnis dilakukan analisis SWOT, untuk mendapatkan perencanaan kebijakan strategis dilakukan analisis Interpretative Structural Modeling (ISM), untuk mendapatkan strategi proses industri dilakukan pemetaan proses menggunakan teknik IDEFO, untuk pemilihan jenis industri potensial, faktor kunci keberhasilan pengembangan dan penentuan model pengembangan dilakukan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kekuatan pengembangan industri barang jadi karet di Sumatera Selatan adalah ketersediaan bahan baku karet alam, ketersediaan tenaga kerja yang banyak, potensi pasar yang besar, dukungan pemerintah dan kemampuan penerapan teknologi. Kelemahan adalah sulit mendapatkan bahan penolong, terbatasnya tenaga terampil, insentif yang belum mendukung, minim penguasaan teknologi dan kepercayaan konsumen yang rendah terhadap produk yang dihasilkan. Peluang pengembangan adalah kebutuhan barang jadi karet yang terus meningkat, terbukanya pasar ekspor dan substitusi impor, pengembangan jenis produk yang semakin beragam, komitmen pemerintah dalam pengembangan industri barang jadi karet dan perbaikan teknologi oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi. Ancaman pengembangan adalah masuknya produk impor, bisnis perkaretan yang didominasi oleh pemilik asing dan terjadinya konversi tanaman karet untuk tanaman lain. Strategi pengembangan yang dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan teknis dan penguasaan teknologi, teknik pemasaran yang baik, penciptaan produk bermutu dengan biaya yang efisien dan penerapan manajemen yang baik. Perencanaan kebijakan strategis yang meliputi tujuan pengembangan, kebutuhan pengembangan, kendala pengembangan, lembaga pendukung dan sektor masyarakat yang terpengaruhi telah memberikan keyakinan bahwa pengembangan industri barang jadi karet di Sumatera Selatan sangat dibutuhkan untuk diwujudkan. Proses industri dengan berbasis lateks dan proses berbasis karet padat. Industri yang potensial adalah industri kompon, industri komponen kendaraan, industri alas kaki, sovenir, industri perlengkapan rumah tangga dan sarung tangan. Faktor kunci keberhasilan pengembangan meliputi proses produksi dan kualitas produk, bahan baku, sumberdaya manusia, modal dan keuangan, jiwa kewirausahaan, pemasaran dan program pembinaan. Model pengembangan adalah klaster yang diharapkan mampu mengembangkan komunitas (community development) secara bisnis (business development). strategy, development, finished rubber product industry
Study on spatio-temporal dynamics of weed communities in rice field landscape of Ciliwung-Cisadane watershed The distribution of rice field landscape of Ciliwung-Cisadane Watershed through from lowland (in the down stream) until highland (in the upper stream). Gradually, the condition of rice field landscape in the lowland di fferent with in the highland. The differences of biophysical condition come to differ of weed composition growing. Weed problem always present as part of rice cultivation. Weed infestation cause to injury competition, so weed control is a necessity. Up to now, the planning of weed control strategy based on vegetation analysis are valued still often not too exactly. This is caused vegetation analysis no give enough information about the changing of weed communities of different time and its distribution of various locations as well as the influential factors in a regional scale with vries biophysical conditions. The objectives of this research were (1) to analyze the pattern of rice field distribution in Ciliwung-Cisadane Watershed, (2) to analyze the composition of weed community and dominant weed species along with their variation through season/stage of rice crop growth, (3) to analyze the distribution of weed dominan species and weed infestation level together with their changing through season/stage of rice crop growth, (4) to analyze the correlation among factors which were influential of weed infestation, rice production, and efficiency of rice farming, and (5) to formulate the supposition models the effect of physical environments, cultivation practices, socio-economics and accessibilities to weed infestation level, rice production, and efficiency of rice farming. Distribusi lahan sawah, Distribusi jenis gulma, Usahatani padi sawah
Indeks keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang : Studi kasus di pulau Jawa, Rice field sustainability index for supporting spatial use management: case study in Java island Pulau Jawa sebagai lumbung beras nasional berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Rapuhnya ketahanan pangan di pulau Jawa dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat ini, keberlanjutan lahan sawah di pulau Jawa yang berperan menjaga ketahanan pangan nasional tersebut sedang menghadapi masalah karena peningkatan jumlah penduduk yang dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi pangan dan kebutuhan lahan permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menetapkan zona agroekologi lahan sawah sebagai basis kajian keberlanjutan, (2) menentukan daya dukung lahan sawah di setiap wilayah provinsi, (3) menentukan indeks keberlanjutan pertanian lahan sawah berdasarkan zona agroekologi, dan (4) merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi untuk mendukung penataan ruang dalam rangka mewujudkan pertanian lahan sawah berkelanjutan., A Java island, rice bowl of Indonesia, plays an important role in protecting the national food security. The weekness of the national food security threatens the national unity of the Republik of Indonesia (NKRI). Currently, the sustainability of rice fields of Java which supports the national food security is facing the problems due to the increase of population which causes multidimensional impacts. Rice field agro-ecological zone, Spatial use management, Rice field sustainability, Common pool resource
Biology and ecology of the citrus red mite, Panonychus citri (McGregor) (acari: tetranychidae) Citrus Red Mite (CRM), Panonychus citri (McGregor) (Acari: Tetranychidae), is an exotic species potential harmful to citrus orchards in Indonesia. The objectives of this research are: a) to determine the abundance of CRM, other mites, and natural enemies of CRM at various citrus orchards, b) to study biology, life cycle, and population growth potential of CRM, c) to study biology, life cycle, and population growth potential of predatory mite Amblyseius lingispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), and d) to evaluate prey preference and predation rate of A. longispinosus.
Kajian Organ Mandibular Dan Pemanfaatannya Sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla Olivacea. Organ Mandibular (OM) pada krustasea memiliki peranan penting dalam proses fisiologi, salah satunya adalah molting. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi OM dari kepiting bakau, mempelajari perkembangan fisiologinya, membuktikan keberadaan enzim melalui pendekatan RNA, membuktikan peranan OM, dan mengklarifikasi dosis terbaik dalam menstimulasi molting. Terdapat empat tahapan penelitian yang didesain untuk mengkaji OM dan peranannya dalam molting kepiting bakau jenis Scylla olivacea. Pertama, untuk mengidentifikasi OM kepiting bakau dan mempelajari struktur morfologinya. Identifikasi dilakukan melalui pembedahan terhadap kepiting bakau sehat, koleksi organ, pengukuran, dokumentasi dan bantuan korespondensi peneliti yang kompeten dalam organ mandibular. Struktur morfologi organ diamati melalui Scanning Electron Microscope (SEM) menggunakan prosedur preparasi spesimen padat. Penelitian tahap pertama berhasil menemukan OM pada kepiting bakau, yakni berbentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat, berpasangan, diameter berkisar 1-3 mm. Pengamatan dengan SEM memperlihatkan struktur organ yang halus dengan selubung jaringan pengikat. Ukuran OM pada kepiting jantan lebih besar dibandingkan kepiting betina, demikian pula kepiting dalam fase premolt memiliki OM yang lebih besar dibandingkan intermolt. Keberhasilan tahap pertama menjadi acuan awal untuk menggunakan kepiting jantan fase premolt sebagai donor OM. Kedua, menentukan keterkaitan bobot OM dengan bobot tubuh (BT), dan bobot organ Y (OY), pada kepiting jantan dan betina yang berada dalam fase intermolt dan premolt. Kepiting uji yang digunakan memiliki kisaran BT 120-130 g/individu, sebanyak 200 individu. Koleksi organ dilakukan dengan cara kepiting dianastesi pada air bersuhu dingin. Pembedahan dilakukan dengan hati-hati agar organ tetap berada pada posisi semula, selanjutnya organ dipisahkan dan dilakukan penimbangan. Hasil perhitungan indeks organ disajikan dalam persamaan regresi linier sederhana untuk menentukan keterkaitan hubungan bobot OM, dengan BT, dan OY. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bobot OM pada kepiting jantan dan betina mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan BT dan OY, di mana dalam fase premolt lebih besar dibandingkan intermolt. Hasil penelitian juga menunjukkan bobot OM pada kepiting jantan lebih berat dibandingkan kepiting betina. Ketiga, menentukan keberadaan Farnesoate Acid Methyl Transferase (FAMeT) dalam OM kepiting bakau. Total RNA diperoleh menggunakan kit RNeasy mini (Qiagen), ethanol 70%, dan air bebas RNase. Amplifikasi RNA penyandi FAMeT menggunakan SuperScript III OneStep RT-PCR with Platinum Taq Polimerase (Invitrogen) untuk sintesis cDNA. Primer yang digunakan adalah FAMeTQ1 5′-GGCACGGACGAGAACAA-3′ dan FAMeTQ2 5′-GCGACGCTGAAGGAGAT-3′. Sementara primer yang digunakan untuk mendeteksi β-aktin adalah β-aktinF 5′ GAGCGAGAAATCGTTCGTGAC-3′ dan β-aktinR 5′-GGAAGGAAGGCTGGAAGAGAG-3′. Pada penelitian ini penemuan amplikon gen β-aktin kepiting bakau yakni 202 bp, menunjukkan keberhasilan ekstraksi RNA dari OM. Ekspresi mRNA penyandi FAMeT dari OM mengindikasikan peranan enzim tersebut sebagai konverter asam farnesoat (AF) menjadi metil farnesoat (MF). Hasil pengukuran konsentrasi total RNA penyandi FAMeT yang mengalami peningkatan dari intermolt ke premolt mengindikasikan peningkatan MF dalam OM kepiting bakau; sehingga pada penelitian tahap ketiga dijadikan acuan pemilihan kepiting donor dari fase premolt. Keempat, membuktikan peranan ekstrak OM terhadap molting, pertumbuhan, keserentakan molting, dan kelangsungan hidup. Ekstrak OM diperoleh dari kepiting bakau jenis S. olivacea jantan yang berada pada fase premolt dengan kondisi tubuh yang sehat. Kepiting uji disuntik dosis tunggal ekuivalen melalui membran pada pangkal kaki renang, menggunakan syringe 1 ml dengan jarum suntik 27 gauge. Penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT berhasil membuktikan peranan ekstrak OM dalam meningkatkan persentase molting, masa laten, keserentakan molting, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Respons pertumbuhan mutlak kepiting bakau tidak menunjukkan perbedaan antara kontrol dan perlakuan injeksi. Klarifikasi dosis ekuivalen terbaik dilakukan dengan mengamati kemajuan molting, meliputi masa laten retraksi, retraksi epipodit, histologi, dan kuantifikasi ekdisteroid dalam hemolimfa. Hasil klarifikasi mendukung perlakuan penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT sebagai dosis terbaik. Hasil-hasil yang diperoleh dalam kajian ini menyarankan untuk menggunakan dosis ekuivalen 0.016 mg/g BT sebagai dosis optimal dalam budidaya kepiting lunak. kelangsungan hidup, molting, organ mandibular, Scylla olivacea, tumbuh
Kajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)pada kondisi lingkungan pemeliharaan berbeda Major constrain in the pearl oyster breeding that are lowest of growth and development of larvae to spat and also low survival rate. One of the affected factors its unknown the optimum of rearing environment conditions, such as temperature, salinity, dissolved oxygen and light intensity. The objective of this research was to determine feeding activity, levels of food consumption, types and correct density of feed for optimizing of larvae growth and development of spat so that obtained high survival rate. This research consisted of four levels experiments, which are the study of larvae rearing in laboratory, spat rearing in laboratory, rearing of larvae and spat under optimum environment condition and study of spat rearing in the sea. Factorial completely randomized design was applied to know that effect of types and feed density, physiology response of larvae and spat to the levels of temperature and salinity. Completely randomized design was applied to the study of response of larvae and spat to the levels of light intensity. Randomized block design was applied to the study of spat in natural sea waters. Spat Pearl Oyster, Feeding Schedule, Food Consumption
Bivalent vaccine for Motile Aeromonas Septicemia and Streptococcocis in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Etiological agents of common fish diseases are the Gram-negative Aeromonas hydrophila and the Gram-positive Streptococcus agalactiae, both are considered severe fish pathogens on account of their ability to cause damaging disease outbreaks in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). The occurence of co-infections between A. hydrophila and S. agalactiae at Waduk Cirata was about 20% per populations. Clinical signs appeared soon after infection, and include depression or excitability, anorexia, C-shaped body posturing, erratic swimming and whirling, and death. Aeromonas hydrophila and S. agalactiae cultures were not able to inhibit each other and showed negative results from antimicrobial activity, both are succeptible to antibitoics Tetracycline and Chloramphenicol. Nile Tilapia also were clinically examined and necropsied for histopathology, samples were taken from kidney, brain, liver, and spleen. Histopathological lesions were grouped into two characteristic patterns. The first pattern consisted focal lesion and inflammation. The second pattern consisted of multifocal lesion, necrotic, and inflammatory lesions resulting organ deformation. The mortality patterns of Nile Tilapias showed acute and chronic infections to Motile Aeromonas Septicemia, sub-acute infection to Streptococcocis. There was a homeostatic balances on hematological respons during co-infection. Aeromonas hydrophila AHL0905-2 and Streptococcus agalactiae N14G, were used as an inactivated A. hydrophila and S. agalactiae vaccine. Different vaccine preparations and formulations for vaccination of Nile Tilapia species were tried by adding neutral buffered formalin 3% to the bacterial culture (bacterin). The safety of formalin inactivated vaccine is still questionable by some aquaculture practitioners, but the sterility and safety test results of the bivalent vaccine was safe to use through intraperitoneal injection route. An antibody response was detected at the 1st week that rose significantly (p<0.05) at the 3th week post immunization in all the immunized groups. Similarly, there were significant difference (p<0.05) in the humoral immune response between groups immunized with single and mixed bacterial antigens. Upon challenge with single pathogen, a high relative percent survival was recorded in the group immunized with mixed bacterial antigens and was comparable to those fish immunized with the single bacteria. The value of relative per cent survival from bivalent vaccine mixed whole cell+ECP was 100% and 86.2% to single infections and 56.7% to co-infections, indicate that this vaccine was eficient in Nile Tilapia.
Impact of biofuel production in the indonesian economy The biofuel development policy in Indonesia is intended to contribute to increasing economic growth and job creation, decreasiing poverty, mitigates climate change, and improve energy security. The policy is built through Presidential Decree Number 5 in 2006. The mandate for biofuel consumption more than 5 percent in 2025. The objectives of the study were an analysis of implementation of biofuel development of production in Indonesian economy. This research applied the Recursive Dynamic General Equilibrium (RDGE) model by Indonesian Forecasting. Five simulations were used, namely, (1) increasing of biofuel demand, (2) to increase biofuel agriculture land expansion, deforestation, and capital, (3) to measure agricultural and biofuel productivity, (4) to rise international food price’s and biofuel substitute price’s, (5) to increase biofuel subsidy, and (6) to raise demand for land of palm oil and cassava. The results showed that the policy of biofuel mandate implementation would increase economic growth, rise household income, and improve carbon emission, but threatens food security and feed, declines employment in non biofuel agriculture. An increase of demand for land of palm oil and cassava would eliminate trade-off energy development, food, and feed. The suggest to government, (1) used to palm oil for biosolar and cassava for bioetanol feedstocks to substitute oil import, (2), eliminate oil subsidy to biofuel subsidy for increase biofuel research and development, and (3) developt biofuel re-export potentially.
Impact of biodiesel development toward derivative product crude palm oil nasional industry Berkurangnya hasil minyak bumi dari waktu ke waktu akan terjadinya kelangkaan keperluan bahan bakar minyak bagi roda perekonomian di berbagai sektor khusus nya sektor transportasi, industri dan kelistrikan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan mencari alternatif sebagai bahan penganti bahan baku miyak bumi yang berbasis eksplorasi dengan bahan baku yang berbasis tanaman atau nabati. Dalam penelitian ini dipilih kelapa sawit sebagai bahan baku alternatif tersebut dimana Indonesia termasuk penghasil terbesar di dunia. Secara umum tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap produk turunan kelapa sawit yang berbasis pangan. Untuk mencapai tujuan ini, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Model ini menggunakan metode 2SLS. Hasil pendugaan parameter model digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan. Skenario 1 yaitu dilakukan pengembangan biodiesel 20 persen berakibat pada peubah dominan yaitu kenaikan harga tandan buah segar 4.72 persen, konsumsi minyak sawit naik 24.99 persen, impor minyak diesel turun 5.83 persen, permintaan minyak goreng sawit naik 8.43 persen dan permintaan margarin naik 10.36 persen.
Kompetisi dan kinerja lembaga keuangan pedesaan di Tapanuli Utara Sebelum kebi jakan Pakto 27, 1988, lembaga keuangan pedesaan di Tapanuli Utara terdiri dari 14 buah BRI unit desa, 1 buah Bank Pasar dan 13 buah Credit Union (CU) . Lembaga keuangan tersebut tidak merasakan adanya persaingan diantara mereka, karena masing-masing mempunyai segmen pasar yang berbeda baik dari segi tabungan maupurt kredit. Tetapi sejak kebijakan Pakto 27, 1988, yang memberi kemudahan dalam mendirikan lembaga keuangan formal, khususnya BPR, lembaga keuangan pedesaan di Tapanuli Utara mulai merasakan adanya persaingan, baik sesama lembaga keuangan formal maupun antara lembaga keuangan formal dengan lembaga keuangan non formal. Disamping itu, kebijakan tersebut diharapkan dapat memobilisir tabungan masyarakat sehingga kebutuhan kredit mereka dengan bunga pinjaman yang relatif rendah dapat terpenuhi.
Kajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)pada kondisi lingkungan pemeliharaan berbeda Major constrain in the pearl oyster breeding that are lowest of growth and development of larvae to spat and also low survival rate. One of the affected factors its unknown the optimum of rearing environment conditions, such as temperature, salinity, dissolved oxygen and light intensity. The objective of this research was to determine feeding activity, levels of food consumption, types and correct density of feed for optimizing of larvae growth and development of spat so that obtained high survival rate. This research consisted of four levels experiments, which are the study of larvae rearing in laboratory, spat rearing in laboratory, rearing of larvae and spat under optimum environment condition and study of spat rearing in the sea. Factorial completely randomized design was applied to know that effect of types and feed density, physiology response of larvae and spat to the levels of temperature and salinity. Completely randomized design was applied to the study of response of larvae and spat to the levels of light intensity. Randomized block design was applied to the study of spat in natural sea waters. Spat Pearl Oyster, Feeding Schedule, Food Consumption
Model Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Kecil Bagi Perikanan Budidaya Multi-Spesies Berkeseimbangan dan Berkelanjutan (Studi Kasus Perairan Teluk Sathean Maluku Tenggara) Kawasan pesisir Teluk Sathean memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan budidaya. Perikanan budidaya yang telah berkembang saat ini adalah budidaya tiram mutiara dan rumput laut. Salah satu persoalan penting terkait budidaya kedua biota pada perairan Teluk ini adalah pembagian alokasi masing-masing biota secara optimum sehingga tidak melebihi daya dukungnya. Untuk itu diperlukan pemanfaatan lahan yang optimal berdasarkan analisis kesesuaian perairan dan daya dukung. Budidaya tiram mutiara dan rumput laut mengandalkan ketersediaan sumberdaya (pakan dan nutrisi berupa nutrien nitrogen, N, dan fosfor, P) dari perairan sekitarnya untuk pertumbuhan. N dan P adalah sumberdaya penting yang dibutuhkan baik oleh tiram maupun rumput laut. Dengan demikian ketersediaan jumlah N dan P di perairan dan di jaringan kedua biota akan menentukan jumlah maksimal kedua biota yang dapat ditampung perairan ini. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menentukan daya dukung perairan Teluk Sathean berdasarkan keseimbangan nutrien untuk pengembangan budidaya tiram mutiara dan rumput laut secara berkelanjutan. Metode survei dipakai untuk memperoleh data-data karakteristik hidromorfologi lingkungan perairan yang merupakan dasar penentuan kesesuaian atau kelayakan perairan dan daya dukungnya. Analisis pembobotan dan skoring digunakan untuk mengevaluasi kelayakan dan kesesuaian perairan dilanjutkan dengan analisis Sistem Informasi Geografis (GIS) untuk menentukan lokasi dan luasan perairan optimal sesuai kelayakan untuk pemeliharaan kedua biota. Terakhir untuk menentukan jumlah optimal masing-masing biota yang dapat ditampung dilakukan analisis daya dukung berbasis keseimbangan N dan P. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terdapat fluktuasi nilai parameter kualitas perairan antar waktu pengamatan. Demikian pula secara spasial, tidak terdapat perbedaan besar fluktuasi nilai parameter kualitas perairan antar Stasiun. Dengan demikian mengindikasikan bahwa kualitas keseluruhan perairan Teluk Sathean secara spasial seragam atau tercampur merata. Luas teluk secara keseluruhan adalah 381,7 ha saat pasang dan 347,2 ha saat surut. Kedalaman paling jauh adalah 64 meter dengan rerata kedalaman 21,7 m. Jenis pasang surut di perairan ini adalah pasang surut campuran harian ganda dengan tunggang air maksimum 2,60 m. Volume perairan saat pasang sekitar 84,937 x 109 L dan saat surut 75,165 x 109 L, yang menyebabkan waktu pembilasan sekitar 4,346 hari. Level hipernutrifikasi yang bersumber dari bagian luar perairan lebih besar dari yang bersumber dari aktivitas antropogenik di daratan. Lahan perairan layak untuk budidaya tiram mutiara dan rumput laut dideterminasi berdasarkan kedalaman dan parameter kualitas perairan. Luas lahan perairan yang layak untuk budidaya tiram mutiara dan rumput laut berturut-tutur 335,33 ha dan 291,40 ha. Lahan yang tidak sesuai untuk budidaya kedua biota terletak di bagian tengah teluk, kedalaman pada lokasi ini melebihi 40 m. Kecuali fosfat yang konsentrasinya berada di luar kisaran toleransi kedua biota, semua parameter kualitas perairan lainnya, sesuai untuk budidaya kedua biota di perairan ini. Daya dukung fisik kawasan Teluk Sathean untuk budidaya tiram mutiara terdiri dari 58 unit budidaya masing-masing berukuran 5 ha, dengan jumlah tiram ukuran tinggi cangkang <7 cm sebanyak 1.948.417 individu, tinggi 10-15 sebanyak 811.840 individu, dan tinggi >15 cm 649.472 individu. Sementara untuk rumput laut, kawasan ini secara fisik mampu mendukung 573 unit budidaya rumput laut, produksi total 1.582 ton. Pemeliharaan kedua biota belum melampaui daya dukung kedua biota. Dari hasil penghitungan, kadar nitrogen dalam bentuk DIN dan fosfat dalam bentuk DIP di perairan Teluk Sathean sampai dengan kedalaman 10 m adalah 2.929.517 g dan 395.881 g. Sementara itu, tiram mutiara berukuran 5±2 cm mengandung 0,023 g DIN dan 0,002 g DIP, berukuran 13±2 cm ada 0,663 g DIN dan 0,069 g DIP, serta ukuran 18±2 cm terdapat 1,509 g DIN dan 0,158 g DIP. Hasil penghitungan daya dukung Teluk Sathean untuk budidaya tiram mutiara ukuran 5±2–18±2 berdasarkan DIN adalah 1.941.356-124.918.002 tiram, membutuhkan 174-3.736 unit budidaya, lahan seluas 871-18.682 ha. Bila berdasarkan ketersediaan DIP di perairan, daya dukung menjadi 2.508.072-162.058.084 tiram, memerlukan 225-4.848 unit budidaya yang memerlukan lahan perairan seluas 1.125-24.241 ha. Pemeliharaan tiram mutiara saat ini di Teluk Sathean belum melampaui daya dukung dengan pendekatan keseimbangan nutrien. Pada jaringan satu rumpun rumput laut berumur 1 hari terdapat 0,045 g DIN dan 0,007 g DIP, berumur 15 hari ada 0,072 g DIN dan 0,011 g DIP, berumur 30 hari 0,138 g DIN dan 0,021 g DIP, dan berumur 45 hari 0,252 g DIN dan 0,037 g DIP. Dari hasil penghitungan diperoleh daya dukung Teluk Sathean untuk budidaya rumput laut berbasis DIN adalah 6.481,2 ton (umur 1 hari), 6.620,8 ton (umur 15 hari), 6.734,4 ton (umur 30 hari), dan 6.622,1 ton (umur 45 hari). Bila berbasis DIP daya dukung Teluk Sathean untuk budidaya rumput laut adalah 5.907,5 ton (umur 1 hari), 6.6034 ton (umur budidaya 15 hari), 6.138,3 ton (umur 30 hari), dan 6.036,0 ton (umur 45 hari). Hanya untuk kondisi eksisting budidaya rumput laut di Teluk ini belum melebihi nilai daya dukungnya. Berdasarkan proporsi DIN masing-masing biota terhadap DIN total di air, alokasi luas lahan termanfaatkan untuk budidaya masing-masing adalah 0,24 untuk tiram mutiara dan 0,76 untuk rumput laut. Untuk menentukan jumlah individu tiram mutiara dan rumput laut, proporsi dikalikan lahan termanfaatkan dibagi luas satu unit budidaya, kemudian hasilnya dikalikan dengan jumlah tiram per unit budidaya. Sedangkan jika alokasi didasarkan pada hubungan lepasan (ekskresi) DIN tiram mutiara dan serapan rumput laut menghasilkan rasio 16 tiram mutiara berbanding : 1 rumput laut. daya dukung, tiram mutiara, rumput laut, nitrogen, fosfat, teluk Sathean
Evaluation of Dietary Cinnamaldehyde Supplementation On The Growth, Nutrient Utilization, Protein Sparing, and Fillet Quality of Nile Tilapia Oreochromis niloticus Cinnamaldehyde is an active organic compound and an aromatic aldehyde substance found in cinnamon oil. It is a new feed supplement for animals that can improve growth, nutrient digestion and absorption, lipid use, and immunity. The present study evaluated the effects of dietary trans-cinnamaldehyde 98 % (CIN) on nutrient utilization, antioxidant capacity, and growth performance in Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Juveniles used was weighing at about 19.77 ± 0.10 g received dietary CIN at different doses (0, 0.25, 0.5, 0.75, and 1.0 g/kg feed). The fish were maintained in a glass aquarium of 95 × 45 × 35 cm3 in size at a stocking density of 20 fish per aquarium and fed three times a day to clear satiation. Dietary carbohydrate digestion and absorption were significantly improved in fish fed 0.75 g/kg CIN, as indicated by increased amylase activity and glucose tolerance test. The latter was subsequently confirmed by increases in relative ir, glut4, hx and gs expression that indicated the increase in glucose absorption led to an increase in glucose utilization as an energy source and the synthesis of glycogen as an energy reserve. Interestingly, dietary CIN supplementation also resulted in the downregulation of fas, which facilitates the conversion of glucose to fatty acids, and the upregulation of cpt1a and hsl, indicating increased fatty acid oxidation for energy. CIN at a range of 0.5–0.75 g/kg improved the antioxidant status in the liver, as illustrated by elevated glutathione peroxidase and superoxide dismutase activities (both P < 0.05). Final weight, feed consumption, the specific growth rate, feed efficiency, and protein retention increased were significantly in all CIN groups, with the highest values reached in the 0.5 g/kg CIN (all P < 0.05). Based on a polynomial orthogonal analysis of the fish-specific growth rate, the optimum dosage of CIN inclusion is 0.42 g/kg. antioxidant
Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa dalam Kaitannya dengan Masyarakat dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera di Pedesaan Penelitian ini berjudul Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa Dalam Kaitannya Dengan Gerakan Masyarakat Dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera Di Pedesaan. Kekhasan dari penelitian ini adalah upaya untuk menerlukan akar dari suatu program yang berkelanjutan dengan menggali konsepsi kesejahteraan dan gerakan sosial kesejahteraan orang (budaya) Jawa. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah bagaimana persepsi kesejahteraan orang Jawa dan proses beragam tindakan kolektif kesejahteraan yang berciri gerakan?
Potensi Masyarakat Dan Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan Di Kabupaten Bone Kelembagaan lokal dibatasi pada organisasi pemerintah lokal dan organisasi kemasyarakatan yang terdapat di Kabupaten Bone, keberadaannya diharapkan mampu melakukan pemecahan kemiskinan melalui pemberdayaan keluarga miskin di perdesaan. Keterlibatan kelembagaan lokal dibutuhkan, karena senantiasa berinteraksi dengan keluarga miskin di perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menjelaskan sosialisasi tanggung jawab sosial kelembagaan lokal terhadap kemiskinan dalam masyarakat, (2) menguraikan implementasi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada kelembagaan lokal, yaitu organisasi kemasyarakatan lokal dan pemerintah lokal, (3) menjelaskan perilaku masyarakat terhadap kemiskinan dan kepercayaan terhadap penanggulangan kemiskinan, (4) menguraikan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung jawab masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan, (5) menjelaskan tingkat keberdayaan keluarga miskin, (6) mengidentifikasi potensi-potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam upaya menberdayakan keluarga miskin, (7) menganalisis hubungan karakterisitik, proses sosialisasi tanggung jawab sosial, persepsi terhadap tata kepemerintahan yang baik pada kelembagaan lokal, dan perilaku kemiskinan dengan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka memberdayakan kelompok keluarga miskin. good governance implementation, social responsibility, community potencies, poverty knowledge, South Sulawesi
The Carbon Dynamics in Rewetted Tropical Peat Swamp Forest Extensive areas of tropical peat swamp forests (PSFs) have been deforested, degraded, and converted to other land uses. In degraded and drained conditions, the carbon emission is greater than the carbon sequestered, making this ecosystem a significant contributor to greenhouse gas (GHG) emissions from forestry and land-use sectors. Rewetting interventions as part of restoration management have been strongly recommended to mitigate the GHG emissions from degraded and drained tropical PSFs. GHG emission reductions or carbon benefits from the rewetting intervention is calculated by subtracting the GHG emissions from rewetted PSFs with GHG emissions from drained PSFs. Due to the lack of site-specific emission factors (EFs) from rewetted tropical PSFs, default EFs derived from Tier 1 methodology proposed by the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) have been widely used to quantify carbon benefit from the rewetting intervention in tropical PSFs. However, GHG emissions are not only affected by the climatic zone and soil nutrient status but also by the site-specific characteristics such as vegetation cover, previous land use, and restoration management being implemented. Therefore, the application of default EFs to a specific land cover could under- or over-estimate the carbon benefit, mainly if applied to a specific tropical PSF cover at the national and project levels. To assess this situation, we conducted a study with the intent of contributing to the restoration of tropical PSFs, particularly by providing site-specific GHG EFs for undrained and rewetted sites in tropical PSFs in Central Kalimantan Province, Indonesia. Both sites had been selectively logged prior being restored. The restoration was started in 2016. The study was divided into three phases: the first was a systematic review and meta-analysis of peer-reviewed literature and data, the second was an assessment of the study sites’ biophysical characteristics and carbon stocks, the third evaluated the variability of GHG EFs in the study sites. In the first phase (Chapter two), a review and meta-analysis were conducted to evaluate the effect of rewetting on carbon emissions by comparing the carbon emissions (CO2, CH4, and Dissolved Organic Carbon [DOC]) from rewetted peatlands (treatment sites) with drained peatlands (control sites) in various climatic zones and at different restoration times. Twenty-seven articles passed the inclusion criteria and were used for meta-analysis. Three of these articles were from tropical climates while the remainder were from boreal and, predominantly, temperate climates. The overall effect size indicates that peatland rewetting can reduce the CO2 emission rate by -1.343 ± 0.358 Mg CO2-C ha-1 yr-1, while significantly increasing the CH4 emission rate by 0.033 ± 0.003 Mg CH4-C ha-1 yr-1. However, there was no discernible effect of rewetting on DOC. The findings highlight the lack of primary data from rewetted tropical peatlands which indicates an opportunity to conduct more research on carbon emissions. In the second phase (Chapter three), biophysical characteristics, carbon stock, and fluxes of the study sites were assessed. The biophysical characteristics of both sites were not significantly different, except for the C/N ratio. The number of species per ha and basal areal in the undrained site were 78, and 23.2  3.1m2/ha While in the rewetted site were 53 and 23.4  1.7 m2/ha. The average peat depth, bulk density, carbon, nitrogen content, and C/N ratio in the undrained sites were 434.6 ± 5.4 cm, 0.071 ± 0.01 gr/cm3, 52.7%, 2.3% and 25.4.1, while in the rewetted sites, they were 396.7 ± 3.5 cm, 0.073 ± 0.02 gr/cm3, 51.2%, 2.8% and 19.1. The total carbon stock at the rewetted location was 1,886.7 ± 87.7 Mg C ha−1 which is lower than the undrained at 2,106.2 ± 214.3 Mg C ha−1. The soil organic carbon was the largest component with approximately 90% of total carbon stock, with SOC at 1913 ± 190 dan 1685 ± 61 Mg C ha-1 in undrained and rewetted sites, respectively. Litterfall productions were 4.68 ± 0.30 and 3.92 ± 0.34 Mg C ha−1 yr−1, respectively, while CO2 emissions from peat decomposition (Rh) were 4.05 ± 0.02 and 3.96 ± 0.16 Mg CO2-C ha−1yr−1 on the rewetted and undrained sites; respectively. Additionally, the CH4 emissions were 0.0015 ± 0.00 Mg C ha−1 yr−1 at the rewetted site and 0.056 ± 0.000 Mg C ha−1 yr−1 at the undrained site. The DOC were 70.6 ± 2.56 and 69.1 ± 1.74 mg/L in the rewetted and undrained sites, respectively. Overall, the results suggested that the rewetted site had been more severely degraded than the undrained site. In addition, since the carbon absorbed from the litterfall will be stable over time, the soil carbon balance will depend on the magnitude of Rh and CH4 emissions from the tropical PSFs. In the third phase (Chapter four), carbon emission measurements from heterotrophic respiration (Rh), total soil respiration (Rs), and CH4 were conducted monthly from September 2019 to December 2020. Measurements were taken at 64 chambers evenly distributed between the rewetted and undrained sites. We observed that temporal variation of GHG emissions was strongly influenced by GWL fluctuation. Rh and Rs were negatively correlated with WL, while CH4 emissions were positively correlated. Meanwhile, spatial variation was influenced by microbes and organic matter from litterfall at the plot scale. The mean annual CO2 emissions from Rh were 2.3 ± 0.2 Mg CO2-C ha-1yr-1, 3.1 ± 0.2 Mg CO2-C ha-1yr-1 and CH4 emissions were 57.5 ± 11.0 Kg CH4-C ha-1yr-1, 60.2 ± 11.2 Kg CH4-C ha-1yr-1 in the rewetted and the undrained sites, respectively. These values are greater than the default EFs of rewetted tropical peatland proposed by the IPCC for CO2 and CH4. Synthesizing the findings from the previous chapter, we found that both sites reduced the peat decomposition between 70% to 90% when compared to the peat decomposition from degraded and drained PSFs, oil palm, acacia, and rubber plantations. In addition, both sites demonstrated soil carbon accumulations of 2.28  0.21 and 0.76  0.11 Mg C ha-1 yr-1 in the rewetted and undrained sites, respectively. The total GHG emissions calculated using global warming potential 20 year (GWP20) for the rewetted site were -3.32 Mg CO2-eq ha-1yr-1 and for the undrained site were 2.98 Mg CO2-eq ha-1yr-1. Subtracting the GHG emissions in the rewetted and undrained PSFs by degraded PSFs would reduce GHG emissions approximately 358.5 to 484.4 Mg CO2-eq ha–1 over 20 years or 17.92 to 24.20 Mg CO2-eq ha–1yr–1. As recommended by the IPCC, the quantification of carbon benefits from the project level should use higher tier (specific) EFs which derived from project location. The study offers specific EFs to quantify carbon benefits from tropical PSFs conservation and restoration projects on previously degraded and drained tropical PSFs. Carbon benefit, greenhouse gas, emission factors, meta-analysis, peatland restoration, heterotrophic respiration
Expression of pathogen responsive genes toward Corynespora cassiicola in rubber plant (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Leaf fall disease caused by Corynespora cassiicola fungus is an important disease in rubber plantation. This research aims to identify and isolates genes or part of genes involved in plant defense response in rubber clones
Biological characterization, scrological assay and dna finger printing analysis of pepper yellow leaf curl virus Sejak tahun 2000 terjadi peningkatan kejadian penyakit daun keriting kuning cabai di Indonesia sehingga menimbulkan kerugian besar pada pertanaman cabai. Penyebab penyakit tersebut adalah geminivirus.
Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa Dalam Kaitannya Dengan Gerakan Masyarakat Dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera Di Pedesaan Penelitian ini berjudul Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa Dalam Kaitannya Dengan Gerakan Masyarakat Dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera Di Pedesaan. Kekhasan dari penelitian ini adalah upaya untuk menemukan akar dari suatu program yang berkelanjutan, dengan mengga1i konsepsi kesejahteraan dan gerakan sosial kesejahteraan orang (budaya) Jawa. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah bagaimana persepsi kesejahteraan orang Jawa dan proses beragam tindakan kolektif kesejahteraan yang berciri gerakan? Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji konsepsi kesejahteraan, siapa golongan tidak sejahtera dan penyebab ketidaksejahteraan menurut pandangan subyektif masyarakat (lokal); (2) mengkaji beragam tindakan kolektif kesejahteraan yang berciri gerakan di pedesaan; (3) mengkaji pelaksaan program pernbangunan keluarga sejahtera: peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat. status sosial budaya; spesialisasi kerja; elite desa; kewiraswataan
The Utilization of Digital Health Communication Media as A Healthy Food Extension Strategy Perilaku konsumsi pangan sehat masih menjadi isu serius di Indonesia. Perilaku konsumsi pangan sehat dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku konsumsi pangan yang mendukung gizi seimbang dan pangan fungsional. Untuk mendukung terwujudnya perilaku konsumsi pangan sehat tersebut, banyak upaya telah dilakukan pemerintah, termasuk penyuluhan pangan dan gizi. Akan tetapi, hasil riset kesehatan dasar 2018 menunjukkan bahwa perilaku konsumsi pangan sehat masyarakat belum baik. Lebih lanjut, saat ini, telah terjadi pergeseran perilaku konsumsi pangan masyarakat dari mengonsumsi pangan olahan tradisional yang diolah dari bahan baku segar, tinggi serat dan menggunakan bumbu herbal – pangan fungsional - menjadi mengonsumsi junk food kebarat-baratan yang merupakan pangan dengan kadar gula, garam dan lemak yang tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan diperlukannya strategi baru dalam rangka penyuluhan untuk meningkatkan perilaku konsumsi pangan sehat. Mengingat perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK), salah satu upaya untuk memecahkan isu tersebut adalah dengan melakukan penyuluhan dengan memanfaatkan media komunikasi kesehatan digital (MKKD). Penelitian bertujuan untuk menganalisis tingkat pemanfaatan MKKD dan perilaku konsumsi pangan sehat, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan MKKD, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku konsumsi pangan sehat, serta merumuskan strategi penyuluhan untuk meningkatkan perilaku konsumsi pangan sehat dengan memanfaatkan MKKD dan faktor lainnya yang memengaruhi perilaku konsumsi pangan sehat. Pengumpulan data utama dilakukan dengan metode survei di Kabupaten dan Kota Tangerang, Banten. Sampel penelitian adalah 400 orang yang berusia 15 tahun ke atas dan pernah menggunakan media komunikasi kesehatan digital. Analisis data dilakukan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial, berupa analisis regresi berganda dan structural equation modelling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perilaku konsumsi pangan sehat masyarakat Kabupaten dan Kota Tangerang berada pada kategori sedang (rataan skor 70,68 dari skor maksimum 100). Sementara itu, tingkat pemanfaatan MKKD masyarakat Kabupaten dan Kota Tangerang cenderung rendah (rataan skor 47,24 dari skor maksimum 100). Faktor yang memengaruhi pemanfaatan MKKD secara positif dan nyata adalah pendidikan, dukungan lingkungan media komunikasi digital dan perilaku akses. Faktor yang secara nyata dan positif memengaruhi perilaku konsumsi pangan sehat adalah literasi kesehatan elektronik, pemanfaatan MKKD, dan dukungan sosial konsumsi pangan sehat. Strategi yang dibutuhkan untuk penyuluhan pangan sehat berbasis MKKD meliputi: (1) pengembangan penyuluhan pangan sehat berbasis MKKD yang ramah terhadap mesin pencarian internet dan mudah digunakan, (2) memanfaatkan beragam platform, (3) memberikan beragam fitur untuk memberikan informasi dengan karakteristik pesan dan sumber informasi MKKD yang terjamin kualitasnya, (4) berorientasi juga pada peningkatan literasi kesehatan elektronik, (5) peningkatan dukungan sosial untuk mengonsumsi pangan sehat dan (6) akses pangan sehat yang baik, serta (7) penguatan perilaku akses MKKD. Implikasi kebijakan, praktis dan penelitian lanjutan dirumuskan, bahwa dari sisi kebijakan dibutuhkan beberapa hal: Pertama, Kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan penyuluhan pangan sehat berbasis pemanfaatan MKKD. Kedua, Kebijakan Pemerintah untuk mendorong partisipasi publik untuk mengampanyekan dan memopulerkan perilaku konsumsi pangan sehat. Ketiga, Kebijakan Pemerintah untuk memastikan adanya akses pangan sehat yang baik bagi masyarakat. Keempat, Kebijakan Pemerintah untuk menjadikan peningkatan literasi kesehatan elektronik sebagai salah satu tujuan dari kebijakan nasional perbaikan gaya hidup sehat masyarakat. Dari sisi implikasi praktis, dibutuhkan peran lembaga penyuluhan untuk menjalankan penyuluhan pangan sehat berbasis MKKD. Penyedia MKKD dibutuhkan untuk mengembangkan program yang dapat meningkatkan literasi kesehatan elektronik masyarakat, memastikan MKKD ramah terhadap mesin pencarian Google dan mudah digunakan, dan senantiasa meningkatkan content dan program promosi yang dapat mendorong peningkatan perilaku akses MKKD. Penyuluh dibutuhkan untuk melakukan beberapa hal. Pertama, penyuluh memanfaatkan informasi yang disediakan MKKD untuk mendukung kegiatan penyuluhannya dengan cara mengumpulkan, mengklasifikasikan, mengolah, dan menyebarkan informasi yang disediakan oleh media komunikasi kesehatan digital untuk mendukung tugas dan fungsinya. Kedua, penyuluh mengarahkan masyarakat untuk sering mengunjungi MKKD. Ketiga, penyuluh menggunakan media sosial untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Keempat, penyuluh mendorong masyarakat yang telah menjalankan perilaku konsumsi pangan sehat untuk menunjukkan ke orang lain dan mengajak orang lain juga untuk mengikuti jejaknya. Dari sisi implikasi untuk penelitian lanjutan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, penelitian dilakukan dalam konteks masyarakat yang memiliki akses terhadap MKKD. Mengingat hal itu, penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap media komunikasi kesehatan digital. Kedua, penelitian hanya melibatkan aspek-aspek fungsional dari MKKD. Hasil analisis regresi berganda pemanfaatan media komunikasi kesehatan digital menunjukkan R2 dari persamaan regresi adalah sebesar 53,9 persen. Kondisi ini menunjukkan ada 46,1 persen faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan MKKD. Dalam literatur, motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu dapat berupa motivasi yang bersifat fungsional dan motivasi yang bersifat hedonik. Pemanfaatan MKKD diduga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait aspek hedonik dari MKKD. Mengingat hal itu, penelitian selanjutnya perlu untuk mengikutsertakan faktor-faktor yang terkait aspek hedonik dari MKKD. pangan sehat, penyuluhan digital, penyuluhan kesehatan, perilaku konsumsi
Strategi komunikasi petani sayuran organik dalam mencari dan menggunakan informasi pertanian berbasis gender Dewasa ini masyarakat mulai memberi perhatian pada kualitas dan keamanan produk sayuran yang dikonsumsi, karena menginginkan makanan yang bebas dari bahan kimia sintetis. Keadaan ini didukung oleh keinginan petani untuk memproduksi sayuran yang tidak merusak lingkungan dan menghindari penggunaan zat kimia. Usahatani sayuran merupakan dunia kerja petani laki-laki dan perempuan, yang selalu membutuhkan informasi pertanian untuk mengembangkan usahataninya.Tujuan penelitian adalah: (1) Mengidentifikasi karakteristik petani, pola pembagian kerja, relasi gender, faktorfaktor komunikasi dan penggunaan informasi pertanian; (2) Menganalisis hubungan pola pembagian kerja, relasi gender dengan penggunaan informasi pertanian, hubungan faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi pertanian, hubungan karakteristik petani dengan penggunaan informasi pertanian; (3) Merancang strategi komunikasi informasi pertanian berbasis gender. Communication strategy, Seeking and using information, Gender, Agricultural information
Blood Bicchemistry Profile of Pregnant Women Consumed Fortified Cookies with Iron (Fe), Folic Acid, Vitamin A, Vitamin C, Zinc (Zn), and Iodine The aim of this study was to analyze the effect of fortified cookies on blood biochemistry profile of pregnant women. For this purposed, an experimental study design was applied among 269 physically healthy pregnant women in Leuwiliang and Cibungbulang, Bogor for four treatment groups (I, 11, 111, IV) and control group (V), which given one type of formula cookies for each. The five type of formula are: (1) formula A, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A and vitamin C; (2) formula B, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, and Zn; (3) formula C, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A, vitamin C, and iodium; (4) formula D, was fortified with Fe, folic acid, vitamin A , vitamin C, Zn, and iodium; (5) formula E, was not fortified (control). The different formula were given to different group of women every two days during gestation period.
Contribution of Seagrass Habitat in the Biology of Population and Productivity of Ichthyofauna in the Coastal Waters of the Bay of Lampung Perairan Teluk Lampung yang terletak di pantai bagian selatan dari provinsi Lampung dan berhadapan dengan Selat Sunda, memiliki ekosistem lamun di sepanjang perairan pesisirnya. Ekosistem lamun sebagai ekosistem sangat produktif memiliki struktur fisik yang relatif kompleks, sehingga berfungsi sebagai penyedia makanan dan tempat tinggal bagi berbagai organisme, termasuk ikhtiofauna. Penelitian ini yang berlokasi di delapan stasiun, bertujuan untuk mengkaji karakteristik lingkungan perairan Teluk Lampung, menganalisis sebaran, komposisi dan asosiasi lamun, mengkuantifikasi komposisi, keanekaragaman dan tingkat trofik ikthiofauna ekonomis penting dan mendeterminasi kontribusi lamun terhadap ikhtiofauna di perairan Teluk Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik dan variasi parameter fisika-kimiawi perairan baik secara spasial maupun temporal masih dapat mendukung kehidupan biota laut. Secara spasial yang dianalisis menggunakan PCA (Principal Component Analysis) menunjukkan bahwa pada saat musim peralihan II suhu, salinitas, fosfat dan TSS menjadi penciri stasiun Kapuran (7KPLMT dan 5KPLT). Pada saat musim barat, suhu dan fosfat menjadi penciri pada stasiun Kapuran (7KPLMT) dan nitrat menjadi penciri di stasiun Pulau Tangkil (1TL). Musim peralihan I, suhu, pH, nitrat dan fosfat menjadi penciri pada stasiun Kapuran (7KPLMT). Hasil analisis PCA antara parameter lingkungan sedimen menunjukkan tekstur sedimen lanau menjadi penciri dari stasiun Pulau Kelagian (8KGLMT) dan tekstur sedimen pasir kasar dan C-organik menjadi penciri dari stasiun Kapuran (7KPLMT). Karakteristik dan variasi parameter perairan secara temporal memperlihatkan bahwa nitrat, salinitas dan fosfat menjadi pembeda antara musim peralihan II dan musim barat, sedangkan TSS menjadi pembeda antara musim peralihan II dan peralihan I. Hasil penelitian ini menemukan 6 jenis lamun, yaitu Cymodocea serulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule pinifolia dan Halodule uninervis. Asosiasi jenis lamun pulau Tangkil (1TL), pantai Sari Ringgung (2SRL) dan Teluk Hurun (3THLM) dicirikan adanya kehadiran jenis lamun E. acoroides dan tidak berasosiasi dengan jenis lamun lainnya. Pantai Kapuran (5KPLT dan 7KPLMT) dicirikan dengan ditemukannya jenis lamun C. serrulata yang berasosiasi dengan lamun H. pinifolia. Pantai Lahu (4LLM) dicirikan dengan ditemukannya jenis H. uninervis, sementara di Pulau Maihitam (6MLT) dan Pulau Kelagian (8KGLMT) dicirikan kehadirin jenis lamun H. ovalis dan tidak berasosiasi dengan jenis lamun lainnya. Tingkat kesamaan berdasarkan kerapatan jenis lamun membentuk tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari pulau Tangkil, Sari Ringgung, Teluk Hurun dan Lahu, kelompok kedua pantai Kapuran (5KPLT dan 7KPLMT), sedangkan kelompok ketiga terdiri dari Pulau Maihitam dan Kelagian. Tingkat kesamaan jenis lamun berdasarkan kerapatan yang tertinggi ditemukan pada pulau Maihitam dengan pulau Kelagian, yaitu lebih dari 80%. Hubungan kerapatan lamun dengan parameter perairan dipengaruhi oleh nitrat (NO3), fosfat (PO4) dan salinitas, sedangkan sedimen dipengaruhi oleh kandungan C-organik dan tekstur sedimen lanau. Hasil penelitian ini menemukan sebanyak 54 spesies ikhtiofauna dari 30 famili dengan total hasil tangkapan sebanyak 235 ekor. Secara temporal hasil tangkapan pada musim barat memiliki jumlah individu ikhtiofauna tertinggi, sedangkan secara spasial stasiun 5KPLT (Kapuran) memiliki jumlah tangkapan ikan tertinggi, yaitu 48 ekor. Spesies ikan melimpah yang tertangkap adalah Siganus fuscescens, Trachinotus blochii dan Siganus guttatus. Nilai indeks keanekaragaman ikhtiofauna pada ekosistem lamun di perairan Teluk Lampung, dikategorikan sedang, dengan indeks dominansi dikategorikan rendah dan indeks keseragaman dikategorikan stabil pada ketiga periode pengamatan (musim peralihan II, barat, peralihan I). Analisis PCA, menunjukkan hubungan komposisi ikhtiofauna dengan parameter lingkungan perairan pada tiga periode musim menunjukkan parameter suhu, salinitas, pH, TSS, nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) menjadi penciri pada pantai Kapuran (7KPLMT dan 5KPLT) dengan komposisi ikhtiofauna yang besar. Secara temporal parameter nitrat, fosfat dan salinitas yang mempengaruhi besarnya komposisi ikhtiofauna pada musim barat. Ukuran panjang maksimal ikhtiofauna yang tertangkap sebesar 50 cm dan ukuran panjang minimal sebesar 6 cm. Posisi tingkat tropik didominasi oleh karnivora 72,2%, omnivora 16,7% dan herbivora 11,1%. Hasil analisis koresponden (CA) memperlihatkan ikhtiofauna yang berukuran besar lebih dipengaruhi jenis lamun besar dengan kerapatan yang tinggi, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Cymodocea serulata, sedangkan ikhtiofauna yang berukuran kecil lebih dipengaruhi oleh jenis lamun kecil dengan kerapatan yang tinggi, yaitu Halodule pinifolia, Halophila ovalis dan Halodule uninervis. Hubungan kerapatan lamun dengan kelompok trofik menunjukkan pola ikhtiofauna kelompok tropik herbivora cenderung memiliki kelas ukuran panjang ikhtiofauna yang kecil, sedangkan kelompok tropik karnivora dan omnivora memiliki kelas ukuran panjang ikhtiofauna yang lebih besar., The Bay of Lampung located on the southern part of the coasts of Lampung Province facing toward the Sunda Strait. The bay is relatively calm which makes the waters along the coasts have seagrass ecosystem. Seagrass ecosystem has both ecological functions and economic benefits, where the ecosystem of seagrass meadows is known to be the ecosystem that high level of productivity. Very productive ecosystem has physical structure which is relatively complex and therefore it serves as feeding ground and shelter for various ichthyofauna. This study is intended to assess the characteristics of the environment of the waters in Bay of Lampung, to analyse the distribution, composition and association of seagrass, to quantify composition, diversity and trophic levels of ichthyofauna in terms of economic significance and to determine the contribution of seagrass on ichthyofauna in the waters of Bay of Lampung. This study consists of eight station. The results of the study show that the characteristics and variety of the parameters of the waters, both spatial and temporal, are naturally matched. Spatially, the analysis uses PCA (Principal Component Analysis) which shows that during the transitional II season, temperature, salinity, phosphate are the main characteristics of station 7KPLMT (Kapuran) and TSS is the main characteristics of station 5KPLT (Kapuran). During west season, the temperature and phosphate are the main characteristics at station 7KPLMT (Kapuran) and nitrate is the main characteristics at station 1TL and during transitional I season, temperature, pH, nitrate and phosphate are the main characteristics at station 7KPLMT (Kapuran). Meanwhile, the analysis of PCA of the environmental parameters of the sediments show the texture of the ash sediment is the main characteristics of station 8KGLMT (Kelagian) and the texture of coarse sand sediment and C-organic are the main characteristics of station 7KPLMT (Kapuran). The characteristics and variety of the water parameters are temporally showing that nitrate, salinity and phosphate are the differentiating factors of transitional II and west seasons, as TSS are the distinguishing factor of transitional II and transitional I seasons. The results of this study found that there are 6 species of seagrass, namely Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule pinifolia and Halodule uninervis. The association of the types of seagrass of Island of Tangkil (1TL), beach of Sari Ringgung (2SRL) and Bay of Hurun (3THLM) are characterize by the presence of types seagrass E. acoroides and not associated with other types of seagrasses. Pantai Kapuran (5KPLT and 7KPLMT) is characterize by the discovery of the species of seagrass C. serrulata which is associated with seagrass H. pinifolia. On the beach of pantai Lahu (4LLM), it is characterized by the types of H. uninervis, as in the Island of Maihitam (6MLT) and Island of Kelagian (8KGLMT) it is characterized by the type of seagrass H. ovalis and not associated with other types of seagrass. The level of similarity based on the density of seagrass types forms three groups. The first group consists of the Island of Tangkil, Sari Ringgung, Bay of Teluk Hurun and Lahu, as the second group consists of Bay of pantai Kapuran (5KPLT and 7KPLMT), and the third group consists of the Island of Maihitam and Kelagian. The highest level of similarity based on the density of seagrass is in the Island of Maihitam and the Island of Kelagian, which is more than 80%. The correlation between the density of seagrass and the parameters of the waters are affected by nitrate (NO3), phosphate (PO4) and salinity. On sediment, it is affected by the content of C-organic and the texture of the silt sediment. The results of the study show that there were six seagrass species and 54 ichthyofauna species found from 30 families with the total catch as many as 235 individuals. Temporally, the results of the catch during west season has the highest individual of ichthyofauna captured, as spatially, station 5KPLT (Kapuran) has the highest amount of catch, 48 fish. The fish species of Siganus fuscescens, Trachinotus blochii and Siganus guttatus are captured in abundant amount. The index value of the community structure of the fish of the seagrass meadows in the waters of Bay of Lampung as the diversity index is categorized as moderate. The dominance index is categorized as low and diversity index is categorized as stable during three periods of observations (transitional II, west, transitional I seasons). PCA Analysis shows the correlation of the composition of ichthyofauna and the environmental parameters of waters during the three seasonal periods indicating that the parameters, such as temperature, salinity, pH, TSS, nitrate (NO3), and phosphate (PO4) are the main characteristics in the coast of pantai Kapuran (7KPLMT and 5KPLT) with a large composition of ichthyofauna. Temporally, the parameters of nitrate, phosphate, and salinity which affect the abundance of the composition of ichthyofauna during the west season. Based on the study results, in terms of size, the maximum length of ichthyofauna captured was 50 cm and the minimum length was 6 cm. The position of the trophic level was dominated by carnivore 72.2%, omnivore 16.7% and herbivore 11.1%. The correspondence analysis results (CA) shows that the ichtyofauna with large size was more influenced by the types of large seagrass with high density, namely Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii and Cymodocea serulata, as small-size ichthyofauna was more influenced by small seagrass with high density, such as Halodule pinifolia, Halophila ovalis and Halodule uninervis. The correlation of the density of seagrass and the trophic groups shows that there is an ichthyofauna pattern of herbivore trophic group more likely to have small size/short body of ichthyofauna, as carnivore and omnivore trophic groups are more likely to have longer or larger size of ichtyofauna. Characteristics of waters, seagrass habitat, ichthyofauna, the Bay of Lampung
Dinamika komunitas fitoflankton dalam kaitannya dengan produktivitas perairan pesisir maros Sulawesi Selatan Tujuan penelitian adalah menentukan variabilitas nutrien, kelimpahan komunitas dan produksi fitoplankton, serta parameter fisik dan kimia perairan pesisir. Kemudian, menentukan hubungan antara beban nutrien dari sungai dan konsentrasi nutrien dalam perairan pesisir. Di samping itu, menentukan parameter paling berpengaruh antara nutrien dan cahaya sehubungan dengan kelimpahan komunitas dan produksi fitoplankton, serta mengevaluasi parameter penciri lingkungan perairan pesisir. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan kejelasan tentang peranan cahaya dan nutrien terhadap dinamika komunitas fitoplankton pada perairan pesisir. Pengaruh dominan diantara keduanya terhadap dinamika komunitas fitoplankton sampai saat ini belum terjawab secara tuntas untuk perairan tropis khususnya perairan Indonesia baik secara spasial maupun temporal. Hipotesis penelitian adalah kelimpahan komunitas dan produksi fitoplankton pada perairan dekat pantai sangat dipengaruhi oleh nutrien, sementara itu kelimpahan komunitas dan produksi fitoplankton perairan yang jauh dari pantai dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya (spasial). Secara temporal, cahaya menjadi parameter paling berperan pada musim kemarau sebaliknya nutrien merupakan parameter paling dominan pada musim hujan sehubungan dengan kelimpahan komunitas dan produksi fitoplankton. chaetoseros, bacillariophyceae, low salinity and clarity, high turbidity and primer production, South Sulawesi
Study of reproduction performance of female African catfish (Clarias gariepinus) with supplemented by Ascorbyl Phosphate magnesium as a source of vitamin C in diets and implanted with estradiol-17β The experiment was conducted to determine the effect of dietary ascorbyl phospahate magnesium as a source of vitamin C and implanted with estradiol-17 β on the gonad maturation, egg and larva quality of African Catfish Clarias gariepinus. Fish were treated by various combinations of dietary dosage of ascorbyl phosphate magnesium (0, 600, 1200, and 1800 mg/ kg of feed) and estradiol-17β (00, 250, and 500μ g/kg). Two hundreds sixteen and eighteen pairs of broodstock fish were used for this experiment. Fish were fed with the experimental diets two times a day at satiation. The gonad somatic index, egg diameter, fecundity, hatching rate of the eggs, survival rate, and percentage of abnormal larvae were determined. Results of the experiment indicated that supplementation of ascorbyl phosphate magnesium and estradiol-17β stimulated gonad development and increased hatching rate, fecundity and survival rate, and reduced percentage of abnormal larvae. Combination of ascorbyl phosphate magnesium 1200 mg/kg feed and estradiol-17β 250μ g/kg gave the best reproductive performance. African catfish, Clarias gaviepinus, Ascoryl phosphate magnesium, Reproduction performance
Pendekatan metode hidroakustik untuk analisis keterkaitan antara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas ikan demersal, The hydroacoustic method approach for interrelatedness analysis of sea bottom substrate type with demersal fish community The sea bottom substrate has an important role for biota life in sea bottom area. Sea bottom is habitat for benthic, demersal fishes and other marine biota. Therefore, the accuracy and precision to classify the sea bottom substrate become essential. However, data and information on sea bottom substrate type and its relation to biota, particularly demersal fishes, are scanty. This condition is caused by the used method, in general, is limited to grab method which is only covered and mapped a very limited area based on sea bottom sampling station. Nowadays, the new method to obtain sea bottom substrate information has been developed very well, that is hydroacoustic method. Sea bottom substrate, sediments, benthic and vegetations can be accessed by using echosounder and processed digitally. The difference of sea bottom substrate types can be distinguished through the coarseness of topography and hardness of sea bottom substrate which consisted of coral, stone, sand, mud, and clay. The research objective is to analyze the interrelatedness of sea bottom substrate type with demersal fish community by hydroacoustic method approach. Therefore, the obtained data consisted of sea bottom substrate, demersal fish, oceanographic data, and other related data. Those data were obtained from several locations, i.e. Belitung Island in the years of 2002 and 2005, Java Sea (2002 and 2005), East Borneo (2004), and around Pari Island of Seribu Islands (2007). Data processing was done by using several echo data post processing programs, namely Simrad EP-500, Echoview version 3.5 and Simrad BI-60. The hydroacoustic data of sea bottom substrates and grab sampling results were classified based on Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis. The relation between the abiotic factors and demersal fish community was overlaid descriptively over horizontal distribution map of sea bottom substrate and demersal fish species by using surfer program. The result of bottom sounding shows that the harder the sea bottom substrate, the stronger the backscattering value. On the opposite, the softer the sea bottom substrate, the weaker the backscattering value. Based on PCA and cluster analysis, it is known that strongest backscattering strength value of sea bottom substrate is from coral substrate, followed by backscattering values from sand, muddy sand, sandy mud, and mud, which is weaker respectively. The obtained sea bottom substrate backscattering values can be applied to assess and distinguish sea bottom substrate type in other sea bottom area. The hydroacoustic detection of demersal fishes and swept area by trawl give information of fish density higher at shallow water (<36,5 m) and have small value of fish target strength. These small fish was identified as Leiognathus splenden (“ikan pepetek”). The relation between abiotic factors and demersal fish community in Java Sea shows that: 1) Fish species of Leiognathus splenden does not live in all sea bottom with muddy substrate. This fish was found in the muddy area in a shallow water near coastal zone. 2) Fish species of Upeneus sulphureus has high appearance frequency at all trawl swept area stations. This fish was encountered in a muddy substrate and the total weight of fish (swept by trawl) is gradually higher at the area more farther from coastal zone. iv 3) Fish species of Nemipterus japonicus became the third dominant fish species found in muddy sea bottom at middle area of sea. 4) Fish species of Leiognathus bindus became the second most frequent species appeared in all trawl station. The distribution of this fish species is more or less like Upeneus sulphureus, that is in muddy substrate and the total weight of fish (swept by trawl) is gradually higher at the area more farther from coastal zone. 5) Other species was Saurida longimanus, the third most frequent species appeared in all trawl station. This fish species prefers to stay in muddy sea bottom at middle area of sea. The conclusion can be drawn from all research results, that hydroacoustic method is an efficient and effective tool in detecting and classifying the sea bottom substrate type. Sea bottom which consisted of various substrates, such as coral, sand, muddy sand, sandy mud, and mud are each gives different backscattering strength value. In Java Sea, the abiotic factors such as sea bottom substrate types and oceanographic condition, strongly influence the distribution of demersal fish community. Relation between interrelatedness of sea bottom substrate type and demersal fish community in Java Sea showed the different pattern for five dominant fish species, namely Leiognathus splenden, Upeneus sulphurus, Nemipterus japonicus, Leiognathus bindus and Saurida longimanus. Further research about sea bottom substrate classification can be done by hydroacoustic method in seawater of various sea bottom substrates to complete the existing research results. Beside that, the development of data processing program is also very much needed for software enhancement from the existing software.
Oceanographic Study of Sunda Shelf and its Implications for Small Pelagic Fisheries in the Natuna Sea and Java Sea. Paparan Sunda (Sunda Shelf, SS) merupakan formasi geologis dengan platform bawah laut dangkal besar yang membentang di perairan Asia Tenggara, sebagai bagian dari landas kontinen Eurasia, dan merupakan landas kontinen terbesar dan terluas di Asia Tenggara. Perairan SS dicirikan oleh kedalamannya yang dangkal, suhu yang hangat, dan tingkat produktivitas biologis yang tinggi. Perairan SS dipengaruhi angin monsun yang kuat yang dapat menyebabkan perubahan musiman pada suhu air, kadar nutrien, dan arus laut. Perubahan ini dapat berdampak signifikan pada ekosistem laut di wilayah tersebut, distribusi dan kelimpahan organisme laut serta memengaruhi produktivitas perikanan, seperti spesies ikan pelagis kecil. Potensi produksi ikan pelagis kecil di perairan SS, yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPP 711 dan 712) pada tahun 2017, mencapai 694.947 ton atau sekitar 14,24% dari seluruh total produksi ikan pelagis kecil nasional. Posisi yang strategis Paparan Sunda serta tingginya produktivitas perairan dan potensi perikanan pelagis kecil di dalamnya menjadi motivasi dan alasan penting untuk melakukan studi secara komprehensif aspek oseanografi dan perikanan, dalam rangka pengelolaan perikanan laut yang berkelanjutan di perairan SS. Beberapa pertanyaan riset penting adalah: a) Bagaimana membangun konfigurasi model sirkulasi 3-dimensi resolusi tinggi dengan gaya pembangkit (atmosfer, pasut, dan debit sungai) di Paparan Sunda?; b) Bagaimana dinamika, karakteristik, variabilitas oseanografi Laut Natuna, serta pengaruhnya terhadap perikanan pelagis kecil?; c) Bagaimana dinamika, karakteristik, dan variabilitas oseanografi Laut Jawa, serta pengarunya terhadap perikanan pelagis kecil? Disertasi ini difokuskan untuk mengkaji karakteristik oseanografi bagian utara (Northern Sunda Shelf) dan selatan (Southern Sunda Shelf) perairan SS serta implikasinya terhadap perikanan pelagis kecil di Laut Natuna dan Laut Jawa. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis kondisi oseanografi perairan SS adalah pemodelan sirkulasi laut 3-dimensi dengan sistem model Coastal and Regional Ocean Community (CROCO), dimana domain model dibatasi pada posisi geografis berikut: (1) perairan NSS : 0.5o LU;103o BT sampai 11.5o LU; 114o BT; (2) perairan SSS: 9.5oLS; 104o BT sampai 0.5o LU; 120o BT. Gaya pembangkit komponen atmosfer model CROCO ini menggunakan dataset dari ERA5, dengan syarat batas komponen laut dari GLORYS12V1 - CMEMS, pasang surut dari TPXO9, dan debit sungai dari GLOFAS, dengan resolusi horizontal 1/18o (6,2 km) dan 40 lapisan sigma vertikal. Simulasi model dijalankan selama 11 tahun (2009 – 2020) dengan masa spin-up selama satu tahun (2009). Keluaran model INDESO (2008 – 2014) juga dipergunakan sebagai data utama dalam penelitian ini khususnya dalam mengkaji sirkulasi perairan, khususnya di Laut Natuna. Keluaran model INDESO dan CROCO dipergunakan untuk menganalisis karakteristik oseanografi (suhu, salinitas, arus, dan chl-a/ PPN – Primary Production of Nanopythoplankton) perairan SS dengan analisis: data klimatologi, variabilitas perairan dengan metode time-series (EOF, CWT dan PSD), intensitas dan durasi kejadian upwelling, pergerakan massa air (arus laut) menggunakan perangkat lunak Ichthyop, serta hubungan antara kondisi lingkungan (suhu, salinitas, arus laut) dan produktivitas perikanan pelagis kecil di Laut Natuna dan Laut Jawa. Metode statistik dengan PCA, Uji-T, dan Uji-F juga digunakan untuk menganalisis hubungan faktor lingkungan dan perikanan pelagis kecil. Penelitian ini juga memanfaatkan data yang bersumber dari penginderaan jauh (remote sensing) berupa konsentrasi klorofil-a (chl-a) yang melingkupi dua wilayah penelitian (NSS dan SSS) dalam periode 2010 hingga 2019. Selanjutnya, data posisi kapal penangkapan ikan yang bersumber dari VIIRS Boat Detection (VBD) juga digunakan untuk menganalisis pergerakan kapal penangkapan sepanjang musim pada Laut Natuna dan Laut Jawa dengan perangkat lunak ArcGIS. Terakhir, analisis data perikanan pelagis kecil yang diperoleh dari data hasil tangkapan ikan pelagis kecil (layang – Decapterus spp., kembung – Rastrelinger kanagurta, selar – Selar spp., tembang – Sardinella fimbriata, siro/lemuru Jawa – Amblygaster sirm) dari kapal pukat cincin (purse seine) yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pemangkat, Kalimantan Barat dan PPN Pekalongan, Jawa Tengah dalam periode 2010 hingga 2019. Penelitian disertasi ini disusun dalam tiga bagian: pertama, evaluasi model sirkulasi laut CROCO yang telah dibangun di perairan SS; kedua, kajian oseanografi paparan Sunda dan perikanan pelagis kecil di Laut Natuna; ketiga, kajian oseanografi paparan Sunda dan perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. Bagian pertama disertasi, dilakukan kajian mengenaii evaluasi model sirkulasi laut CROCO yang telah dibangun di perairan SS. Model dikembangkan pada bagian utara dan selatan perairan Paparan Sunda (NSS dan SSS). Evaluasi dilakukan pada beberapa parameter model (Suhu permukaan laut (SPL), Salinitas, Kecepatan arus zonal dan meridional, serta volume transport). Data pembanding digunakan keluaran model CMEMS, INDESO, dan berbagai data satelit. Hasil penting yang diperoleh dari bagian pertama disertasi ini adalah semua parameter model bersesuaian dengan data pembandingnya. Ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang tinggi (0,50 – 0,95) dan nilai RMSD dan STD yang kecil. Temuan studi dalam bagian ini mengindikasikan bahwa hasil keluaran model dapat dipergunakan untuk analisis lanjutan sesuai dengan tujuan penelitian. Bagian kedua disertasi, dilakukan kajian mengenai kajian oseanografi paparan Sunda dan perikanan pelagis kecil di Laut Natuna. Kajian ini mengungkapkan bahwa sirkulasi paparan di NSS, dicirikan dengan pembalikan arus tepi barat di sepanjang Semenanjung Malaysia selama puncak monsun (MTL – Monsun Timur Laut dan MBD – Monsun Barat Daya), dan sirkulasi eddy siklonik (anti-clockwise) di lepas pantau utara Kepulauan Natuna selama periode MTL. Perubahan musiman sirkulasi selama periode musim yang berbeda ini turut membentuk karakteristik oseanografi berbeda. Massa air selama periode MTL dicirikan dengan massa air bersuhu rendah (<28 oC), dan salinitas tinggi (>32,6 psu). Sebaliknya pada periode MBD, massa air dicirkan dengan massa air bersuhu tinggi (>29 oC) dan salinitas rendah (<32,6 psu). Pola spasial properti massa air dapat dijelaskan dengan satu mode (ragam > 80%), yang dapat diinterpretasikan dan berhubungan dengan fluktuasi besar yang terjadi di bagian utara perairan, serta sumbu utama arus monsun/ SSTF, dengan variabilitas sinyal parameter oseanografi dominan dalam skala waktu intraseasonal, semiannual, annual hingga interannual. Analisis spasio-temporal yang dilakukan terhadap data VBD memperlihatkan dua puncak maksimum terjadi selama periode musim peralihan (April dan Oktober), dengan nilai minimum terjadi pada puncak MTL (Januari). Pusat distribusi aktivitas kapal penangkapan berada di antara Kepulauan Anambas dan Natuna, berkaitan arah sebaran partikel tak bermassa yang dilepaskan melalui eksperimen lagrangian pada masing-masing transek tiap musimnya. Temuan penting dari bagian ini adalah pusat konsentrasi kapal penangkapan ikan (VBD) dan musim penangkapan ikan pelagis kecil (layang, selar, kembung, tembang) terjadi di sepanjang musim peralihan (MP). Selama periode MP-1 hingga MP-2, dicirikan dengan kecepatan arus lemah, dan suhu hangat, yang berasosiasi karaketeristik oseanografi yang sesuai terhadap keberadaan ikan pelagis kecil di perairan ini. Bagian ketiga disertasi, dilakukan kajian mengenai kajian oseanografi paparan Sunda dan perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. Kajian ini mengungkapkan bahwa sirkulasi shelf di SSS dicirikan dengan pembalikan arus monsun. Arus monsun ke arah barat selama periode MT (Musim Tenggara/Timur), yang menguat di sepanjang utara Laut Jawa, membawa massa air salinitas tinggi (>33 psu), dan suhu rendah (<28,5 oC) memasuki Laut Jawa berasal dari arus M-ITF dan proses upwelling di selatan Makassar, mencapai hingga Selat Karimata di sekitar 109 oBT. Sebaliknya, selama periode MB (Musim Barat), massa air suhu tinggi (~28,5 oC) dan salinitas rendah (~32,4 psu) diadveksikan ke arah timur oleh arus monsun, yang menguat sepanjang selatan Laut Jawa. Pola spasial properti massa air dapat dijelaskan dengan satu mode (variance > 90%), yang secara jelas dapat diinterpretasikan dan berhubungan dengan jalur utama arus monsun, yang membawa massa air dengan ciri yang berbeda, arus M-ITF, posisi upwelling dan proses fisis lainnya variabilitas dengan periodisitas dominan dalam skala waktu interannual, annual, semiannual, dan intraseasonal. Analisis spasio-temporal yang dilakukan terhadap data VBD di Laut Jawa memperlihatkan adanya pergeseran musiman yang berbeda dari kapal penangkapan ikan (VBD) dimana jumlah tertinggi sebaran VBD ditemukan sepanjang utara Laut Jawa (utara lintang 5 oLS) antara periode MT dan MP-2, namun jumlah yang lebih banyak ditemukan juga di sepanjang selatan Jawa (selatan lintang 5 oLS) antara periode MB dan MP-1. Temuan penting dari bagian ini adalah pergeseran meridional (utara-selatan) dari aktivitas kapal penangkapan ikan musiman dan musim puncak penangkapan ikan pelagis kecil (layang, siro, kembung, selar dan tembang) yang terjadi pada periode musim berbeda (MT dan MB), dikontrol oleh jalur utama arus monsun tersebut yang mempengaruhi karakteristik oseanografi perairan Laut Jawa. Dari ketiga bagian disertasi tersebut dapat dirangkum bahwa karaketeristik oseanografi Paparan Sunda dicirikan dengan adanya pembalikan arus tepi barat di semenanjung Malaysia, yang berasal dari arus Laut Cina Selatan (LCS) dan Laut Jawa, Sunda Shelf Throughflow, sirkulasi eddy siklonik, upwelling Malaysia dan Makassar, limpasan sungai, serta pembalikan arus monsun, yang berasal dari arus Makassar ITF dan arus LCS. Karakteristik oseanografi tersebut berimplikasi terhadap perikanan pelagis kecil, khususnya dalam pergeseran meridional aktivitas kapal penangkapan ikan di Laut Jawa serta pembentukan musim penangkapan ikan pelagis kecil yang terjadi pada musim peralihan (MP) di Laut Natuna dan puncak musim (MT dan MB) di Laut Jawa. ikan pelagis kecil, musim penangkapan ikan, Paparan Sunda, parameter oseanografi, pemodelan sirkulasi laut regional CROCO, data VIIRS
Penyimpanan Plasma Nutfah Pepaya Sukma (Carica papaya L. cv. Sukma) secara Kriopreservasi. Plasma nutfah merupakan sumber keragaman genetik berupa benih maupun bagian jaringan hidup lainnya dimana bagian tersebut mampu tumbuh menjadi tanaman baru dan mewariskan sifat. Penyimpanan plasma nutfah berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan sumber-sumber biologis. Penyimpanan plasma nutfah mempunyai beberapa teknik yang meliputi konservasi in situ dan ex situ, perbanyakan mikro, perkecambahan benih, regenerasi dari eksplant dan kriopreservasi. Penyimpanan plasma nutfah secara kriopreservasi merupakan penyimpanan untuk jangka waktu lama dengan menggunakan nitrogen cair (-196oC) terhadap suatu bahan tanaman. Keunggulan teknik kriopreservasi salah satunya mampu menghentikan segala proses pembelahan sel dan proses metabolisme dalam sel, jaringan atau organ yang disimpan sehingga bahan tanaman dapat disimpan dalam jangka waktu yang sangat lama tanpa terjadi perubahan atau variasi somaklonal. Kerusakan sel yang terjadi pada saat bahan tanaman menghadapi suhu yang sangat rendah dapat diatasi dengan melakukan tahapan dehidrasi atau pengeringan untuk menghindari pembentukan kristal es dengan menggunakan krioprotektan, seperti gliserol, etilen glikol, dimethylsulfoxide (DMSO), dan sukrosa. Salah satu plasma nutfah yang memerlukan penyimpanan secara kriopreservasi adalah tanaman pepaya. Penyimpanan plasma nutfah pepaya sangat penting dilakukan karena: 1) perubahan cuaca dan musim tanam yang berganti menyebabkan kehilangan sumber genetik pepaya di lahan pertanaman, 2) penyimpanan benih pepaya sering mempunyai kendala karena kebanyakan bersifat intermediet sehingga hanya mampu disimpan paling lama 6 bulan. Pada penelitian ini, dilakukan penyimpanan plasma nutfah pepaya berupa bagian generatif (benih) dan vegetatif (tunas samping) tanaman untuk mempertahankan materi genetik yang ada sekarang sehingga tidak kehilangan informasi genetik dimasa yang akan datang. Varietas pepaya yang digunakan adalah varietas Sukma. Benih pepaya Sukma tergolong benih intermediet dengan daya berkecambah <50% setelah masa simpan tiga bulan. Tujuan umum penelitian ini ialah mendapatkan metode kriopreservasi benih dan tunas samping pepaya untuk mempertahankan plasma nutfah tanaman pepaya Sukma dalam jangka waktu yang lama dan mendapatkan informasi kestabilan morfologi pada tanaman yang berasal dari benih yang dikriopreservasi. Penelitian ini terdiri atas empat rangkaian percobaan. Percobaan pertama ialah kriopreservasi benih pada berbagai lama perendaman krioprotektan PVS2 dan pada berbagai tingkat kadar air benih pepaya. Percobaan ke dua ialah kriopreservasi benih yang mempunyai mesotesta dan benih tanpa mesotesta. Percobaan ke tiga ialah pengamatan karakter morfologis tanaman pepaya setelah penyimpanan secara kriopreservasi. Percobaan ke empat ialah kriopreservasi pada tunas samping pepaya. Percobaan pertama dan ke dua, dirancang secara faktorial dengan dua faktor dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pada percobaan pertama, faktor satu adalah lama waktu perendaman pada larutan krioprotektan PVS2 (Plant Vitrification Solution 2) dengan komposisi larutan 30% gliserol, 15% dimethylsulfoxide (DMSO), dan 15% etilen glikol, dengan 5 taraf waktu perendaman yaitu: 0, 15, 30, 45, dan 60 menit. Faktor dua adalah perlakuan kadar air benih, dengan 3 taraf tingkatan kadar air yaitu kadar air rendah (7+1%), kadar air sedang (12+1%) dan kadar air tinggi (16+1%). Pada percobaan ke dua, faktor satu percobaan ini sama dengan faktor satu pada percobaan pertama, dan faktor dua adalah kondisi benih dengan mesotesta dan tanpa mesotesta, dengan kadar air benih yang terbaik yang telah diperoleh pada percobaan pertama. Pada percobaan pertama dan ke dua, perlakuan diulang 3 kali dan setiap satuan percobaan 50 benih. Pengamatan yang dilakukan adalah daya berkecambah (%), potensi tumbuh maksimal (%), kecepatan tumbuh (%/etmal), dan indeks vigor (%). Pada percobaan ke tiga, dilakukan pengamatan secara morfologi pada tanaman kontrol dan tanaman hasil kriopreservasi untuk membandingkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pepaya di lapangan. Pengamatan dilakukan pada 100 tanaman untuk masing-masing kontrol dan perlakuan. Hasil pengamatan diuji dengan uji t. Percobaan ke empat, dirancang secara faktorial dengan dua faktor dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor satu adalah lama waktu perendaman pada larutan krioprotektan PVS2 dengan 5 taraf waktu perendaman yaitu: 0, 10, 20, 30, dan 40 menit. Faktor dua adalah media tanam tunas samping yang ditambahkan dengan zat pengatur tumbuh (ZPT), yaitu BA (benzyl adenin) pada taraf 0, 1, 2, 3, dan 4 mg L-1 dan NAA (naphthalene acetic acid) pada taraf 0, 1, 2, 3, dan 4 mg L-1. Perlakuan diulang 10 kali dan setiap satuan percobaan pada botol berisi 3 eksplan. Pengamatan yang dilakukan adalah: umur muncul pertama proembrio somatik atau kalus (hari), kontaminasi eksplan, daya hidup eksplan, dan arah pertumbuhan eksplan. Hasil yang diperoleh antara lain: 1) Perlakuan lama perendaman dengan krioprotektan PVS2 selama 30 menit dengan tingkat kadar air awal benih 12+1% memberikan nilai daya berkecambah, potensi tumbuh maksimal, kecepatan tumbuh dan indeks vigor yang terbaik. Nilainya berturut-turut yaitu 38.4%, 38.4%, 2.3%/etmal, dan 7.5%. Benih tanpa perendaman pada krioprotektan tidak ada yang mampu tumbuh kembali dan benih yang terlalu lama direndam pada krioprotektan memberikan nilai viabilitas dan vigor yang rendah, 2) Kemampuan tumbuh benih pepaya tanpa mesotesta mempunyai nilai daya berkecambah sebesar 48% sehingga lebih baik dibandingkan dengan benih pepaya dengan mesotesta yang mempunyai nilai daya berkecambah 38.4%, 3) Tidak ada perbedaan morfologi antara tanaman pepaya kontrol dengan tanaman pepaya hasil kriopreservasi, 4) lama perendaman dalam krioprotektan yang terbaik untuk tunas samping adalah 10 menit pada media MS + NAA 2 ppm dan 20 menit pada media MS + BA 4 ppm dan media MS + NAA 4 ppm. krioprotektan, nitrogen cair, Sukma, tunas samping, viabilitas benih
Analysis of sustainable coastal management in Lombok Barat District Kabupaten Lombok Barat is located in one of the big island in the province of East Nusa Tenggara, Kabupaten Lombok Barat is unique in term of ecological richness. Around 60% of the natural resources in Lombok Barat is located in the coastal areas and, eventhough its covered only 8,81% from the total area of East Nusa Tenggara, almost all important natural coastal resources have been found in the areas.
Analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir teluk kelabat kawasan utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung Secara umum penelitian ini bermaksud untuk: (i) mengidentifikasi kesesuaian lahan dan perairan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat, (ii) merencanakan lokasi Kawasan Pemanfaatan sektor pembangunan Perikanan, Industri, Pelabuhan dan Pariwisata, (iii) mengetahui persepsi pemerintah, swasta dan masyarakat berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan lahan pesisir maupun perairan pesisir pada Kawasan Pesisir Teluk Kelabat, dan (iv) mendelineasikan zona-zona yang sesuai bagi peruntukan industri, pariwisata, pelabuhan dan perikanan dalam Kawasan Pesisir Teluk Kelabat. Penelitian dilaksanakan di catchment area daratan pesisir di dua DAS Layang dan Antan serta perairan Estuaria Raksasa Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus Pulau Bangka Kabupaten Bangka Induk pada bulan Juni 2002 - Desember 2003.
The growth performance and viability enhancement of humpback grouper (Cromileptes altivelis) fed on selenium supplementation This study was conducted to evaluate the effects of different levels and sources of selenium (Se) on the growth performance and viability of juvenile humpback grouper (Cromileptes altivelis). The experiments were arranged and conducted in four stages. The first experiment was conducted to compare the digestibility of dietary Se from sodium selenite and selenometionin. Two groups of grouper were given the experimental diets for 14 days. The result of this experiment showed that selenometionin was more digestible (68,68%) than sodium selenite (60,36%). In experiment 2, two different sources of Se at varying concentrations were added to the basal diet (sodium selenite at 0,5; 1; 2; and 4 mg Se/kg diet, and selenometionin at 1; 2; and 4 mg Se/kg diet, respectively). Another treatment was unsupplemented Se. Of the treatments, selenometionin supplementation with dose of 4 mg Se/kg diet showed a better performance than other diets. The addition of sodium selenite with dose of 0,5 mg Se/kg diet showed a toxic effects. In experiment 3, pelleted diets with 0; 0,025; 0,05; 0,1; 0,2; and 0,4 mg Se/kg diet from sodium selenite were used to fed triplicate groups of fish twice a day at satiation (mean initial length and weight: 5,83+0,28 cm and 3,47+0,43 g, respectively) in a 90x40x35 cm aquaria. The experimental fish were reared for 42 days at a density of 15 ind./aquarium. At the end of the experiment, fish were dipped in fresh water for 10 minutes and no aeration was added. The addition of sodium selenite with dose of 0,05 mg Se/kg diet enhanced growth performance and viability of juvenile humpback grouper. The last experiment was conducted to evaluate the effects of different levels of selenometionin on the growth and viability of juvenile humpback grouper. In this experiment, pelleted diets with 0; 4; and 16 mg Se/kg diet from selenometionin were used to fed triplicate groups of fish twice a day at satiation. The experimental fish were reared for 42 days at a density of 15 ind./aquarium. At the end of the rearing period, fish were transported for 13 hours and then reared again for 20 days. At the second week of the continued rearing period, fish were dipped in fresh water for 10 minutes and no aeration was added. The studies showed that the addition of selenometionin at a concentration of 4 mg Se/kg diet enhanced growth performance and viability of juvenile humpback grouper.
Isolation And Characterization Of Antibacterial Components Of Atung Seeds (Parinarium glaberrimum Hassk). Atung (Parinarium glaberrimum Hassk) merupakan salah satu tanaman tropis yang banyak tumbuh di Daerah Maluku dan sekitarnya. Biji atung telah lama dikenal dan digunakan sebagai bahan pengawet pangan termasuk sebagai obat tradisional khususnya untuk mengobati diare oleh sebagian masyarakat di Maluku. Selanjutnya sejak 1991, beberapa peneliti pendahulu telah melakukan penelitian terhadap biji atung terutama peranannya sebagai pengawet pangan seperti pada udang/ikan dan telah melakukan kajian ekstraksi mengenai pengaruh umur buah, penyimpanan, pelarut-pelarut organik dan metode ekstraksi terhadap aktivitas antibakteri (patogen dan pembusuk) ekstrak biji atung yang dihasilkan. Berdasarkan identifikasi komponen volatil terhadap biji atung, teridentifikasi 17 golongan komponen volatil, terutama: aldehida (34%), alkana (17%), alkena (11 %), alkohol (7%), dan keton (6%). Namun, sebagian besar senyawa volatil dari golongan aldehida, diduga hasil dekomposisi lipid yang terkandung dalam biji atung selama penyimpanan buah atung (4 bulan, -20°C) dan ekstraksi biji atung menggunakan alat Likens Nickerson ( 1 oo0c, 90 men it). Ekstraksi terhadap serbuk biji atung kering menggunakan petroleum eter (PE) 40-60°C (Soxhlet, 8 jam) dan residunya diekstraksi lagi dengan heksana (Soxhlet, 3x8 jam) menghasilkan residu biji atung yang relatif bebas lemak. Selanjutnya residu tersebut diekstraksi dengan metanol (refluks 60°C, 3x3 jam), menghasilkan 11.56% (b.b) ekstrak metanol (EM- 3; coklat tua kehitaman), dan residunya diekstrak lagi dengan etil asetat (refluks 65°C, 3x3 jam}, menghasilkan 1.59% (b.b) ekstrak etil asetat (EE-3; oranye dan bersifat seperti minyak/oi/y), masing-masing dengan diameter zona hambat terhadap S aureus, d'= 99.20 dan 24.23 mm/g biji atung. Ekstraksi pelarut-pelarut terhadap ekstrak EM-3, berturut-turut menggunakan petroleum eter 40-60°C (PE), dan residunya diekstrak dengan PE:etil asetat ( 4: 1, v/v), menghasilkan ekstrak EM-3.6 dan residu biji atung. Kemudian residu tersebut diekstraksi dengan diklorometana, menghasilkan ekstrak EM-3.9 dan rersidunya diekstraksi lagi dengan kloroform, menghasilkan ekstrak EM-3.12. Ketiga ekstrak antibakteri tersebut digabung menjadi ekstrak MT (3.17%, b.b) yang memiliki nilai d' = 391 mm/g ekstrak MT. Ekstrak MT memiliki nilai MIC (minimum inhibitory concentration) dan MBC (minimum bactericidal concentration) terhadap S. aureus, B. cereus, P. fluorescens dan E.coli, masing-masing adalah 1.75/4.99, 2.36/4.63, 3.95/6.49, dan 3.35/5.68 mg/ml. Fraksinasi ekstrak MT dengan kromatografi lapis tipis silika gel 60 F254 menggunakan dua pengembang yang terdiri dari, diklorometana:heksana (90.3:9.7, v/v), kloroform:heksana (68.3:31.7, v/v), dietil eter, masing-masing dengan perbandingan 3:3:4 (v/v/v, Pengembang N) dan 6:3:1 (v/v/v, Pengembang 0), menghasilkan 12 isolat komponen antibakteri biji atung, dengan kemumian komponen tertinggi pada isolat komponen 9 (94% pada 280 nm). Rata-rata aktivitas antibakteri ( S. aureus; metode difusi agar) 12 isolat terse but masih di bawah aktivitas antibakteri ekstrak asal isolat (ekstrak MT). Dari hasil pengujian daya antibakteri pada gabungan fraksi-fraksi antibakteri, diketahui bahwa sebagian besar fraksi antibakteri dalam biji atung bersifat sinergis (saling memperkuat) daya antibakterinya satu sama lain., Atung (Parinarium g/aberrimum Hassk) is one of tropical trees which grows at Maluku Islands. Atung seeds have been used as a traditional food preservative and for traditional medicines, such as antidiarhea, by many people in Maluku. Based on tentative identification of volatile components from atung seeds, 17-chemical classes of components were identified where the largest component were aldehydes (34%), alkanes (17%), alkenes (11%), alcohols (7%), and ketones (6%). Most aldehydes are most probably derived from decomposition of lipids present in atung seeds formed after storage of the seeds and during hot extraction. The extraction steps of atung seeds were first, extraction using petroleum ether (PE) b.p. 40-60°C (Soxhlet, 8 h), the residue obtained was extracted using hexane (Soxhlet, 3x8 h). The residue obtained after hexane extraction was extracted using methanol (reflux at 60°C, 3x3 h) to give methanol extract, and finally the residue obtained after methanol extraction was extracted using ethyl acetate (reflux at 65°C, 3x3 h) to give ethyl acetate extract. The methanol extract (EM-3 extract, 11.56% w.b) had a growth inhibition activity towards S. aureus (BCC 0007) with an inhibition zone diameter, d' = 99.20 mm/g of atung seeds whereas that of the ethylacetate extract (1.59% w.b) was d' = 24.23 mm/g of atung seeds. Fractionation of the methanol extract using liquid-liquid batch extraction using PE yielded an extract and a residue. The residue was extracted using PE:ethyl acetate (4:1, v/v) to give an EM-3.6 extract. The residue obtained after the extraction using PE:ethyl acetate was extracted further using dichloromethane to give an EM-3.9 extract and the residue obtained was finally extracted using chloroform to give an EM-3.12 extract. The EM.:3.6, EM-3.9, and EM-3.12 extracts were combined together to yield an MT extract. The MT extract (3.17% w.b) had an antibacterial activity towards S. aureus with d' = 391 mm/g MT extract. MIC of MT extract towards S. aureus, B. cereus, and P. fluorescens was 1.75, 2.36, and 3.95 mg/ml, respectively, whereas the MBC of the extract towards the same bacteria was 4.99, 4.63, and 6.46 mg/ml, respectively. Fractionation of the MT extract using TLC system (silica gel 60 F254; Triangle-PRISMA Method) with two suitable mobile phases, each consisted of dichloromethane/hexane (90.3/9.7, v/v): chloroform/hexane (68.3/31.7,v/v): diethyl ether at 3:3:4 (v/v/v, for collecting fractions) and 6:3:1 (v/v/v, for clean-up) were resulted of 12 antibacterial isolates. Isolate-?, 8, and 9 had higher antibacterial activity ( S. aureus; agar difussion method) than the other isolates, but still lower than that of the MT extract (initial extract). This suggested that most antibacterial components of atung seeds have sinergism effects. lsolate-9 (94% purity at 280 nm) showed slightly green fluorescent under long wave UV light. The UV-Vis spectrum of lsolate-9 showed that the Amax (in methanol) was at 213 and 269 nm. IR spectrum of the isolate showed the presence of C-H (2910-2850 cm·1 ) and free O-H (341 0 cm·1)_ MS spectrum of the isolate showed an m/z of 44 (100%) and m/z 57, 69, 83, 97, 115 with low intensity. This suggests that the component is likely to be an aliphatic amine having OH group (from IR spectrum) and two or three conjugated double bonds (from UV spectrum). Parinarium glaberriumum, Seed extraction
Potensi Penghambatan Sel Kanker Dan Keamanan Tepung Teripang Gama (Stichopus Variegatus) Sebagai Bahan Pangan Fungsional Prevalensi penyakit kanker diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perubahan pola konsumsi pangan. Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor risiko dominan penyebab penyakit kanker. Prevalensi kanker sebenarnya dapat dihindari melalui konsumsi pangan fungsional. Teripang gama layak untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional, salah satunya adalah peptida bioaktif sebagai komponen bioaktif dari teripang yang berkhasiat bagi kesehatan tubuh. Tujuan penelitian ini adalah membuat tepung teripang menggunakan oven vakum dan menguji potensinya sebagai sumber antioksidan, antikanker, serta keamanannya untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan fungsional. Penelitian ini menggunakan teripang gama (Stichopus variegatus) yang diperoleh dari Balai Budidaya Laut (BBL) Lampung Selatan. Teripang gama yang digunakan adalah teripang dengan kisaran bobot rata-rata 600 gram/ekor dan panjang rata-rata 25 cm/ekor. Tahapan penelitian ini meliputi pembuatan tepung teripang dengan cara teripang dipotong-potong kecil, dikeringkan dengan oven vakum kondisi 50oC, 65 cmHg selama 4 jam, kemudian teripang kering ditepungkan sampai ukuran 60 mesh. Selanjutnya, sediaan ekstrak air dibuat dengan cara tepung teripang gama sebanyak 5 g ditambahkan dengan akuades demineral 150 mL, kemudian didiamkan selama 5 menit sambil diaduk, lalu dilanjutkan dengan sonikasi selama 30 menit. Selanjutnya, ekstrak air tepung teripang disentrifuse selama 30 menit, 5031 g, suhu 4oC. Pembuatan hidrolisat protein dilakukan dengan cara 8 g tepung teripang disuspensikan ke 160 mL akuades dan dilakukan homogenisasi selama 2 menit. Kemudian dilakukan perebusan pada suhu 98oC selama 20 menit. Setelah dingin, dilakukan penambahan enzim pepsin (10 Unit/g), pada suhu 37oC dan pH 2.0 selama 2 jam. Selanjutnya, proses hidrolisis diteruskan dengan tripsin dan kimotripsin secara bersamaan (0.4 Unit/g dan 100 Unit/g) pada suhu 37 oC dan pH 7.5 selama 2 jam. Setelah itu, homogenat dipanaskan pada suhu 85oC selama 20 menit untuk menginaktifkan enzim. Setelah proses hidrolisis selesai, dilanjutkan dengan pemisahan supernatan dari presipitan menggunakan sentrifugasi 9820 g, selama 45 menit suhu 4oC. Hidrolisat yang diperoleh dilakukan proses freeze drying. Karakterisasi tepung teripang gama, ekstrak air dan hidrolisat protein yang dilakukan meliputi kadar proksimat, profil asam lemak total, profil asam amino total, berat molekul, dan gugus fungsional. Ekstrak air dan hidrolisat protein diuji potensi antioksidan dan penghambatan terhadap sel kanker kolon WiDr, sel payudara T47D, sel normal Vero secara in vitro, dan kemampuan induksi apoptosis. Pengujian keamanan tepung teripang untuk dikonsumsi pada mencit jantan BAL/c melalui sediaan ekstrak air secara akut selama 7 hari (dosis tunggal) maupun subkronis selama 28 hari/4 minggu (dosis berulang dalam jangka waktu tertentu) dan 14 hari/2 minggu untuk masa pemulihan (recovery). Mencit dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu uji akut (kelompok kontrol; kelompok dosis 0.005 g/kgBB (D); kelompok dosis 0.05 g/kgBB (F); kelompok dosis 0.5 g/kgBB (G)). Uji sub kronis (kelompok kontrol; kelompok dosis 1 g/kgBB (D1); kelompok dosis 1.5 g/kgBB (D2); kelompok dosis 2.5 g/kgBB (D3)). Mencit kelompok kontrol hanya menerima pakan normal. Pada kelompok akut, masing-masing jumlah mencit kelompok kontrol dan kelompok dosis yaitu 5 ekor. Pada kelompok subkronis, masing-masing jumlah mencit kelompok kontrol dan kelompok dosis yaitu 7 ekor. Parameter yang diamati seperti pengamatan fisik, perubahan tingkah laku, ada tidaknya kematian akibat pemberian ekstrak air tepung teripang, komposisi biokimia serum darah yaitu glukosa, lipid, protein, SGPT, SGOT, urea, natrium, klorida, kalium; dan differensiasi leukosit serta histologi hati, limfa, dan ginjal. Tepung teripang gama yang dihasilkan memiliki kandungan protein sebesar 34.33 ± 0.10% g/100g (basis kering,bk), dan lemak sebesar 1.08 ± 0.01% g/100g (bk). Tepung teripang gama memiliki kandungan asam amino glisin sebesar 4.99 ± 0.01% g/100g (bk) dan lisin sebesar 5.79 ± 0.01% g/100g (bk), kaya akan asam arakidonat, asam palmitat sebesar 3.51± 0.02% g/100g (bk), dan asam stearat sebesar 2.16± 0.03% g/100g (bk). Kandungan proksimat, asam amino, dan total fenol hidrolisat protein dan ekstrak air dari tepung teripang gama bervariasi. Hidrolisat protein memiliki fraksi peptida dengan berat molekul rendah yaitu 21, 19, dan 9 kDa sedangkan peptida ekstrak air memiliki berat molekul lebih bervariasi antara 279 sampai 9 kDa. Senyawa pada ekstrak air memiliki banyak gugus fungsi C-O stretching dan C-H bending, serta O-H bending. Ekstrak air menunjukkan aktivitas antioksidan sebesar 2.30±0.30mg/mL sedangkan hidrolisat protein sebesar 1.67±0.05mg/mL. Ekstrak air dan hidrolisat protein dari tepung teripang gama memiliki potensi sebagai antikanker terhadap sel kolon WiDr, yaitu IC50 sebesar 69.37±24.25 μg/mL dan 13.01±2.75 μg/mL secara in vitro. Pada konsentrasi IC50 sebesar 13.01±2.75 μg/mL, hidrolisat protein mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon WiDr melalui induksi apoptosis sebesar 64.9±1.63%. Hasil uji akut menunjukkan pemberian ekstrak air tepung teripang pada dosis perlakuan sampai 0.5 g/kgBB tidak mempengaruhi tingkah laku, fisik, rata-rata berat badan dan konsumsi pakan selama 7 hari pengamatan. Pada uji subkronis sampai dosis 2.5 g/kgBB menunjukkan tidak terjadi kematian, perubahan fisik dan tingkah laku, serta penurunan konsumsi pakan dan berat badan pada mencit perlakuan selama pengamatan, hasil biokimia serum darah menunjukkan glukosa, lipid, protein, SGPT, SGOT, urea, natrium, klorida, kalium dan jumlah differensiasi leukosit masih dalam rentang darah normal, serta secara histologi menunjukkan kerusakan sel organ hati, ginjal dan limfa masih bersifat reversibel. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air tepung teripang gama aman dikonsumsi bagi mencit percobaan. Tepung teripang gama (Stichopus variegatus) yang diproses menggunakan oven vakum berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional antikanker antioksidan, antikanker, ekstrak air, hidrolisat protein, tepung teripang gama
A model of stepping medium temperature freezing system with exergy method on beef preservation. Beef preservation was required to maintain the qual ity of the product during distribution and storage. There were some co mmon different freezing systems, such as; (1) Drying, (2) Adding chemical s olution, and (3) Freezing. Among these systems, freezing system was considered the best method to keep the product fresh after thawing. By using the secon d law thermodynamics, the in- efficiency of energy consumption on freezing system could be analyzed. The method to analyze it was known as exergy analysis. In conventional freezing method, the product was fr ozen at the constant medium temperature with the great energy consumptio n. However, the current developing of a freezing system model with stepping system was intended to control the input of energy from the pre-cooling to the freezing stage. The stepping system was conducted with controlled mediu m temperature since medium temperature of freezer influenced the energy consumption. exergy analysis, exergetic freezing system, freezing temperature
Variabilitas massa air permukaan dari data satelit di Perairan Selat Makasar Perairan Indonesia memiliki peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim. Kondisi oseanografi Perairan Selat Makasar adalah bagian dari Perairan Indonesia yang merupakan lintasan utama dari arus lintas Indonesia. Perairan ini mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh arus lintas Indonesia berdampak terhadap perimbangan parameter bahang dan salinitas di kedua samudera. Dengan memperhatikan penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan saling melengkapi informasi tentang dinamika perairan Selat Makasar, maka perlu dilakukan pengamatan variabilitas oseanografi menggunakan data penginderaan jauh satelit hubungannya dengan sumber daya ikan di perairan Selat Makasar. Penelitian ini bertujuan menganalisis variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil dari data penginderaan jauh secara spasial dan temporal di perairan Selat Makasar. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan perairan di Selat Makasar. Data suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil dan tinggi muka diolah dengan menggunakan perangkat lunak ferret menjadi deret waktu sesuai dengan daerah pengamatan. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara spasial dan temporal untuk melihat pola sebarannya seperti pergerakan massa air, penaikan massa air dan front. Selanjutnya diolah dengan pendekatan wavelet transform berupa continuous wavelet transform yang digunakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya hubungan antara dua times series secara bersamaan dan proses sebab akibat diantara keduanya, selanjutnya cross wavelet transform yang akan memunculkan fase power dan relatif dalam domain frekuensi-waktu dan kemudian menggunakan analisis wavelet coheren, untuk mengetahui koherensi yang signifikan dari data yang diolah. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui adanya pengaruh seasonal dan intraseasonal dengan menginterpretasi periodisitas data yang dominan. Hasil penelitian menunjukan variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar dipengaruhi keadaaan musim. Konsentrasi klorofil saat musim timur lebih tinggi dan kecenderungan meningkat konsentrasinya terutama dibagian selatan perairan, sedangkan suhu permukaan laut dan tinggi muka laut lebih rendah. Pada saat musim barat konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar Kalimantan Timur dan bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar sebagai akibat tidak langsung dari tingginya curah hujan sehingga membawa kandungan zat hara dari limpasan air daratan seperti sekitar Perairan Delta Mahakam, untuk nilai suhu permukaan laut relatif rendah dan tinggi muka laut lebih tinggi dibagian selatan dibandingkan bagian utara perairan. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar dan sekitarnya dipengaruhi musim. Konsentrasi klorofil saat musim timur lebih tinggi dan kecenderungan meningkat konsentrasinya terutama xix dibagian selatan perairan, sedangkan suhu permukaan laut dan tinggi muka laut lebih rendah. Pada saat musim barat konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar Kalimantan Timur dan bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar sebagai akibat tidak langsung dari tingginya curah hujan sehingga membawa kandungan zat hara dari limpasan air daratan seperti sekitar Perairan Delta Mahakam, untuk nilai suhu permukaan laut relatif rendah dan tinggi muka laut lebih tinggi dibagian selatan dibandingkan bagian utara perairan. Kesuburan Perairan Selat Makasar terjadi sepanjang tahun, disebabkan adanya massa air permukaan pada saat musim barat yang bergerak dari Laut Jawa yang mengandung konsentrasi klorofil tinggi ke Perairan Selat Makasar dan adanya pengaruh tidak langsung dari tingginya curah hujan pada musim tersebut sehingga kandungan zat hara dari daratan terbawa oleh limpasan air sungai ke Perairan Selat Makasar. Pada saat musim timur, disebabkan adanya penaikan massa air di bagian selatan Perairan Selat Makasar.
Sirkulasi Lintas Paparan dan Keterkaitannya dengan Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a di Selatan Jawa Variabilitas klorofil-a dalam sistem Upwelling berasosiasi dengan variabel variabel fisik yang terlibat di dalamnya. Beberapa variabel fisik ini antara lain adalah angin, sirkulasi laut yang terkait arus, Suhu Permukaan Laut (SPL), dan Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL). Pengaruh dari keempat variabel fisik tersebut terhadap variabilitas klorofil-a di wilayah paparan Selatan Jawa diuji menggunakan data satelit dan data reanalisis dari tahun 2002 hingga 2017. Variabilitas klorofil-a ditentukan menggunakan Empirical Orthogonal Function (EOF) dan analisis klimatologi. Hubungan antar variabel upwelling ditentukan melalui korelasi Pearson, korelasi silang dan Regresi Linier multi parameter. Angin, SPL, dan klorofil-a digunakan untuk menentukan Indeks Upwelling (IU). Arus Selatan Jawa bergerak dominan ke Timur dari permukaan hingga kedalaman sekitar 150 m pada bulan Januari hingga Mei dan mulai mengalami pelemahan dan bahkan pembalikan arah pada bulan Juni hingga September. Analisis spektrum Arus Selatan Jawa menunjukkan siklus 73 dan 182.5 harian. Kekuatan arus batas Selatan Jawa di wilayah kajian hanya mampu mengangkat massa air di bagian interior saja, sekitar 50 m ke lapisan di atasnya dan belum cukup kuat untuk mengangkat massa air sampai ke permukaan sehingga komtribusinya terhadap variasi klorofil-a relatif kecil, yang ditunjukkan dengan nilai korelasi dan regresi yang relative rendah. Angin merupakan variabel yang memiliki kontribusi paling signifikan terhadap variasi klorofil-a melalui proses upwelling. Transpor Ekman ke lepas pantai yang diakibatkan oleh hembusan angin sejajar pantai akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a di wilayah paparan sekitar 49–64 hari kemudian, sementara SPL dingin akan disusul dengan kejadian peningkatan klorofil-a sekitar 6-12 hari kemudian di wilayah tersebut. SPL dan Klorofil-a memberikan pengaruh signifikan terhadap Catch per Unit Effort (CPUE). Generalised Additive Model (GAM) dan Generalised Linier Model (GLM) yang dibangun telah mampu menjelaskan sekitar 49% dan 55% secara berturut-turut variasi CPUE ikan layang deles (Decapterus macrosoma) di Prigi selama periode 2018 - 2020, sementara 54% dan 45% lainnya oleh faktor atau variabel lain yang tidak dimasukkan di dalam model. sirkulasi paparan, upwelling Selatan Jawa, arus Selatan Jawa, klorofil-a, data satelit
Cultivation and characterization of active compound and nutrients of marine microalgae Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis is a genera of marine microalgae that can be found in Indonesian waters. The aims of this research were: 1) to grow Chaetoceros gracilis in NPSi medium and to get the extract of Chaetoceros gracilis which contained antibacterial compound, 2) to investigate activity and stability of Chaetoceros gracilis extract, 3) to investigate the effect of Chaetoceros gracilis extract against bacteria, and 4) to determine the chemical composition of Chaetoceros gracilis biomass. The Chaetoceros gracilis was grown in nitrogen phosphate silica (NPSi) medium, continously aerated and illuminated by a 20 watt tube lamp (2500 lux). The cultivation was maintained at 25-26 oC, and harvested on the 7th day of cultivation. The biomass was separated using ceramic filter pore 0,3 μm and then freezed dried. They were extracted by methanol. Antibacterial activity of extract was tested against Gram positive and negative bacteria by agar diffusion method, compared to commercial antibiotic (chloramphenicol, tetracycline, oxytetracycline and ampicillin). The stability was tested during storage. Mechanism of inhibition was determined by analyzing cell damage. The content of Chaetoceros gracilis biomass such as amino acid, fatty acid, and minerals was determined using HPLC, GC and AAS respectively. The result showed that Chaetoceros gracilis grew well in NPSi medium. Extract of Chaetoceros gracilis showed antibacterial activity against Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923, dan Bacillus cereus ATCC 13091 at the concentration of 300 μg/disc. Antibacterial activity of Chaetoceros gracilis extract at concentration of 300 μg/disc was lower than antibacterial at the same concentration of chloramphenicol, tetracycline, oxytetracycline and ampicillin. After being storaged for 6 months, the extract still showed the same antibacterial activity. The extract of C. gracilis cause damage by leakage of the cell. Chaetoceros gracilis contained essential amino acids (threonine, valine, methionine, leucine, isoleucine, lysine, phenylalanine, histidine), and non essential amino acids (aspartic acid, glutamic acid, serine, glycine, arginine, alanine, tyrosine); saturated fatty acid such as caprilic acid, (C8:0), myristic acid, (C14:0), palmitic acid (C16:0), lauric acid, (C12:0), pentadecanoic acid, (C15:0), stearic acid (C18:0), arachidic acid, (C20:0), heneicosanoic acid (C21:0), behenic (C22:0), and unsaturated fatty acid such as palmitoleic acid (C16:1), heptadecanoic acid (C17:1), myristoleic acid (C14:1), pentadecanoic acid (C15:1), oleic acid (C18:1n9), linoleic acid (C18:3n3), arachidonic acid (C20:4n6), g-linolenic acid (C18:3n6), docosadienoic acid (C22:2), eicosapentaenoic acid (C20:5n3) and docosahexaenoic acid (C22:6n3). Biomass of Chaetoceros gracilis contained minerals such as phosphor (P), magnesium (Mg), ferrum (Fe), zink (Zn), calcium (Ca), and silicate. The biomass also containted alcalloid, steroid, carbohydrate, amino acid, and 0,1 % nucleic acid. It need further study on toxicity.
Karakterisasi Peptida Antimikroba (AMPs) dari Siput Laut Gonggong (Strombus sp.) asal Pulau Bintan Kepulauan Riau Antimicrobial Peptides (AMPs) merupakan senyawa dengan bobot molekul rendah, berupa protein atau peptida pendek yang diproduksi oleh sel-sel dan jaringan dalam tubuh makhluk hidup yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh, mulai dari prokariot, tumbuhan, hewan dan manusia. AMPs dapat memiliki aktivitas menghambat atau membunuh mikroba. Dewasa ini beberapa tipe antibiotik telah dikembangkan untuk keperluan klinis tetapi belum cukup untuk mengatasi laju kecepatan resistensi terhadap bakteri patogen, maka perlu dicari alternatif antibiotik alami yang aman dan tidak menimbulkan efek samping. Tingginya kejadian resistensi terhadap antibiotik konvensional (10 juta orang meninggal/tahun) telah menumbuhkan minat peneliti untuk mengembangkan AMPs dari moluska (gastropoda), karena diduga memiliki kemampuan antibiotik yang lebih baik dibandingkan AMPs dari hewan darat. Salah satu jenis biota laut di Kepulauan Riau yang bernilai ekonomis tinggi tetapi belum banyak dikenal adalah siput laut gonggong (Strombus sp.) atau gonggong. Gonggong merupakan sejenis moluska dari kelas Gastropoda (famili Strombidae) yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya yang menjadi “Icon” Tanjungpinang-Provinsi Kepulauan Riau. Penelitian ini mengambil sampel dari Pulau Bintan sehingga untuk selanjutnya penamaan gonggong asal Bintan disebut sebagai gonggong Bintan. Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa gonggong mengandung kadar protein sangat tinggi (19.77% b/b) dan mengandung asam amino arginin, lisin, leusin, glisin, serin, dan valin. Secara umum asam amino penyusun AMPs pada moluska kaya akan asam amino arginin, lisin, glisin, prolin, serin, alanin dan sistein. Selama ini penelitian AMPs pada moluska hanya dilakukan pada bivalva dan sedikit dari gastropoda (umumnya hanya pada abalon). Penelusuran literatur menunjukkan bahwa gastropoda Strombus sp. (gonggong) belum pernah diteliti tentang peptida antimikroba (AMPs). Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi spesies gonggong Bintan berdasarkan morfologi dan profil molekuler gonggong Bintan berdasarkan analisis gen parsial histon H3. (2) Mengkarakterisasi profil protein gonggong Bintan dan menguji aktivitas antimikroba pada ekstrak daging gonggong Bintan, (3) Mengisolasi dan karakterisasi peptida antimikroba (AMPs) dari ekstrak daging gonggong Bintan. Identifikasi gonggong Bintan berdasarkan morfologi mengacu pada morfologi Cob et al. (2008), Dharma (2005) dan Mollusca Base (2018). Identifikasi profil molekuler gonggong Bintan menggunakan primer gen parsial histon (H3A dan H3B) dan kemudian dianalisis hubungan filogenetiknya dengan menggunakan software MEGA-X (bootstrap 1000 kali ulangan). Karakterisasi profil protein gonggong menggunakan metode SDS-PAGE. Pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak daging gonggong Bintan menggunakan bakteri Escherichia coli ATCC 25922 (Gram negatif) dan Staphylococcus aureus ATCC 25923 (Gram positif). Isolasi ekstrak daging gonggong Bintan yang memiliki aktivitas antimikroba dengan metode SDS-PAGE dan sampel terpilih disekuensing menggunakan LC-MS/MS. Hasil sekuensing asam amino kemudiaan dianalisis dengan studi bioinformatika. Prediksi sifat fisiko-kimia dan struktur peptida dianalisis menggunakan program PepDraw, ProtParam dan PEP-FOLD serta pyMol Program. Hasil penelitian identifikasi gonggong Bintan secara morfologi didapatkan bahwa gonggong tebal dan gonggong tipis berbeda nyata pada lebar cangkang, ketebalan bibir cangkang dan berat total, tetapi variabel lainnya tidak berbeda nyata (p < 0.05). Gonggong Bintan (bercangkang tebal dan bercangkang tipis) berdasarkan morfologi cangkangnya merupakan spesies Leavistrombus turturella. Identifikasi profil molekuler gonggong Bintan (analisis gen parsial histon H3) berdasarkan analisis pohon filogenetik didapatkan bahwa gonggong bercangkang tebal dan bercangkang tipis berada pada satu spesies dari genus Strombus dengan jarak genetik 1%. Gonggong Bintan sangat dekat kekerabatannya dengan Strombus epidromis dan merupakan spesies yang berbeda dengan Strombus epidromis dan Strombus canarium. Karakterisasi profil protein daging gonggong Bintan (bercangkang tebal dan bercangkang tipis) pada daging lembutnya memiliki kesamaan jenis protein pada berat molekul 20 kDa dan 37 kDa. Jenis protein pada daging keras gonggong bercangkang tebal dan bercangkang tipis, hemolimph dan lendir gonggong Bintan memiliki kesamaan jenis protein pada berat molekul 37 kDa. Secara umum ekstrak daging gonggong Bintan (segar dan rebus) memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri S.aureus dan E.coli, akan tetapi lebih sensitif terhadap bakteri S.aureus (Gram positif.). Nilai diameter daya hambat (DDH) tertinggi adalah pada sampel gonggong rebus bercangkang tebal yaitu 25.35 ± 0.42 mm. Hasil karakterisasi protein pada ekstrak daging gonggong rebus bercangkang tebal diprediksi memiliki berat molekul 1.4-3.6 kDa. Hasil analisis bioinformatika didapatkan bahwa ekstrak daging gonggong Bintan (gonggong rebus bercangkang tebal) memiliki berat molekul 1.4 kDa terdiri dari 12 residu asam amino yaitu RHPDYSVALLLR, memiliki struktur α-helix, pH titik isoelektrik (pI) sebesar 9.53, net charge +1, total rasio asam amino hidrofobik 49.9%, hydrophobicity sebesar +13.67 kkal/mol dan protein-binding potential 2.17 kkal/mol. Keberadaan ring prolin, kaya asam amino hidrofobik dan posisi asam amino kationik (arginin) di kedua sisi terminal C dan terminal N, struktur α-helix, dan berat molekul kecil menjadikan AMPs gonggong Bintan dapat menghambat dan membunuh mikroba. Gonggong Bintan dapat menjadi alternatif sumber peptida antimikroba (AMPs) baru sehingga gonggong rebus Bintan berpotensi sebagai pangan fungsional khas Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. gonggong Bintan, Strombus sp., profil protein, peptida antimikroba
Kajian Antiinfeksi Isolat Bakteri Asam Laktat Asal Mandai Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang jika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup akan memberikan manfaat bagi kesehatan inangnya. Probiotik telah banyak digunakan dalam pengobatan dan pencegahan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri enterik. Eksplorasi sumber-sumber probiotik dapat dilakukan pada pangan fermentasi tradisional, salah satu di antaranya mandai, untuk mencari isolat-isolat yang mempunyai sifat fungsional yang dapat meningkatkan kesehatan. Mandai merupakan pangan fermentasi yang terbuat dari dami atau bagian dalam kulit cempedak yang tidak dikonsumsi. Sejumlah isolat bakteri asam laktat sebelumnya telah diisolasi dari mandai, tetapi perlu dilakukan pengujian sifat dasar yang harus dimiliki sebagai kandidat probiotik. Untuk memperoleh isolat bakteri asam laktat yang mempunyai khasiat dan manfaat yang unggul, maka perlu dilakukan seleksi lebih lanjut berupa skrining potensi probiotik. Tujuan penelitian ini pada tahap pertama adalah untuk melakukan isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat yang diisolasi dari mandai serta mengevaluasi potensinya sebagai probiotik. Tujuan tahap kedua adalah untuk mengevaluasi agregasi, adhesi terhadap sel HCT-116 dan kemampuan berkompetisi terhadap enteropatogen (Listeria monocytogenes ATCC 13932, Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) K1.1 dan Salmonella enterica serovar Typhimurium ATCC 14028). Tujuan tahap ketiga adalah untuk mengevaluasi kemampuan Lactobacillus plantarum MB427 asal mandai sebagai antidiare terhadap Escherichia coli enteropatogenik (EPEC) secara in vivo. Sampel mandai diperoleh dari beberapa industri rumah tangga di Kalimantan Timur, yang dibuat dengan kadar garam 5, 10 dan 15%. Delapan puluh lima isolat bakteri asam laktat diperoleh dari mandai pada hari ke-4, 8 dan 12 fermentasi dan dikaji sifat-sifat probiotiknya. Semua isolat menunjukkan toleransi yang baik terhadap pH rendah (pH 2.0) dengan penurunan jumlah sel hidup kurang dari dua log cfu/ml. Isolat bakteri asam laktat dapat tumbuh dengan adanya 0.5% garam empedu walaupun jumlah sel hidupnya menurun dibandingkan dengan jumlah sel hidup pada medium tanpa garam empedu. Penurunan jumlah isolat hidup kurang dari 1 log cfu/ml teramati pada 21 isolat. Sembilan belas isolat dapat mentoleransi pH 2.0 dan garam empedu 0.5% lebih baik daripada yang lain dengan total penurunan jumlah sel hidup kurang dari 1 log cfu/ml. Sebagian besar isolat (11 dari 19) yang mentoleransi pH rendah diperoleh dari fermentasi mandai hari ke-8. Isolat MC812 mempunyai sifat antimikroba yang baik terhadap semua patogen uji (Listeria monocytogenes ATCC 13932, Enterococcus faecalis ATCC 19433, Bacillus cereus ATCC 10876, Escherichia coli ATCC 25922 dan Salmonella typhimurium ATCC 14028). Sembilan isolat lain mempunyai sifat antimikroba yang baik terhadap 3 atau lebih patogen uji. Resistensi terhadap antibiotik bervariasi di antara isolat. Kesepuluh isolat iii diidentifikasi sebagai Lactobacillus plantarum dengan API 50 CHL dan dikonfirmasi dengan real-time-PCR. Empat strain L. plantarum MC805, MC807, MB411 dan MB427 memiliki kemampuan autoagregasi yang baik, di atas 50%, tetapi hanya dua strain, MC802 dan MC812, yang menunjukkan kemampuan koagregasi (di atas 25%) dengan semua enteropatogen yang diuji. Lima strain L. plantarum(MB427, MB411, MC807, MC805, MC802), menunjukkan kemampuan beradhesi terhadap sel HCT-116 di atas 60%, dengan adhesi tertinggi (74%) ditunjukkan oleh MB427 setelah 1 jam inkubasi pada 37oC. Semua patogen dapat menempel pada sel HCT-116 dengan persentase adhesi berkisar dari 51 sampai 62%.L. plantarum menunjukkan potensi untuk melakukan penggantian (displacement), berkompetisi dan mengeksklusi enteropatogen pada sel HCT-116, tetapi kemampuan tersebut bersifat spesifik untuk setiap strain L. plantarumdan setiap patogen. Strain L. plantarum menunjukkan kemampuan kompetisi, eksklusi dan penggantian terhadap EPEC lebih baik daripada S. Typhimurium dan L. monocytogenes.L. plantarum MB427 menunjukkan kemampuan penghambatan yang kuat terhadap tiga pathogen kecuali dalam menggantikan L. monocytogenes. Strain L. plantarum dengan kemampuan tertinggi untuk berkompetisi, mengeksklusi dan menggantikan EPECdan S. Typhimurium adalah MB427 dan MB411 serta MB427, MC802, dan MC805; secara berurutan. Bakteri kandidat probiotik L. plantarum MB427 yang diberikan pada tikus dapat menurunkan jumlah kejadian, tingkat keparahan dan durasi diare dibandingkan dengan kontrol yang hanya diinfeksi EPEC. Tikus yang menerima L. plantarum MB427 7 hari sebelum sampai 7 hari setelah diinfeksi EPEC menunjukkan jumlah kejadian dan tingkat keparahan diare lebih ringan dibandingkan kelompok yang menerima L. plantarum MB427 bersamaan dengan sampai 7 hari setelah diinfeksi EPEC. Kandidat probiotik L. plantarum MB427 mampu bertahan melewati saluran gastrointestinal tikus dan dapat mempertahankan jumlahnya dibandingkan dengan kontrol.L. plantarum MB427 juga memperlihatkan kemampuan beradhesi dan berkolonisasi pada saluran gastrointestinal tikus (sekum dan kolon). Tidak ditemukan indikasi adanya kemungkinan L. plantarum MB427 bersifat invasif.Kelompok yang menerima L. plantarum MB427 7 hari sebelum sampai 7 hari setelah diinfeksi EPEC menunjukkan nilai IgA dan IgG lebih tinggi daripada kelompok yang mendapat probiotik bersamaan dengan sampai 7 hari setelah diinfeksi EPEC. Berdasarkan data yang diperoleh, pemberian L. plantarum MB427 dapat dipertimbangkan dalam mencegah dan mengurangi diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC. probiotik, mandai, antiinfeksi, Lactobacillus plantarum
System dynamics modelling for the design of green tea industry supply chain management In the recent competitive era, business actors should aware that competition among supply chains was the condition faced by their business. This condition required a supply chain management theory and practice integrating the management of business functions in an inter-organizational relation. This research used system dynamics methodology aiming to design for green tea industry supply chain management. In addition, this research developed a supply chain management performance measurement, which integrated balanced scorecard performance measurement with value-added measurement. supply chain, Balanced performance, Value added, Vertical coordination
Penaksiran dinamika lengas tanah menggunakan model neraca air dan data penginderaan jauh multi resolusi untuk operasional irigasi Informasi kondisi kandungan lengas tanah merupakan salah satu informasi penting bagi manajemen irigasi lahan agar tepat sasaran sehingga akan menurunkan biaya yang digunakan dalam opersional irigasi. Penggunaan data penginderaan jauh diharapkan mampu memberikan informasi kandungan lengas tanah secara cepat dan tepat, karena data penginderaan jauh mampu mengindera permukaan lahan dalam durasi singkat dengan cakupan yang luas. Hal yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh kemampuan data penginderaan jauh memberikan informasi kandungan lengas tanah dan evapotranspirasi sebagai masukan dalam neraca air untuk manajemen irigasi. Penelitian ini bertujuan untuk menaksir kebutuhan air tanaman melalui dinamika lengas tanah menggunakan model neraca air menggunakan data penginderaan jauh multi-resolusi. Penentuan evapotranspirasi melalui analisis citra Landsat TM7 dan MODIS dilakukan menggunakan pendekatan kesetimbangan energi dan persamaan Hergreaves. Nilai evapotranspirasi juga dihitung menggunakan rumus Penman-Monteith dan persamaan panci evaporasi. Penentuan lengas menggunakan analisis citra melalui pendekatan pengukuran tidak langsung dengan parameter indeks vegetasi dalam hal ini NDVI (Nomalized Diferrence Vegetation Indeks) dan suhu permukaan (Ts) menggunakan universal triangle NDVI-Ts. Penggunaan transformasi wavelet dilakukan untuk memadukan citra Landsat TM7 dan MODIS agar mampu memperoleh keunggulan dari kedua data input. Hasil yang diharapkan adalah data dengan kualitas citra Landsat TM namun mempunyai resolusi temporal sesuai dengan citra MODIS. Analisis kebutuhan air tanaman merupakan informasi kebutuhan air tanaman untuk mencapai kapasitas lapang dari kandungan lengas tanah. Informasi kandungan lengas tanah diperoleh dengan perhitungan neraca air menggunakan parameter input; data curah hujan, data evapotranspirasi, data kandungan lengas tanah sebelumnya. Hasil yang diperoleh dari perhitungan menggunakan pendekatan model neraca air yaitu kandungan lengas tanah pada waktu rencana. ...dst karakteristik nenas, lengas tanah, citra MODIS, teknik budidaya
Model of Irrigation Automatization Based on Evapotranspiration Mechanism for Vegetable Cultivation in Pots Salah satu sistem irigasi yang relatif baru adalah irigasi evaporatif. Irigasi evaporatif merupakan konsep pengendalian air irigasi yang didasarkan pada respon tanaman yang diwakili oleh laju evaporasi dan evapotranspirasi. Metode perhitungan neraca air dapat digunakan untuk penjadwalan irigasi dengan memantau evapotranspirasi tanaman. Penjadwalan irigasi dengan penerapan air untuk tanaman dalam jumlah yang tepat dan pada waktu yang tepat dapat menghasilkan produktivitas air yang optimal. Produktivitas air merupakan indikator penting untuk mengetahui seberapa besar nilai ekonomis dari air irigasi. Penelitian ini bertujuan untuk merancang model otomatisasi irigasi untuk budidaya sayuran dalam pot dengan sistem irigasi evapotranspiratif di dalam dan di luar rumah tanaman. Penelitian dilakukan dengan mengembangkan teknologi irigasi otomatis yang dikontrol oleh stopkeran pelampung berdasarkan laju evaporasi dan evapotranspirasi tanpa tenaga listrik. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor selama 2 tahap. Penelitian tahap pertama dilakukan untuk pengamatan kinerja rancangan modifikasi teknologi hidroponik sistem terapung dalam rumah tanaman yang diuji dengan tanaman selada dari 25 April 2018 hingga 30 Mei 2018. Penelitian tahap kedua dilakukan untuk pengujian rancangan sistem irigasi evapotranspiratif bawah permukaan di luar rumah tanaman yang diuji dengan tanaman kangkung dari tanggal 10 November 2020 sampai 27 Desember 2020. Data iklim utama yang diukur pada penelitian ini adalah radiasi matahari, suhu udara, kelembaban relatif, dan curah hujan. Data radiasi matahari dikumpulkan dengan menggunakan sensor Decagon PYR Pyranometer. Data kelembaban relatif dan suhu udara dikumpulkan dengan menggunakan sensor Decagon VP-4. Data curah hujan dikumpulkan dengan menggunakan sensor Decagon ECRN-100 Rain Gauge. Semua data tersebut dikumpulkan dan direkam otomatis menggunakan data logger EM50 dengan interval waktu tiap 5 menit. Evapotranspirasi potensial dalam penelitian ini dihitung menggunakan model Hargreaves. Pengamatan tinggi muka air dilakukan tiap hari dengan mengukur level muka air dari permukaan tanah. Pengukuran dilakukan secara manual setiap pukul 06.00 pagi dan 18.00 sore. Pengukuran kadar air tanah pada pengamatan sistem irigasi kedua penelitian ini juga dilakukan setiap hari dengan mengambil sampel tanah menggunakan ring sample berdiameter 4.8 cm dan tinggi 5.1 cm. Data tinggi muka air dan kadar air tanah tersebut digunakan untuk menghitung volume air dalam sistem pot tanam. Setelah menganalisis komponen-komponen penyusun dari neraca air, akhirnya dapat diturunkan persamaan untuk neraca air pada penelitian ini. Produktivitas selada yang dihasilkan dengan modifikasi teknologi hidroponik sistem terapung dalam rumah tanaman sebesar 1114.6 g m-2 memiliki produktivitas air sebesar 29.58 g liter-1. Koefisien tanaman (Kc) tanaman selada berubah terhadap waktu membentuk persamaan parabola yang dimulai sebesar 0.7 pada awal tanam kemudian menurun hingga mencapai 0.5 kemudian meningkat menjadi 0.8 pada hari tanam ke-36. Sementara itu, produktivitas air secara fisik (WPETc) dalam penelitian ini adalah sebesar 12.32 g liter-1 dan produktivitas air irigasi adalah sebesar 1307.34 g liter-1. Produktivitas air secara ekonomis adalah sebesar Rp 9.2/kg. Dengan demikian, produktivitas air ekonomis dalam penelitian ini dapat menghemat sekitar Rp 22.7/kg untuk biaya air irigasi dalam produksi tanaman. Komponen masukan air pada sistem pot tanam yang terbanyak didominasi oleh curah hujan sebesar 2237.8 liter atau setara dengan 41.56% dari neraca air. Infiltrasi yang terjadi sebesar 857.1 liter atau setara dengan 15.92% berada pada posisi kedua. Komponen irigasi pada neraca air adalah komponen inputan terkecil yang terjadi sebesar 1.9 liter atau setara dengan 0.04%. Sebagai komponen output atau keluaran air pada sistem yang terbanyak didominasi oleh runoff sebesar 1380.7 liter atau setara dengan 25.64%. Selanjutnya komponen drainase terjadi sebanyak 693.5 liter atau setara dengan 12.88%. Konsumsi air oleh tanaman atau evapotranspirasi aktual adalah sebesar 204.3 liter atau setara dengan 3.79%. Akhirnya komponen-komponen masukan dan keluaran pada neraca air ini mempengaruhi perubahan volume terhadap waktu selama pengamatan sebesar 9.8 liter atau setara dengan 0.18%. Nilai error untuk neraca air ini adalah sebesar 0.861%. Model irigasi evapotranspiratif bawah permukan dapat bekerja dan berfungsi dengan baik selama penelitian berlangsung. Sistem otomatisasi irigasi dengan menggunakan stopkeran pelampung yang diterapkan pada model dapat dengan baik menjaga distribusi air irigasi selama masa tanam sehingga dapat mempertahankan tinggi muka air. Model juga dapat dengan baik mendrainase volume kelebihan air yang berada pada pot tanam yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi., One of the relatively new irrigation systems is evaporative irrigation. Evaporative irrigation is an irrigation water control concept based on plant response which is represented by evaporation and evapotranspiration rate. The water balance calculation method can be used for irrigation scheduling by monitoring crop evapotranspiration. Irrigation scheduling with the application of water for plants in the right amount and at the right time can produce optimal water productivity. Water productivity is an important indicator to determine the economic value of irrigation water. This study aims to design an irrigation automation model for vegetable cultivation in pots with an evapotranspirative irrigation/fertigation system inside and outside the greenhouse. The research was conducted by developing automatic irrigation technology controlled by a floating valve based on the rate of evaporation and evapotranspiration without electricity. The research was conducted at the Water Resources Engineering Laboratory, Department of Civil and Environmental Engineering, IPB University for 2 stages. The first stage of research was conducted to observe the performance of the modified floating hydroponic technology design in the greenhouse which was tested with lettuce from 25 April 2018 to 30 May 2018. The second stage of research was conducted to test the design of the subsurface evapotranspirative irrigation system outside the plant house which was tested with water lettuce from 10 November 2020 to 27 December 2020 The main climate data measured in this study are solar radiation, air temperature, relative humidity, and rainfall. Solar radiation data was collected using the Decagon PYR Pyranometer sensor. Relative humidity and air temperature data were collected using the Decagon VP-4 sensor. Rainfall data was collected using the Decagon ECRN-100 Rain Gauge sensor. All data is collected and recorded automatically using the EM50 data logger with 5 minute intervals. Potential evapotranspiration in this study was calculated using the Hargreaves model. Observations of water level are carried out every day by measuring the water level from the soil surface. Measurements were carried out manually every 06.00 am and 06.00 pm. Measurement of soil water content in the second irrigation system observation in this study was also carried out every day by taking soil samples using a ring sample with a diameter of 4.8 cm and a height of 5.1 cm. The data on water level and soil water content are used to calculate the volume of water in the planting pot system. After analyzing the constituent components of the water balance, finally the equation for the water balance in this study can be derived. The yield of lettuce produced by modification floating hydroponic technology in the greenhouse was 1114.6 g m-2 and the water productivity was 29.58 g liter-1. The crop coefficient (Kc) of lettuce changed with time to form a parabolic equation which started at 0.7 at the beginning of planting and then decreased to 0.4 then increased to 1.4 on the 36th planting day. Meanwhile, physical water productivity (WPETc) in this study was 12.32 g liter-1 and irrigation water productivity was 1307.34 g liter-1. Economical water productivity is Rp 9.2/kg. Thus, the economic water productivity in this study can save around Rp 22.7/kg on the cost of irrigation water for crop production. The water input component in the pot planting system is dominated by rainfall of 2237.8 liters or equivalent to 41.56% of the water balance. The infiltration of 857.1 liters or equivalent to 15.92% was in the second position. The irrigation component in the water balance is the smallest input component that occurs at 1.9 liters or equivalent to 0.04%. As a component of the water output in the system, which is mostly dominated by runoff of 1380.7 liters or equivalent to 25.64%. Furthermore, the drainage component occurred as much as 693.5 liters or equivalent to 12.88%. Water consumption by plants or actual evapotranspiration is 204.3 liters or equivalent to 3.79%. Finally, the input and output components in the water balance affect the change in volume over time during the observation of 9.8 liters or equivalent to 0.18%. The error value for this water balance is 0.861%. The subsurface evapotranspiration irrigation model can work and function well during the research. The irrigation automation system using a float stopper that is applied to the model can properly maintain the distribution of irrigation water during the planting period so that it can maintain the water level. The model can also properly drain the volume of excess water that is in the planting pot caused by high rainfall. evapotranspirasi, irigasi evapotranspiratif, neraca air, produktivitas air
Development Ultraviolet (UV) and High Pulsed Electric Field (HPEF) combination pasteurization system for goat’s milk Some efforts have been addressed in order to fulfill the demand of consumers towards goat’s milk products to produce a high quality and effective process for inactivating pathogenic bacteria without damaging the physical, chemical properties of milk, has minimal affects which causes quality and nutritional degradation and reduce, sensory acceptance value. One of alternative method is combination of the ultraviolet (UV) and high pulsed electric field (HPEF). The UV pasteurization instrument uses three reactors constructed in series system at UV-C 10 W and 253.7 nm wavelength with specification 1.80 J/cm2 dose per reactor. The specification of HPEF instrument is 31.67 kV/cm, 0.11 mA, oscilatory and 7.0 pulses for high electric field voltage, electrical current, pulse form and number of pulses, respectively with goat’s milk rate at 4.32 ± 0.71 cc/second. The material for the experiment was fresh goat’s milk sterilized using autoclave at 115oC for 3 minutes and ready for recontamination using Salmonella Typhimurium ATCC 14028, Staphylococcus aureus ATCC 25923 and Escherichia coli ATCC 25922. The bacteria were obtained from Integrated Laboratory of Faculty Animal Science, Bogor Agricultural University which had been grown in 105 cfu/ml concentration. The statistical analysis was conducted using Complete Randomized Design. Observed variables were total bacteria, pathogenic bacteria (S. Typhimurium, E. coli dan S. aureus) and physical, chemical properties before and after treatment. The result showed that the inactivation reduction rate using series system of UV series-HPEF at 5.50, 7.00 and 10.00 pulses were 70.00%; 89.49% and 85.67% respectively. The statistical analysis showed that the physical, chemical properties among treatments were insignificantly different (P>0.05). Inactivation rate was 0.52; 0.98 and 0.84 log cycle or 11.78; 22.04 and 19.01 log cfu/ml/hour, respectively; D value was 0.09; 0.05 and 0.05 hour, respectively. Whereas bacteria pathogen inactivation rate of Salmonella Typhimurium ATCC 14028, Escherichia coli ATCC 25922 and Staphylococcus aureus ATCC 25923 was 0.28; 0.07 and 0.19 log cycle, respectively. The observation of cell damage using SEM (Scanning Electron Microscopy) showed that Salmonella Typhimurium ATCC 14028 and Staphylococcus aureus ATCC 25923 cell had formation changes.

null

Downloads last month
31
Edit dataset card